Culture

Mitos Gempa di Jepang: Asal-Usul dan Legendanya

Hai Minasan~! Jepang adalah salah satu negara yang paling sering mengalami gempa bumi karena letaknya di Cincin Api Pasifik dan lempeng tektonik aktif di sekitarnya saling bertumbukan. Sejak zaman kuno, masyarakat Jepang telah mengembangkan berbagai mitos dan legenda untuk menjelaskan fenomena gempa bumi. Mitologi Jepang penuh dengan kisah tentang dewa, roh, dan makhluk gaib yang diyakini sebagai penyebab atau pelindung dari bencana alam, termasuk gempa.

Pandai Kotoba pada artikel ini akan membahas secara mendalam tentang mitos gempa di Jepang mulai dari asal-usul mitos gempa, makhluk mitologi yang dikaitkan dengan gempa, kepercayaan dan ritual untuk menenangkan gempa, hingga mitos modern dan pengaruhnya terhadap budaya Jepang. Daripada penasaran, yuk kita simak di bawah ini.

1009px Namazu e
Penggambaran Namazu dalam Lukisan Ukiyo-e, Makhluk Mitologi Penyebab Gempa
commons.wikimedia.org

Mitos Gempa di Jepang: Asal-Usul dan Legendanya

A. Asal-Usul mitos gempa di Jepang

Gempa bumi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jepang sejak zaman prasejarah. Letak geografis Jepang yang berada di atas pertemuan beberapa lempeng tektonik membuat negeri ini sering dilanda guncangan, baik yang kecil maupun yang dahsyat.

Namun, jauh sebelum ilmu pengetahuan modern mampu menjelaskan fenomena gempa melalui teori tektonik lempeng, orang Jepang kuno mengembangkan sejumlah mitos dan legenda untuk memahami bencana yang sering kali datang tanpa peringatan ini. Yuk, kita lanjut di bawah ini.

1. Pengaruh Shinto: Gempa sebagai Gerakan Roh-Roh Alam

Dalam kepercayaan Shinto, alam dipenuhi oleh Kami (roh atau dewa) yang menghuni segala sesuatu, mulai dari gunung, sungai, batu, hingga angin dan tanah. Konsep ini yang dikenal sebagai animisme membuat masyarakat Jepang kuno percaya bahwa gempa bumi merupaka fenomena geologis dan ekspresi dari kemarahan atau kegelisahan para Kami. Beberapa catatan kuno, seperti Nihon Shoki (Kronik Jepang, 720 M) menyebutkan bahwa gempa terjadi ketika dewa-dewa bawah tanah bergerak atau sedang tidak tenang.

Nihonshoki jindai kan pages
Isi dari Nihon Shoki
commons.wikimedia.org

Salah satu keyakinan tertua adalah bahwa bumi sendiri merupakan makhluk hidup yang bernapas dan bergerak. Ketika ia bergerak terlalu keras, terjadilah gempa. Dalam beberapa tradisi lisan, bumi digambarkan sebagai seekor hewan raksasa, seperti ikan lele atau nagayang menggeliat di bawah permukaan tanah, sehingga menimbulkan guncangan. Kepercayaan ini tidak hanya muncul di Jepang, tapi juga ditemukan dalam mitologi berbagai budaya kuno di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa manusia cenderung mempersonifikasikan kekuatan alam yang tidak terkendali.

2. Pengaruh Buddhisme dan Mitologi dari Luar

Selain Shinto, agama Buddha yang masuk ke Jepang sekitar abad ke-6 juga membawa serta sejumlah kisah dan konsep tentang bencana alam. Beberapa teks Buddhis dari Cina dan India menyebutkan makhluk-makhluk mitologis yang bertanggung jawab atas gempa bumi. Salah satunya adalah konsep “Naga Bumi” dari mitologi Cina, yang kemudian diadaptasi menjadi legenda Jinshin Uwami (ular atau naga gempa) dalam cerita rakyat Jepang. Keduanya akan dibahas di bagian berbeda nantinya di sini.

Dalam Konjaku Monogatari-shū atau Kumpulan Cerita Masa Lalu, abad ke-12 terdapat kisah tentang seekor naga besar yang hidup di bawah tanah. Ketika naga ini bergerak, seluruh permukaan bumi bergetar. Kisah semacam ini memperkaya pemahaman masyarakat Jepang tentang gempa, menggabungkan unsur-unsur lokal dengan pengaruh budaya luar.

3. Kemarahan Dewa dan Hukuman bagi Manusia

Tidak semua gempa dianggap sebagai gerakan alam yang netral. Beberapa diyakini sebagai bentuk hukuman dari para dewa. Dalam Kojiki (Catatan tentang Hal-Hal Kuno, 712 M), terdapat kisah tentang dewa Susanoo, dewa badai yang sering dikaitkan dengan kekacauan. Ketika manusia melakukan pelanggaran moral atau melalaikan ritual pemujaan, para dewa bisa murka dan mengirim bencana, termasuk gempa bumi.

960px Kojiki kan ei ban
Isi dari Kojiki
commons.wikimedia.org

Konsep ini juga terlihat dalam kepercayaan terhadap tatari (kutukan dewa). Jika sebuah desa dilanda gempa besar, penduduk akan segera memeriksa apakah mereka telah melakukan sesuatu yang menyinggung para Kami, seperti menebang pohon keramat atau mengotori sumber air suci. Ritual permohonan ampun, seperti Harae (pemurnian) sering dilakukan untuk menenangkan dewa-dewa yang murka.

4. Kontribusi Cerita Rakyat dalam Memahami Gempa

Sebelum ilmu pengetahuan berkembang, masyarakat menggantungkan pemahaman mereka pada cerita-cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi. Di daerah-daerah pesisir, misalnya, ada kepercayaan bahwa gempa bumi terjadi karena ikan lele raksasa (Namazu) yang hidup di bawah laut mengibaskan ekornya. Sementara di daerah pegunungan, orang percaya bahwa gempa disebabkan oleh raksasa yang terkurung di dalam gunung berusaha melepaskan diri.

Kisah-kisah ini berfungsi sebagai penjelasan dan juga sebagai sarana pendidikan. Dengan menceritakan bahwa gempa terjadi karena makhluk-makhluk tertentu, orang tua bisa mengingatkan anak-anak untuk selalu bersikap hormat terhadap alam. Selain itu, legenda-legenda ini juga menjadi dasar bagi berbagai ritual dan upacara yang bertujuan mencegah gempa atau meminimalisir kerusakannya.

5. Perkembangan Mitos Gempa dalam Sejarah Jepang

Seiring berjalannya waktu, mitos-mitos tentang gempa terus berkembang, terutama setelah terjadinya gempa-gempa besar yang meninggalkan kesan mendalam. Salah satunya adalah Gempa Besar Ansei (1855) yang menghancurkan Edo (Tokyo). Peristiwa ini memicu munculnya Namazu-e yaitu lukisan cetak kayu yang menggambarkan ikan lele raksasa sebagai penyebab gempa. Lukisan-lukisan ini bersifat religius dan mengandung kritik sosial, yang mana Namazu sering digambarkan menghukum orang-orang kaya dan korup.

B. Makhluk Mitologi yang Dikaitkan dengan Gempa

Dalam kepercayaan tradisional Jepang, gempa bumi dipahami sebagai fenomena geologis semata dan sebagai hasil dari aktivitas makhluk-makhluk gaib yang mendiami alam bawah tanah atau dunia roh. Berbagai legenda dan mitos berkembang untuk menjelaskan penyebab gempa, sering kali melibatkan makhluk mitologis yang memiliki kekuatan dahsyat.

Kisah-kisah ini tentunya berfungsi sebagai penjelasan atas bencana alam dan mengandung nilai-nilai moral, spiritual, dan bahkan kritik sosial. Berikut di bawah ini adalah beberapa makhluk mitologi utama yang diyakini sebagai penyebab gempa di Jepang dan penjelasan yang lebih detail tentang asal-usul dan peran mereka dalam budaya Jepang.

1. Namazu: Ikan Lele Raksasa yang Menggoncang Dunia

Salah satu makhluk mitologi paling terkenal yang dikaitkan dengan gempa bumi di Jepang adalah Namazu (鯰), seekor ikan lele raksasa yang hidup di perut bumi. Menurut legenda, Namazu memiliki tubuh yang sangat besar sehingga setiap kali ia menggeliat atau mengibaskan ekornya, bumi pun bergetar hebat menimbulkan gempa yang dahsyat. Konsep ini berkembang pesat pada zaman Edo (1603-1868), ketika masyarakat saat itu sering kali menggambarkan Namazu dalam seni ukiyo-e (cetakan kayu) sebagai sosok yang bertanggung jawab atas bencana alam.

Namazu4
Penggambaran Namazu dalam Lukisan Ukiyo-e
storystudio.tw

Namun, kisah Namazu disimbolkan tentang kehancuran. Dalam beberapa versi cerita, ikan lele raksasa ini juga dipandang sebagai simbol perubahan dan pembaruan sosial. Gempa yang ditimbulkannya dianggap sebagai cara alam untuk “mengguncang” ketidakadilan dalam masyarakat, terutama pada masa Edo di mana kesenjangan sosial antara kelas samurai, petani, dan pedagang sangat mencolok. Bahkan, beberapa lukisan ukiyo-e menggambarkan Namazu bersama dewa penindasnya, Kashima, sebagai metafora ketidakstabilan politik dan harapan akan reformasi.

Kepercayaan terhadap Namazu juga melahirkan ritual-ritual tertentu. Salah satunya adalah pemujaan terhadap Kaname Ishi (要石), sebuah batu keramat di Kuil Kashima yang diyakini menindih kepala Namazu sehingga tidak bisa bergerak bebas. Masyarakat percaya bahwa jika batu ini dilepaskan, ikan lele tersebut akan mengamuk dan menyebabkan gempa besar. Hingga kini, Kuil Kashima tetap menjadi tempat ziarah bagi mereka yang ingin memohon perlindungan dari bencana alam.

2. Jinshin Uwami: Ular atau Naga Bawah Tanah yang Menggetarkan Bumi

Selain Namazu, makhluk lain yang sering dikaitkan dengan gempa dalam mitologi Jepang adalah Jinshin Uwami (地震鰐) yang secara harfiah berarti “buaya gempa” atau “naga gempa”. Makhluk ini digambarkan sebagai ular atau naga raksasa yang bersemayam di kedalaman bumi, dan setiap kali ia bergerak atau mengubah posisinya, tanah di atasnya bergetar hebat. Konsep ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh kepercayaan orang Cina tentang Dilong (地龍), naga bumi yang bertanggung jawab atas gempa.

Dalam beberapa versi cerita, Jinshin Uwami tidak selalu dianggap sebagai makhluk jahat. Sebagian legenda menggambarkannya sebagai penjaga keseimbangan alam yang hanya bergerak ketika manusia telah melampaui batas, misalnya dengan mengeksploitasi bumi secara berlebihan. Kisah ini mencerminkan filosofis harmoni antara manusia dan alam, yang merupakan prinsip penting dalam kepercayaan Shinto dan Buddhisme Jepang.

3. Oni dan Roh-Roh Pendendam: Gempa sebagai Bentuk Kemarahan Alam

Dalam kepercayaan rakyat Jepang, gempa juga sering dikaitkan dengan kemarahan Oni (鬼) atau roh-roh yang dendam (goryou). Oni, yang biasanya digambarkan sebagai makhluk bertanduk dengan kulit merah atau biru, dianggap sebagai simbol kekuatan destruktif alam. Beberapa legenda menyebutkan bahwa ketika manusia melakukan dosa besar seperti perang, pembunuhan, atau penghancuran lingkungan. Oni akan membalasnya dengan mengguncang bumi.

oni ukiyo e
Penggambaran Oni dalam Ukiyo-e
tokyo-np.co.jp

Selain Oni, ada pula kepercayaan bahwa gempa bisa disebabkan oleh arwah orang yang meninggal dalam keadaan penuh amarah atau penyesalan. Roh-roh ini, yang dikenal sebagai ubume atau yurei, diyakini mampu mengganggu keseimbangan alam, termasuk menciptakan getaran di tanah. Untuk menenangkan mereka, masyarakat Jepang kuno sering mengadakan upacara Chinkonsai (ritual untuk menenangkan arwah) atau membangun kuil kecil sebagai bentuk permohonan maaf.

4. Tsuchigumo: Laba-Laba Tanah yang Menyebabkan Guncangan

Dalam beberapa cerita rakyat kuno terutama yang berasal dari periode Heian (794-1185), terdapat legenda tentang Tsuchigumo (土蜘蛛), makhluk berbentuk laba-laba raksasa yang hidup di gua-gua dalam bumi. Tsuchigumo diyakini sebagai penyebab gempa lokal, terutama di daerah pegunungan. Kisah ini mungkin berasal dari pengamatan terhadap retakan tanah pasca-gempa yang menyerupai sarang laba-laba.

U426 nichibunken 0056 0007 0001
Penggambaran Tsuchigumo dalam Ukiyo-e
nichibun.ac.jp

Tsuchigumo juga sering dikaitkan dengan kelompok masyarakat marginal pada masa lalu, seperti suku pemburu atau pengasingan politik, yang dianggap sebagai “orang luar” oleh kekuasaan pusat. Dengan demikian, mitos ini tidak hanya menjelaskan fenomena alam, tetapi juga mencerminkan ketegangan sosial dalam sejarah Jepang.

5. Pengaruh Mitologi Asing

Beberapa makhluk mitologi penyebab gempa di Jepang sebenarnya memiliki kemiripan dengan legenda dari budaya lain. Seperti disebutkan sebelumnya, konsep Jinshin Uwami sangat mirip dengan Dilong dari Tiongkok. Selain itu, ada pula pengaruh dari mitologi India, di mana gempa dikaitkan dengan gerakan raksasa bawah tanah atau makhluk seperti Asura (setan dalam Buddhisme).

Pertukaran budaya melalui jalur sutra dan penyebaran agama Buddha memungkinkan konsep-konsep ini masuk ke Jepang dan berbaur dengan kepercayaan lokal. Hal ini menunjukkan bahwa mitos gempa di Jepang bukanlah produk isolasi, melainkan hasil dari interaksi panjang dengan peradaban lain.

C. Kepercayaan dan Ritual untuk Menenangkan Gempa

Gempa bumi sebagai salah satu bencana alam yang paling sering melanda Jepang dihadapi dengan persiapan teknis dan juga melalui berbagai ritual dan kepercayaan yang telah mengakar dalam budaya masyarakat. Sejak zaman kuno, orang Jepang percaya bahwa gempa bukan sekadar fenomena geologis, melainkan juga manifestasi dari kekuatan gaib yang harus ditenangkan melalui upacara, doa, dan persembahan.

Ritual-ritual ini bertujuan untuk mencegah bencana dan memulihkan harmoni antara manusia, alam, dan dunia roh. Berikut di bawah ini adalah penjelasan mendalam tentang berbagai ritual dan kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat Jepang untuk menenangkan gempa.

1. Pemujaan di Kuil Kashima dan Batu Kaname Ishi

Salah satu ritual paling terkenal yang terkait dengan gempa bumi berpusat di Kuil Kashima (鹿島神宮), yang terletak di Prefektur Ibaraki. Kuil ini dipersembahkan untuk Takemikazuchi no Kami, dewa petir dan pedang yang dalam mitologi Jepang bertugas menahan Namazu, ikan lele raksasa penyebab gempa. Di dalam kompleks kuil, terdapat sebuah batu keramat bernama Kaname Ishi (要石) yang secara harfiah berarti “batu penjepit” atau “batu pengunci.” Batu ini diyakini menancap di kepala Namazu mencegahnya bergerak dan menyebabkan gempa.

1024px Kashima jingu haiden 1
Kuil Kashima di Prefektur Ibaraki
commons.wikimedia.org

Masyarakat Jepang terutama pada masa Edo sering melakukan ziarah ke Kuil Kashima untuk memohon perlindungan dari bencana. Mereka percaya bahwa dengan memperkuat ikatan spiritual antara manusia dan dewa Kashima, bumi akan tetap stabil. Hingga kini, kuil ini tetap menjadi tempat penting bagi mereka yang ingin berdoa agar terhindar dari gempa besar. Bahkan beberapa orang percaya bahwa gempa besar seperti Gempa Besar Kanto 1923 atau Gempa Tohoku 2011 terjadi karena “kelalaian” manusia dalam menjaga kesakralan Kaname Ishi.

2. Upacara Chinjusai dan Ritual Penenangan Bumi

Selain pemujaan di Kuil Kashima, terdapat pula berbagai upacara Shinto yang disebut Chinjusai (鎮守祭), yang secara khusus ditujukan untuk menenangkan roh-roh penjaga wilayah (ujigami) dan mencegah bencana alam. Dalam upacara ini, pendeta Shinto memimpin prosesi dengan membacakan norito (doa ritual) dan mempersembahkan makanan, sake, serta benda-benda suci kepada kami. Tujuannya adalah memohon agar bumi tidak berguncang dan masyarakat terhindar dari malapetaka.

bu802 miyage 02
Festival Penangkal Gempa di Kota Iga, Prefektur Mie
magazineworld.jp

Beberapa kuil lokal juga mengadakan ritual tahunan yang disebut Jishin Yoke no Matsuri (地震除けの祭り) atau festival penangkal gempa. Festival ini dilakukan oleh penduduk setempat berkumpul untuk berdoa bersama. Salah satu elemen kunci dalam ritual ini adalah penggunaan shimenawa (tali suci dari jerami) yang dipasang di sekitar wilayah yang dianggap rawan gempa, sebagai simbol pembatas antara dunia manusia dan kekuatan gaib yang mengganggu.

3. Pemujaan terhadap Ryujin: Dewa Naga Penguasa Laut dan Bumi

Dalam mitologi Jepang, Ryujin (龍神) atau dewa naga merupakan penguasa lautan dan sering kali dikaitkan dengan bencana alam, termasuk gempa dan tsunami. Beberapa komunitas pesisir, terutama di daerah seperti Wakayama dan Shikoku, memiliki tradisi memuja Ryujin melalui upacara khusus. Salah satu ritual yang masih dilakukan hingga sekarang adalah Hama Iri (masuk ke pantai), ketika para nelayan dan penduduk desa membawa persembahan ke bibir pantai untuk menenangkan sang naga.

Kepercayaan ini berakar dari gagasan bahwa gempa bawah laut sering kali memicu tsunami, sehingga dengan menghormati Ryujin, masyarakat berharap dapat mengurangi kemarahan sang dewa. Di beberapa kuil yang didedikasikan untuk Ryujin, seperti Watatsumi Shrine di Prefektur Shimane, para pendeta secara rutin melakukan misogi (ritual pemurnian dengan air) untuk menjaga keseimbangan alam.

4. Takhayul dan Praktik Rakyat untuk Mencegah Gempa

Selain ritual resmi yang dipimpin oleh pendeta, terdapat pula berbagai kepercayaan rakyat dan takhayul yang berkembang di kalangan masyarakat biasa. Salah satu yang paling terkenal adalah kepercayaan bahwa meletakkan paku di bawah fondasi rumah dapat mencegah gempa. Ide ini berasal dari legenda Namazu, di mana paku dianggap bisa “menusuk” ikan lele raksasa tersebut sehingga tidak bisa bergerak.

Ada pula tradisi mengubur hina ningyo (boneka festival Hinamatsuri) atau menulis mantra di kertas dan meletakkannya di sudut rumah sebagai perlindungan. Beberapa keluarga di pedesaan bahkan masih mempraktikkan kebiasaan menanam bambu penahan gempa di pekarangan, karena bambu dianggap memiliki akar yang kuat dan bisa “mengikat” tanah agar tidak mudah goyah.

5. Adaptasi Modern: Dari Ritual Kuno hingga Kesadaran Bencana

Meskipun Jepang kini memiliki sistem peringatan gempa yang canggih dan infrastruktur tahan gempa, banyak ritual kuno tetap dipertahankan sebagai bagian dari warisan budaya. Setiap tanggal 1 September, misalnya, Jepang memperingati Hari Pencegahan Bencana (防災の日), di mana selain latihan evakuasi, beberapa kuil juga mengadakan doa bersama untuk keselamatan.

Di tingkat masyarakat, kegiatan seperti matsuri (festival) yang berhubungan dengan penolak bala masih digelar, terutama di daerah rawan gempa seperti Kanto dan Tohoku. Bahkan di era modern, tidak jarang perusahaan konstruksi melakukan upacara kecil sebelum membangun gedung tinggi, memohon agar bangunan mereka tetap stabil jika gempa terjadi.

D. Mitos Modern dan Pengaruhnya terhadap Budaya Jepang

Meskipun Jepang telah menjadi salah satu negara paling maju dalam teknologi mitigasi gempa, mitos-mitos kuno tentang penyebab gempa bumi tetap hidup dalam budaya populer dan kesadaran masyarakat modern. Transformasi legenda-legenda kuno ini menjadi cerita rakyat yang tidak dilupakan dan berevolusi menjadi simbol-simbol budaya yang terus memengaruhi seni, hiburan, hingga sikap masyarakat terhadap bencana alam. Berikut penjelasannya di bawah ini.

1. Namazu dalam Budaya Populer: Dari Ukiyo-e hingga Anime

Salah satu contoh paling mencolok tentang bagaimana mitos gempa tradisional bertahan di era modern adalah terus munculnya figur Namazu dalam berbagai media populer. Pada zaman Edo, ikan lele raksasa ini sering digambarkan dalam cetakan kayu ukiyo-e (lukisan kayu) sebagai penyebab gempa dan juga sebagai simbol perubahan sosial. Kini, Namazu hadir dalam bentuk yang lebih kontemporer seperti dalam serial anime dan manga.

Dalam “Natsume’s Book of Friends”, sebuah anime yang mengisahkan tentang makhluk supernatural, terdapat episode di mana protagonis bertemu dengan yokai (makhluk gaib Jepang) yang menyebabkan gempa kecil ketika marah. Karakter ini jelas terinspirasi dari legenda Namazu, meskipun dengan sentuhan modern yang membuatnya lebih mudah diterima oleh penonton muda.

Selain itu, franchise populer seperti Pokémon dan Yo-kai Watch juga memasukkan elemen mitos gempa ke dalam kreasi karakter mereka. Whiscash, salah satu Pokémon berbasis ikan lele, memiliki kemampuan untuk menyebabkan getaran tanah, sebuah referensi langsung kepada Namazu.

Sementara itu, dalam “Yo-kai Watch”, terdapat makhluk bernama Noko yang berbentuk ikan lele dan dikaitkan dengan bencana alam. Adaptasi semacam ini menunjukkan bagaimana mitos kuno bertahan dan menjadi bagian dari imajinasi kolektif generasi baru.

2. Mitos Gempa dalam Sastra dan Film Modern

Tidak hanya dalam anime dan manga, mitos tentang gempa juga muncul dalam karya sastra dan film Jepang modern. Misalnya, novel-novel bertema bencana sering kali memasukkan unsur-unsur spiritual atau legenda kuno sebagai metafora untuk menggambarkan ketidakberdayaan manusia di hadapan alam.

Salah satu contoh menarik adalah film “Shin Godzilla” (2016). Monster raksasa Godzilla digambarkan sebagai kekuatan destruktif yang muncul akibat kelalaian manusia. Meskipun Godzilla sendiri adalah kreasi modern, konsep tentang makhluk raksasa yang membawa kehancuran memiliki kemiripan dengan mitos Namazu atau Jinshin Uwami. Film ini seperti halnya mitos-mitos kuno berfungsi sebagai kritik sosial sekaligus peringatan tentang konsekuensi eksploitasi alam.

3. Takhayul dan Praktik Modern yang Terinspirasi dari Mitos Kuno

Meskipun masyarakat Jepang kini memahami gempa dari perspektif sains, beberapa takhayul yang berakar dari mitos kuno masih bertahan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, kepercayaan bahwa meletakkan paku di bawah fondasi rumah dapat mencegah gempa masih dipegang oleh sebagian orang, terutama di daerah pedesaan. Praktik ini jelas berasal dari legenda Namazu, di mana paku dianggap bisa “menusuk” ikan lele tersebut agar tidak bergerak.

Selain itu, ada pula tradisi membeli jimat anti-gempa yang dijual di kuil-kuil tertentu. Jimat ini sering kali dihiasi dengan gambar Namazu atau Kaname Ishi, dan dipercaya membawa perlindungan spiritual. Meskipun tidak ada bukti ilmiah yang mendukung keampuhannya, benda-benda seperti ini tetap populer sebagai bentuk “asuransi tambahan” terhadap bencana.

4. Mitos Gempa dalam Kesadaran Kolektif dan Pendidikan Bencana

Menariknya, mitos-mitos gempa di Jepang hidup dalam ranah hiburan atau takhayul dan juga memengaruhi cara masyarakat Jepang memandang kesiapsiagaan bencana. Setiap tahun pada tanggal 1 September, Jepang memperingati Hari Pencegahan Bencana (防災の日). Pada hari tersebut berbagai latihan evakuasi dan seminar kesiapsiagaan diadakan. Namun, di balik aktivitas yang sangat rasional ini, terdapat pula unsur-unsur budaya yang berakar dari mitos.

Berita Mengenai Hari Pencegahan Bencana pada 1 September (youtube.com)

Misalnya, di beberapa sekolah dasar, anak-anak diajarkan cerita tentang Namazu sebagai cara untuk mengenalkan konsep gempa dengan pendekatan yang lebih bersahabat. Guru-guru menggunakan legenda ini untuk menjelaskan mengapa gempa terjadi sambil menekankan pentingnya bersikap waspada. Dengan demikian, mitos kuno tidak hanya menjadi hiburan, tapi juga alat edukasi yang efektif.

5. Kritik Sosial dan Politik melalui Metafora Mitos Gempa

Seperti pada zaman Edo, lukisan Namazu sering digunakan untuk mengkritik pemerintah, mitos gempa modern juga kadang menjadi alat untuk menyampaikan pesan sosial. Contohnya, setelah Gempa Besar Tohoku 2011, beberapa seniman manga dan ilustrator membuat karya yang menggambarkan Namazu sebagai simbol ketidakmampuan manusia dalam menghadapi bencana.

Dalam satu ilustrasi viral, Namazu digambarkan sedang dirantai oleh para ilmuwan dan politisi, sebuah metafora tentang bagaimana teknologi dan kebijakan manusia berusaha, tapi sering kali gagal untuk mengendalikan alam. Karya-karya semacam ini menunjukkan bahwa mitos gempa berfungsi sebagai warisan budaya dan juga sebagai medium refleksi atas kelemahan manusia.


Mitos gempa di Jepang mencerminkan bagaimana manusia mencoba memahami bencana alam melalui cerita dan legenda. Dari Namazu si ikan lele raksasa hingga dewa penjaga Kashima, mitologi Jepang memberikan penjelasan magis tentang gempa yang masih memengaruhi budaya hingga kini.

Meskipun teknologi modern telah memberikan pemahaman ilmiah tentang gempa, kisah-kisah ini tetap hidup dalam seni, sastra, dan kepercayaan rakyat menunjukkan betapa kuatnya tradisi dalam menghadapi ketidakpastian alam.

Menarik kan tentang mitos gempa di Jepang ini? Minasan percaya juga dengan mitos-mitos ini? Kembali ke kepercayaan masing-masing aja ya. Semoga artikel ini bisa memperluas wawasan kita dalam budaya Jepang yang unik.

Cukup segitu aja yang bisa Pandai Kotoba berikan untuk artikel kali ini. Jika Minasan ingin tahu tentang budaya Jepang lainnya, Pandai Kotoba punya banyak artikelnya di website ini lho. Yuk cek artikel yang satu ini: Ikebana, Seni Merangkai Bunga. Klik untuknya membacanya ya. Sampai jumpa di artikel selanjutnya!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *