Culture

7 Alat Musik Petik Tradisional Jepang yang Khas

Dari berbagai macam warisan budaya Jepang, salah satu hal yang tidak bisa dilewatkan adalah alat musik petik tradisional Jepang yang khas. Mungkin Shamisen adalah salah satu alat musik petik yang paling dikenal, namun nyatanya terdapat berbagai jenis alat musik petik tradisional Jepang lainnya yang tak kalah menarik.

Dari petikan merdu Koto yang melankolis hingga kesan dramatis Shamisen, mari Minasan kita jelajahi apa saja alat musik petik tradisional Jepang yang memukau.

Sejarah Alat Musik Petik Tradisional Jepang

alat musik petik tradisional jepang

Sebelum membahas apa saja jenis-jenis alat musik petik tradisional Jepang, mari kita ulas secara singkat terlebih dahulu tentang sejarah alat musik di Jepang.

Sebagian besar alat musik awal di Jepang dipengaruhi oleh Tiongkok. Pada periode Nara (710-794) dan Heian (794-1185), alat musik seperti Koto mulai digunakan dalam musik keagamaan dan acara-acara istana. Biwa, yang juga berasal dari Tiongkok, mulai digunakan sebagai musik pengiring dalam menceritakan kisah-kisah epik.

Selama era Kamakura (1185-1333) dan Muromachi (1336-1573), alat musik tradisional seperti shamisen semakin berkembang. Pada periode ini, musik yang diiringi oleh shamisen menjadi populer di kalangan keluarga samurai dan di rumah-rumah geisha.

Zaman Edo (1603-1868) adalah masa keemasan bagi perkembangan alat musik tradisional Jepang. Alat musik seperti shamisen menjadi semakin populer dan digunakan dalam pertunjukan kabuki yang muncul pada abad ke-17. Selama periode ini, koto juga menjadi alat musik yang lebih terkenal dan dihargai dalam masyarakat.

Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, Jepang mengalami kontak yang meningkat dengan negara-negara Barat. Pengaruh musik Barat mulai masuk ke Jepang dan mengubah beberapa aspek musik tradisional. Misalnya, biola dan piano mulai digunakan dalam musik Jepang, yang membawa unsur-unsur musik Barat ke dalam tradisi Jepang.

Setelah Perang Dunia II, Jepang mengalami modernisasi yang signifikan, termasuk dalam bidang musik. Beberapa alat musik tradisional Jepang terus ada dan dipertahankan, sementara yang lain mengalami perkembangan baru yang menggabungkan elemen-elemen tradisional dengan unsur-unsur musik modern. Koto dan shamisen, misalnya, tetap menjadi alat musik penting dalam seni pertunjukan tradisional Jepang, seperti Kabuki, Noh, dan Bunraku.

Jenis-Jenis Alat Musik Petik Tradisional Jepang

1. Shamisen

Shamisen pertama kali diperkenalkan di Jepang berabad-abad lalu, ketika pengaruh budaya Tiongkok membawa jenis alat musik serupa ke Jepang. Namun, shamisen telah mengalami perkembangan yang unik dalam budaya Jepang, terutama selama periode Edo (1603-1868) yang semakin populer karena menjadi alat musik untuk mengiringi pertunjukkan teater tradisional Jepang, seperti Kabuki, Noh, dan Bunraku. Suaranya yang khas dan ekspresif sering digunakan untuk menciptakan nuansa emosional dalam pertunjukan-pertunjukan tersebut.

Badan Shamisen (dou)  terbuat dari kayu dan bagian depan dan belakangnya dilapisi dengan kulit binatang yang berfungsi untuk  memperkeras suara petikan. Menariknya, kulit pelapis Shamisen dengan kualitas tinggi biasanya terbuat dari kulit kucing betina yang belum pernah kawin! Bagaimana tuh membedakannya.

Sedangkan Shamisen dengan kualitas standar kulit pelapisnya terbuat dari kulit punggung anjing. Ada juga Shamisen yang dilapisi dengan kulit imitasi, namun kualitasnya suaranya tidak sebagus Shamisen yang dilapisi kulit hewan.

Bagian leher Shamisen, yang disebut sao, bentuknya lebih langsing daripada leher gitar, dengan panjang yang hampir sama dengan gitar, namun bedanya tidak memiliki fret. Shamisen memiliki tiga senar yang terbuat dari sutra atau nilon. Senar dipasang berurutan dari yang paling tebal sampai paling tipis, senar pertama yang paling tebal disebut ichi no ito (senar pertama), senar kedua disebut ni no ito, dan senar ketika disebut san no ito.

Shamisen dimainkan dengan menggunakan sejenis alat khusus yang terbuat dari kayu yang disebut “bachi.” Pemain Shamisen menggunakan bachi untuk memetik senar-senar Shamisen untuk menghasilkan suara yang unik dan ekspresif.

Ada beberapa jenis Shamisen, di antaranya Tsugaru shamisen, dan Nagauta shamisen, yang masing-masing memiliki karakteristik dengan gaya bermain yang berbeda.

  • Tsugaru Shamisen

Tsugaru Shamisen adalah variasi khusus dari alat musik petik shamisen yang berasal dari wilayah Tsugaru di Jepang, terutama prefektur Aomori di Pulau Honshu. Tsugaru Shamisen memiliki ciri khas dan gaya bermain yang berbeda.

Salah satu ciri khas Tsugaru Shamisen adalah penggunaan senar yang lebih tebal daripada shamisen tradisional. Senar-senar ini memberikan suara yang lebih berat dan resonansi yang kuat.

Pemain Tsugaru Shamisen sering memainkan alat musik ini dengan gaya bermain yang energetik dan cepat. Teknik-teknik seperti “bachi otoshi” (drop bachi) dan “otoshi bachi” (strike bachi) digunakan untuk menciptakan ritme yang kompleks dan dinamis.

Cakupan permainan Tsugaru Shamisen juga luas sehingga bisa memainkan beragam jenis lagu, termasuk lagu-lagu tradisional Jepang, lagu rakyat Tsugaru, serta adaptasi dari lagu-lagu populer modern. Karena itu, pemain Tsugaru Shamisen sering berkolaborasi dengan musisi dari berbagai genre musik.

  • Nagauta Shamisen

Nagauta Shamisen adalah jenis Shamisen yang digunakan khusus dalam pertunjukan musik Nagauta. Nagauta adalah bentuk musik yang digunakan dalam berbagai jenis pertunjukan teater tradisional Jepang seperti kabuki, bunraku (teater boneka), dan Noh. Selain itu sering kali juga digunakan dalam pertunjukan tari tradisional Jepang.

Nagauta Shamisen memiliki satu senar utama yang lebih tebal dibandingkan dengan shamisen biasa. Senar ini disebut “iti-goma” (senar tunggal) yang dipetik dengan tekanan kuat saat dimainkan. Bachi yang digunakan dalam bermain Nagauta Shamisen biasanya lebih besar dan berat daripada yang digunakan dalam shamisen lainnya. Hal ini membantu dalam menciptakan suara yang kuat dan resonan.

Shamisen jenis ini  lebih sering digunakan dalam pertunjukan teater Jepang yang memainkan lagu-lagu naratif yang mengiringi adegan-adegan penting dalam teater kabuki atau bunraku.

2. Sanshin

Sanshin adalah alat musik petik tradisional Okinawa yang paling khas di wilayah tersebut. 

Alat musik ini memiliki pengaruh dari budaya Tiongkok dan juga dari Kerajaan Ryukyu, yang dulu menguasai kepulauan Ryukyu (sekarang Okinawa). Sanshin dianggap sebagai keturunan dari alat musik Tiongkok yang disebut sanxian.

Sanshin memiliki desain yang mudah dikenali dan unik. Badan Sanshin berbentuk oval dan terbuat dari kayu yang sering disebut sebagai “jisage.” Bagian atas badan Sanshin sering kali dilapisi dengan kulit hewan, seperti kulit ular atau kura-kura.

Sekilas, Sanshin mirip dengan Shamisen, namun letak perbedaannya ada pada ukuran Sanshin yang lebih kecil. Selain itu, Sanshin biasa dipetik dengan jari atau pick seukuran pick gitar yang kecil, sedangkan Shamisen dipetik menggunakan alat khusus yang terbuat dari kayu yang disebut “bachi”.

Biasanya, Sanshin digunakan dalam berbagai jenis pertunjukan musik dan tari tradisional Okinawa. Musik yang dimainkan dengan Sanshin sering menggambarkan kehidupan dan budaya Okinawa, dengan lirik-lirik yang berbicara tentang pemandangan alam, kehidupan sehari-hari, atau kisah legenda lokal Okinawa.

3. Koto

Koto adalah alat musik petik tradisional Jepang yang menyerupai kecapi. Alat musik dengan suara yang sendu dan menyentuh ini masuk ke Jepang pada abad ke-7 yang diadaptasi dari alat musik Tiongkok yang disebut “zheng” atau “guzheng”.

Badan Koto memiliki bentuk yang panjang dan pipih, mirip dengan sebuah papan kayu persegi panjang dengan lengkungan pada ujung-ujungnya. Panjangnya berkisar antara 180 hingga 190 sentimeter, tetapi ada juga beberapa variasi Koto dengan ukuran yang lebih kecil.

Koto memiliki sejumlah senar berjumlah 13 hingga 17 senar yang terbuat dari sutra atau nilon. Senar-senar ini terletak di atas badan Koto dengan panjang yang berbeda-beda, sehingga menghasilkan nada yang berbeda saat dipetik.

Di sebelah ujung koto terdapat beberapa peg, semacam tuning untuk menyesuaikan ketegangan senar dan nada yang ingin dihasilkan ketika memetik Koto. Ketika dimainkan, Koto biasanya ditempatkan di atas stand khusus yang disebut “tate.” Stand ini membantu menjaga posisi dan tinggi Koto agar sesuai dengan pemain.

Alat musik petik tradisional Jepang ini yang beberapa jenis atau varian, yang memiliki karakteristik masing-masing.

Berikut adalah beberapa jenis koto yang paling umum:

  • Koto Yamatogoto: Koto Yamatogoto adalah jenis koto yang paling umum dan banyak digunakan. Koto jenis ini memiliki 13 senar yang dipetik menggunakan tangan dan bachi. Koto Yamatogoto sering digunakan dalam berbagai konteks musik tradisional Jepang dan juga dijadikan alat musik standar dalam pengajaran musik Koto.
  • Koto Bass: Koto Bass adalah variasi dari Koto Yamatogoto yang lebih besar dan memiliki rentang nada yang lebih rendah. Ini digunakan untuk memberikan akomodasi nada rendah dalam pertunjukan musik tradisional.
  • Koto Bass Yamatogoto: Ini adalah kombinasi dari Koto Yamatogoto dan Koto Bass, memiliki 17 senar dengan senar rendah yang dipetik menggunakan bachi, sementara senar tinggi dipetik dengan jari. Ini memberikan rentang suara yang lebih luas dalam satu instrumen.
  • Koto Soh Koto: Koto Soh Koto adalah variasi Koto Yamatogoto yang memiliki 25 senar yang dipetik menggunakan jari dan bachi. JUmlah senar yang banyak memungkinkan alat musik ini untuk menghasilkan efek suara yang lebih kompleks dan lebih kaya.
  • Koto Bass Soh Koto: Koto Bass Soh Koto adalah versi besar dari Koto Soh Koto, yang memiliki senar yang lebih panjang dan lebih banyak. Ini digunakan untuk memainkan nada bass yang lebih dalam.
  • Koto Soh: Koto Soh adalah variasi dari Koto Yamatogoto yang memiliki 20 senar yang dipetik menggunakan jari dan bachi. Koto jenis ini umumnya digunakan dalam musik Gagaku. Gagaku dianggap musik kelas tinggi karena hanya dipertunjukkan untuk upacara keagamaan atau acara tertentu di istana kekaisaran bagi para bangsawan dan kaum bushi (kaum samurai).
  • Koto 17 Dawai: Seperti namanya, ini adalah varian Koto Yamatogoto yang memiliki 17 senar yang dipetik menggunakan jari dan bachi. Senar tambahan memberikan rentang nada yang lebih luas.

Setiap jenis koto tersebut memiliki peran yang berbeda dalam musik tradisional Jepang dan digunakan dalam berbagai konteks pertunjukan tradisional, seperti musik Gagaku, musik Kabuki, musik Noh, dan banyak lagi. 

4. Nijuugen Koto

“Nijuugen Koto” adalah jenis Koto yang memiliki dua puluh senar, lebih banyak dari Koto biasa yang memiliki 13 hingga 17 senar.

Nijuugen Koto memiliki bentuk yang lebih besar dan kompleks dibandingkan dengan Koto standar. Karena jumlah senar yang lebih banyak, memainkan Nijugen Koto memerlukan keterampilan teknis yang tinggi dan pemahaman mendalam tentang musik tradisional Jepang. 

Selain itu, dengan senar tambahan tersebut, memungkinkan pemain untuk menciptakan berbagai nuansa dan kompleksitas dalam musik yang dimainkan. Nijuugen Koto sering kali digunakan dalam pertunjukan musik yang lebih besar dan lebih dramatis.

5. Biwa

Awalnya, Biwa dibawa ke Jepang dari Tiongkok dan kemudian mengalami perkembangan dan modifikasi di Jepang. Dahulu, Biwa digunakan dalam konteks ritual dan kemudian digunakan dalam pertunjukan musik bercerita dan tari-tradisional. Biwa sering dimainkan untuk mendukung narasi dalam berbagai kisah epik dan legenda.

Alat musik petik tradisional Jepang bersenar empat hingga delapan ini memiliki bentuk yang mirip dengan gitar atau lute, dengan leher yang lebih pendek dan kepala yang lebih besar. Badan Biwa biasanya terbuat dari kayu, sementara bagian atasnya dilapisi dengan kulit hewan.

Ada beberapa jenis Biwa, di antaranya Satsuma Biwa, Chikuzen Biwa, Heike-Biwa, Gagaku-Biwa, dan lainnya. Masing-masing jenis Biwa memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal bentuk, jumlah senar, dan peran dalam pertunjukan musik tertentu.

  • Satsuma Biwa

Satsuma-biwa adalah salah satu jenis Biwa, alat musik petik tradisional Jepang, yang berasal dari wilayah Satsuma (sekarang Prefektur Kagoshima) di pulau Kyushu, Jepang. Memiliki bentuk yang lebih kecil dari Biwa biasanya dan memiliki empat senar.

  • Chikuzen Biwa

Chikuzen Biwa berasal dari wilayah Chikuzen di Jepang, yang sekarang merupakan bagian dari Prefektur Fukuoka. Nama “Chikuzen” merujuk pada wilayah asalnya. Pemain Chikuzen Biwa sering menggunakan alat musik ini untuk mendukung dan mengiringi narasi dalam berbagai jenis pertunjukan seperti cerita rakyat, teater kabuki, dan Noh.

  • Heike Biwa

Heike Biwa adalah salah satu jenis Biwa, alat musik petik tradisional Jepang, yang memiliki sejarah yang berhubungan dengan kisah Heike Monogatari.

Heike Monogatari adalah kisah epik Jepang yang menceritakan konflik antara dua klan samuraipada abad ke-12, Klan Taira dan Klan Minamoto. Heike Biwa biasa digunakan untuk mendukung narasi dan sebagai pengiring musik dalam pertunjukan yang terkait dengan kisah Heike Monogatari ini.

Heike Biwa memiliki konstruksi yang mirip dengan jenis Biwa lainnya, dengan senar yang biasanya berjumlah lima senar.

Meskipun Heike Biwa adalah alat musik tradisional, penggunaannya dalam pertunjukan dan adaptasi cerita Heike Monogatari masih bertahan hingga saat ini dan masih bisa ditemui sebagai alat musik pengiring di pertunjukan teater tradisional Kabuki atau teater boneka Bunraku.

6. Tonkori

Tonkori adalah alat musik petik tradisional yang berasal dari suku pribumi Ainu di Hokkaido, Jepang. Alat musik ini memiliki ciri khas yang unik dan memiliki peran penting dalam budaya Ainu.

Tonkori terbuat dari kayu yang dengan bentuk memanjang dan tipis. Kayu yang biasanya digunakan adalah kayu keras, seperti kayu cemara. Permukaan atas kayu ini dilapisi dengan kulit hewan yang berfungsi sebagai dinding resonansi.

Pada bagian atas kayu, terdapat senar-senar yang terbuat dari tali yang bisa ditarik dengan tegangan tertentu. Jumlah senar Tonkori biasanya berkisar antara lima hingga enam, tetapi ada juga jenis Tonkori dengan jumlah senar yang lebih banyak.

Untuk memainkan alat musik petik tradisional Jepang ini, pemain menggunakan jari-jari mereka untuk memetik dawai dengan teknik-teknik petikan tertentu. Seperti tapping, plucking, dan pergerakan jari yang cukup rumit untuk menghasilkan berbagai nuansa musik.

Suara yang dihasilkan oleh Tonkori bisa bernada ceria hingga nada yang bernuansa melankolis. Hal ini memungkinkan pemain untuk mengekspresikan berbagai emosi dan cerita melalui alat musik petik Tonkori.

7. Taishogoto

Tak seperti alat musik petik tradisional Jepang lainnya yang bisa berusia ratusan bahkan ribuan tahun, Taishogoto bisa dikatakan relatif baru karena pertama kali muncul pada awal abad ke-20 selama era Taisho (1912-1926) di Jepang.

Alat musik ini diciptakan oleh musisi Jepang bernama Goro Morita. Ia memulai pengembangan Taishogoto pada tahun 1907, dan alat musik ini pertama kali diperkenalkan ke publik pada tahun 1912, yang juga merupakan awal dari periode Taisho di Jepang. Karena alat musik ini diciptakan selama periode Taisho, maka ia menamakannya “Taishogoto.”

Salah satu tujuan utama Morita adalah membuat alat musik yang mudah dimainkan oleh orang-orang dari berbagai usia dan tingkat keterampilan musik. Taishogoto dirancang dengan tujuan untuk menjadi alat musik yang lebih mudah dikuasai daripada beberapa alat musik tradisional Jepang lainnya, seperti shamisen atau koto yang memerlukan keterampilan khusus dalam memainkannya.

Karena kemudahan dalam hal memainkannya, Taishogoto dengan cepat mendapatkan popularitas di kalangan masyarakat Jepang. Alat musik ini banyak dimainkan dalam berbagai konteks musik, termasuk pertunjukan musik populer, pertunjukan teater, dan bahkan dalam mengiringi lagu-lagu populer.

Hanya dalam beberapa tahun setelah penemuannya, Taishogoto menjadi instrumen yang sangat umum digunakan di Jepang, diajarkan di sekolah-sekolah dan dianggap sebagai alat musik yang mudah diakses oleh masyarakat.

Taishogoto memiliki bentuk yang unik dan khas yang membedakannya dari alat musik petik lainnya. Alat musik petik tradisional Jepang ini berbentuk persegi panjang dengan permukaan yang rata yang biasanya terbuat dari kayu atau bahan sintetis yang ringan.

Jumlah senarnya bervariasi tergantung pada model Taishogoto, tetapi biasanya berjumlah sekitar 15 hingga 20 senar. Senar-senar ini ditarik dengan tegangan tertentu dan dipetik dengan menggunakan bachi (pick) yang terbuat dari plastik.

Di bagian bawah Taishogoto, terdapat kunci penyetel dawai yang dapat digunakan untuk mengatur ketegangan senar-senar. Ini memungkinkan pemain untuk menyesuaikan nada alat musik sesuai dengan kebutuhan musik yang dimainkan.

Selain itu, terkadang Taishogoto memiliki penyangga tangan yang terletak di sisi ujung permukaan badannya. Penyangga tangan ini membantu pemain untuk menstabilkan dan menyamankan posisi tangan saat memainkan alat musik ini.

Demikian, Minasan sejumlah jenis alat musik tradisional Jepang yang unik dan menarik sekaligus merupakan bagian dari kebudayaan Jepang yang kaya.

Di tengah zaman yang cepat berubah dengan segala teknologi canggih yang menyertainya, semoga alat musik tradisional tetap ada dan tidak hilang digilas waktu yang terus bergulir. 


Bagi Minasan yang ingin tahu lebih banyak info soal Jepang lainnya, pantau terus artikel- artikel terbaru dari pandaikotoba.net yang selalu update setiap hari, jangan lupa untuk follow Instagram Pandai Kotoba dan subscribe channel Youtube Pandai Kotoba.

Mata..

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *