Pengaruh Perubahan Musim di Jepang
Kita semua tentu sudah tahu, Indonesia adalah negeri yang berada di kawasan tropis yang hangat, kalau tidak mau dibilang panas. Walaupun di Indonesia ada musim hujan dan kemarau, namun perubahan musim tidak begitu terasa. Berbeda dengan musim di Jepang.
Perubahan pakaian, makanan, dan pemandangan pun tidak terjadi meskipun musimnya berubah.
Empat Musim Di Jepang
Di Jepang terdapat empat musim, yaitu musim semi (haru), musim panas (natsu), musim gugur (aki), dan musim dingin (fuyu).
Saat musim panas, udara sangat panas. Ketika musim dingin, udara sangat dingin. Musim semi dan musim gugur adalah musim yang paling nyaman.
Ketika musim panas, kelembapan juga tinggi sehingga hawa panas terasa sangat menyebgat. Ketika orang Jepang datang ke Indonesia sekitar bulan Juli dan Agustus, mungkin banyak orang Jepang yang akan berkata, “Jakarta lebih sejuk dari Jepang, ya.”
Perubahan musim sangat terasa di Jepang. Kehidupan, hiburan, pemandangan, pakaian, makanan dan topik pembicaraan orang-orang pun berubah mengikuti musim. Karena itulah orang Jepang sangat menantikan dan mengapresiasi perubahan musim yang terjadi.
Perubahan Musim dan Karya Seni
Musim mempengaruhi semua aspek kehidupan orang Jepang, dan bahkan juga mempengaruhi kesenian, contohnya dalam ukiyo-e atau haiku.
Haiku adalah puisi Jepang dengan syair 5-7-5 suku kata. Bentuk puisi yang sangat pendek dengan total hanya 17 suku kata. Haiku adalah budaya tradisional Jepang, tetapi sudah banyak diinggriskan dan pengertiannya juga sudah dimasukkan ke dalam kamus bahasa Inggris.
Peraturan terpenting saat membuat haiku adalah memasukkan satu kata terkait musim di dalam syairnya. Dengan begitu, kita bisa mengetahui apakah haiku itu menceritakan musim semi, musim panas, musim gugur, atau musim dingin ketika kita membacanya.
Yasunari Kawabata
Pada tahun 1968, sastrawan Jepang yang bernama Yasunari Kawabata berhasil memenangkan Penghargaan Nobel. Saat itu, dalam sambutannya pada saat penyerahan hadiah Penghargaan Nobel di Stockholm, dia berpidato mengenai karya sastranya yang berjudul “Jepang, Keindahannya dan Saya, Sebuah Pengenalan” (dalam bahasa Inggris: Japan, the Beautiful and Myself).
Sambutan Yasunari Kawabata itu menjadi perbincangan dalam kebudayaan Jepang dan diterbitkan dalam sebuah buku pada tahun berikutnya.
Dalam pembuka sambutannya, Kawabata mengutip dari sebuah syair puisi waka, seperti berikut ini.
“Musim semi adalah bunga sakura, musim panas adalah burung hototogisu, musim gugur adalah bulan, musim dingin adalah salju, putih (bersih) dan dingin”.
(Dalam Bahasa Inggrisnya: “In the spring, cherry blossom, in the summer cuckoo. In autumn the moon, and in the winter the snow, clear, cold.)
Syair waka ini adalah syair yang terkenal dari dogen (tokoh Zen, filosofi Jepang) yang merupakan biksu Buddha yang terkenal di abad ke-13.
Kata “dingin” yang ada di akhir syair tersebut tidak hanya berarti suhu yang dingin, namun ada penambahan arti lain, yaitu hati yang sejuk (maksudnya, tidak ada lagi kebimbangan, keresahan, dan kesedihan dalam hati, yang ada hanyalah hati yang putih dan bersih).
Dalam kata lain, syair ini bermakna hati kita tetap selalu bersih seiring dengan berlalunya waktu dan berubahnya musim.
Dalam puisi waka yang sederhana dan pendek tersebut, tersampaikan perasaan orang Jepang akan kecintaannya terhadap alam, keindahan alam Jepang, dan juga keindahan dari pergantian musim di Jepang.
Antara Takut dan Cinta
Orang Jepang selalu mencintai dan menghargai alam, selalu berterima kasih atas berkah yang diberikan oleh alam bagi pertanian, dan menjaga alam demi masa depan. Selain itu mereka juga merasa takut terhadap fenomena alam seperti hujan deras, angin topan, badai salju, gempa bumi, gunung meletus, dan lainnya.
Dari fenomena alam tersebut, orang Jepang mengakui kekuatan “dewa” yang melebihi kekuatan manusia. Orang Jepang sangat menghormati dan menyembah gunung, laut, hutan dan danau. Karenanya, terdapat banyak sekali dewa dalam Shinto, yang merupakan kepercayaan asli Jepang.
Orang Jepang dan Cuaca
Orang Jepang tidak hanya tertarik dengan peralihan musim saja, melainkan juga sangat tertarik dengan cuaca sebagai fenomena alam.
Setiap pagi, orang Jepang memiliki kebiasaan untuk selalu mengecek cuaca hari itu melalui berita, surat kabar, dan lain-lain. Hal itu akan mempengaruhi pakaian seperti apa yang akan dikenakan, tergantung suhu udara yang entah akan panas atau dingin, dan apakah seseorang harus membawa payung jika akan turun hujan.
Meskipun orang Jepang tidak melakukan pembagian musim hujan dan musim kemarau seperti di Indonesia, tetapi di Jepang pun ada musim hujan. Ini disebut tsuyu (hujan turun), yang terjadi di sekitar bulan Juni.
Durasinya jauh lebih pendek dari musim hujan di Indonesia, berkisar satu bulan setengah lamanya.
Di Jepang, lembaga pemerintah yang bernama Badan Meteorologi akan memperkirakan musim penghujan. Mereka memperkirakan tanggal kepastian untuk awal dan akhir “hujan turun”, dan selanjutnya akan diumumkan bahwa “musim penghujan telah tiba”, serta “musim penghujan telah berakhir”.
Jika datang waktu ini, berita dan lain-lain selalu akan memberitakan awal dan akhir musim penghujan. Jika musim penghujan telah berakhir maka akan datang musim panas yang sesungguhnya.
Baca artikel tentang Budaya Jepang lainnya, hanya di Pandai Kotoba ya!