Culture

Rahasia Budaya Orang Jepang dalam Berbakti pada Orang Tua dan Guru

Hai, Minasan~! Jepang dikenal sebagai negara dengan budaya yang kaya dan penuh nilai-nilai luhur. Salah satu aspek yang paling menonjol adalah penghormatan terhadap orang tua dan guru. Budaya ini menjadi tradisi dan fondasi moral yang membentuk karakter bangsa Jepang.

Dalam masyarakat Jepang, menghormati orang tua dan guru dianggap sebagai kewajiban moral yang harus dipenuhi sepanjang hidup. Nilai-nilai ini tertanam sejak kecil melalui pendidikan keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial.

Lantas, bagaimana budaya ini terbentuk? Apa yang membuat orang Jepang sangat konsisten dalam memegang prinsip penghormatan ini? Pandai Kotoba pada artikel kali ini akan membahas secara mendalam asal-usul, praktik, dan filosofi di balik budaya menghormati orang tua dan guru di Jepang. Yuk, kita simak di bawah ini.

parent ph01
Berbakti kepada Orang Tua
dantai-travel.jp

Rahasia Budaya Orang Jepang dalam Berbakti pada Orang Tua dan Guru

A. Asal-Usul Budaya Menghormati Orang Tua dan Guru

Budaya menghormati orang tua dan guru di Jepang memiliki akar sejarah yang dalam, terbentuk melalui perpaduan pengaruh filosofis, sistem sosial, dan nilai-nilai tradisional yang telah menyatu selama berabad-abad. Salah satu faktor terpenting yang membentuk budaya ini adalah masuknya ajaran Konfusianisme ke Jepang sekitar abad ke-6 melalui hubungan diplomatik dan budaya dengan Cina dan Korea.

Ajaran Konfusianisme yang menekankan pentingnya hierarki sosial, kesetiaan, dan moralitas ini memberikan kerangka filosofis bagi masyarakat Jepang dalam memandang hubungan antara anak dan orang tua, serta murid dan guru. Ajaran ini tidak hanya mengatur tata krama sehari-hari, tapi juga menanamkan kesadaran bahwa menghormati generasi yang lebih tua adalah kewajiban moral yang melekat dalam kehidupan.

Selain pengaruh Konfusianisme, sistem keluarga tradisional Jepang yang dikenal sebagai ie (家) juga berperan besar dalam menanamkan nilai-nilai penghormatan ini. Pada masa feodal, keluarga Jepang berfungsi sebagai unit sosial yang sangat terstruktur, di mana setiap anggota memiliki peran dan tanggung jawab yang jelas. Kepala keluarga, biasanya sang ayah atau kakek, memegang otoritas tertinggi, dan anak-anak diharapkan untuk patuh serta berbakti tanpa syarat.

Shonai Jinja
Jinja, Kuil Penganut Shinto
commons.wikimedia.org

Konsep Oya Koukou (親孝行) atau berbakti kepada orang tua menjadi prinsip utama yang diajarkan turun-temurun. Sistem ini berlaku di kalangan samurai dan juga meresap ke dalam kehidupan masyarakat biasa, sehingga nilai-nilai kesetiaan dan penghormatan terhadap orang tua menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Jepang.

Perkembangan lebih lanjut dari budaya ini terjadi pada periode Meiji (1868-1912), ketika pemerintah Jepang secara sistematis memasukkan pendidikan moral (shuushin) ke dalam kurikulum sekolah. Pendidikan ini berfokus pada pengetahuan akademik dan menekankan pentingnya etika, disiplin, dan penghormatan terhadap guru serta orang tua.

Guru atau dalam bahasa Jepangnya sensei (先生) dianggap sebagai figur yang setara dengan orang tua dalam hal otoritas dan kebijaksanaan, sehingga siswa diajarkan untuk memperlakukan mereka dengan sikap penuh hormat. Kebijakan pemerintah pada masa itu bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang patuh dan harmonis, sekaligus memperkuat fondasi nasionalisme Jepang.

Selain itu, nilai-nilai penghormatan ini juga diperkuat oleh praktik-praktik keagamaan, khususnya dalam tradisi Shinto dan Buddhisme. Dalam Shinto, leluhur dipandang sebagai entitas yang harus dihormati karena mereka diyakini tetap hadir dalam kehidupan keturunannya. Sementara itu, Buddhisme Jepang, terutama aliran Zen menekankan pentingnya hubungan guru-murid atau Shitei Kankei (師弟関係) dalam proses pencarian spiritual dan intelektual.

Kombinasi dari semua faktor ini yaitu Konfusianisme, sistem keluarga atau ie, pendidikan moral era Meiji, serta nilai-nilai agama telah menciptakan budaya yang sangat kuat dalam menghormati orang tua dan guru, sebuah tradisi yang terus bertahan hingga Jepang modern meskipun mengalami berbagai perubahan sosial.

B. Bagaimana Orang Jepang Menghormati Orang Tua dan Guru?

Penghormatan terhadap orang tua dan guru dalam budaya Jepang tidak hanya sekadar formalitas, tapi tercermin dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, mulai dari bahasa, sikap, hingga tradisi yang diwariskan turun-temurun. Nilai-nilai ini begitu mengakar sehingga membentuk pola interaksi yang khas dalam masyarakat Jepang, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat luas. Untuk lebih jelasnya, yuk kita lanjut di bawah ini.

1. Penghormatan dalam Keluarga

Dalam struktur keluarga Jepang, penghormatan kepada orang tua diwujudkan melalui bahasa, tindakan, dan tanggung jawab moral. Salah satu manifestasi terkuat terlihat dalam penggunaan Keigo, yaitu bahasa sopan yang secara khusus digunakan ketika berbicara dengan orang yang lebih tua atau dihormati. Bahasa ini mencakup pilihan kata yang berbeda, intonasi, dan gestur tubuh yang menunjukan rasa hormat.

Seorang anak tidak akan memanggil orang tuanya dengan sebutan kasar atau menggunakan bahasa kasual, tapi selalu menjaga kesopanan dalam setiap interaksi. Selain itu, tradisi merawat orang tua di usia lanjut merupakan bentuk nyata dari penghormatan dalam keluarga Jepang. Berbeda dengan beberapa budaya Barat yang lebih memilih panti jompo, banyak keluarga Jepang merasa bahwa merawat orang tua mereka sendiri di rumah adalah kewajiban moral yang tidak bisa ditawar.

ryoushin irustoya
Ilustrasi Anak dan Orang Tua
irasutoya.com

Konsep Oya Koukou (親孝行) yang sudah disebutkan sebelumnya mengajarkan bahwa anak harus membalas jasa orang tua yang telah membesarkan mereka, sehingga merawat mereka di masa tua dianggap sebagai bentuk tanggung jawab dan rasa terima kasih. Ritual dan perayaan keluarga juga menjadi sarana untuk mengekspresikan penghormatan. Misalnya, festival Obon yang diadakan setiap Agustus merupakan momen ketika keluarga Jepang pulang ke kampung halaman untuk menghormati arwah leluhur.

Mereka membersihkan makam, menyajikan makanan, dan berdoa sebagai bentuk penghormatan kepada generasi sebelumnya. Begitu pula dengan Seijin Shiki atau upacara kedewasaan, para pemuda Jepang mengucapkan terima kasih kepada orang tua mereka yang telah membimbing mereka hingga dewasa.

2. Penghormatan kepada Guru

Di dunia pendidikan, penghormatan kepada guru merupakan nilai inti yang ditanamkan sejak dini. Ketika seorang siswa bertemu guru, baik di dalam maupun di luar sekolah, mereka akan membungkuk atau bahasa Jepangnya ojigi (お辞儀) sebagai tanda penghormatan. Bungkukan ini terdapat gestur fisik dan juga simbol pengakuan terhadap otoritas, pengetahuan, dan jasa guru dalam mendidik mereka.

ojigi
Murid Melakukan Ojigi sebagai Bentuk Hormat kepada Guru
nippon.com

Sikap menghormati guru juga tercermin dalam cara siswa berperilaku di kelas. Di Jepang, sangat jarang ditemukan siswa yang membantah atau bersikap tidak sopan kepada guru. Ketika guru berbicara, siswa mendengarkan dengan penuh perhatian, dan ketika diberi tugas, mereka mengerjakannya dengan sungguh-sungguh sebagai bentuk penghargaan. Bahkan setelah lulus, banyak mantan siswa yang tetap menjaga hubungan baik dengan guru mereka, mengunjungi mereka, atau memberikan hadiah sebagai ungkapan terima kasih.

Tradisi memberi hadiah yaitu Oseibo dan Ochuugen juga merupakan bagian dari budaya penghormatan kepada guru. Pada momen-momen tertentu dalam setahun, seperti akhir tahun atau pertengahan tahun, siswa atau orang tua siswa sering memberikan hadiah kecil kepada guru sebagai tanda apresiasi. Hadiah ini tidak harus mewah dan mengandung makna simbolis bahwa jasa guru dihargai dan diingat.

3. Nilai Kesopanan dalam Masyarakat Jepang

Penghormatan kepada orang tua dan guru tidak terbatas hanya dalam lingkup keluarga dan sekolah, tetapi juga tercermin dalam cara orang Jepang berinteraksi di masyarakat. Salah satu prinsip utama dalam budaya Jepang adalah konsep Wa atau harmoni yang menekankan pentingnya menjaga hubungan baik dan menghindari konflik. Karena itu, orang Jepang cenderung menghindari sikap menentang atau bersikap kasar kepada orang yang lebih tua, baik dalam percakapan maupun tindakan.

My Senpai is Annoying Takeda tousling Futabas hair 1024x602 1
Hubungan Senpai-Kouhai dalam Anime My Senpai Is Annoying
lrmonline.com

Di tempat kerja, misalnya, budaya Senpai-Kouhai atau senior-junior mengajarkan bahwa junior harus menghormati senior, tidak hanya karena pengalaman mereka, tapi juga karena posisi mereka dalam hierarki sosial. Hal ini sejalan dengan prinsip menghormati guru, yaitu seseorang yang lebih berpengalaman dianggap pantas mendapatkan rasa hormat.

C. Sejak Kapan Budaya Ini Ditanamkan?

Akarnya budaya penghormatan kepada orang tua dan guru di Jepang dapat ditelusuri jauh ke masa sebelum periode sejarah tertulis, tapi pengkristalisasinya sebagai nilai sosial yang terstruktur mulai jelas terlihat sejak abad ke-6 Masehi. Pada masa ini, pengaruh kebudayaan Tiongkok mulai masuk ke Jepang melalui Korea, membawa serta ajaran Konfusianisme yang kemudian menjadi fondasi filosofis bagi sistem nilai masyarakat Jepang. Ajaran tentang bakti anak yaitu Oya Koukou dan penghormatan kepada guru yaitu Shitei Kankei (師弟関係) dalam Konfusianisme berkembang pesar di Jepang karena sejalan dengan kepercayaan lokal yang sudah ada mengenai penghormatan kepada leluhur dalam tradisi Shinto.

Periode Asuka (538-710) dan Nara (710-794) menjadi era penting ketika nilai-nilai ini mulai dibakukan. Pangeran Shotoku, seorang tokoh berpengaruh di abad ke-7 secara aktif mempromosikan prinsip-prinsip Konfusianisme melalui Undang-undang Tujuh Belas Pasal yang menekankan pentingnya harmoni sosial dan penghormatan kepada atasan. Pada masa ini, konsep bahwa seorang anak harus berbakti kepada orang tua dan murid harus menghormati guru mulai dijadikan sebagai pedoman moral bagi seluruh lapisan masyarakat, dari kalangan istana hingga rakyat biasa.

Shotoku Taishi Shomankyo Kosan
Pangeran Shotoku
commons.wikimedia.org

Perkembangan lebih lanjut terjadi pada periode Kamakura (1185-1333) dan Muromachi (1336-1573), ketika sistem feodal menguat dan nilai-nilai kesetiaan dalam hubungan tuan-hamba (Bushido) mulai berkembang di kalangan samurai. Dalam konteks ini, penghormatan kepada orang tua dan guru menjadi bagian integral dari kode etik samurai, di mana kesetiaan kepada orang tua dan guru dianggap sama pentingnya dengan kesetiaan kepada tuan feodal. Sistem keluarga (ie) yang menjadi ciri masyarakat feodal Jepang semakin memperkuat nilai-nilai ini dengan menempatkan kepala keluarga sebagai figur yang harus dihormati oleh seluruh anggota keluarga.

Periode Edo (1603-1868) menandai periode ketika nilai-nilai penghormatan ini benar-benar melebur dalam budaya Jepang. Pemerintahan Keshogunan Tokugawa secara sistematis menjadikan Konfusianisme sebagai ideologi negara dan melalui sistem pendidikan domain (hankou) yang berkembang pesat, nilai-nilai tentang bakti dan penghormatan diajarkan secara formal kepada kalangan samurai. Buku-buku moral seperti “Onna Daigaku” (Pelajaran Besar untuk Wanita) dan “Shushingaku” (Etika untuk Anak Muda) menjadi panduan wajib yang menekankan kewajiban anak terhadap orang tua dan murid terhadap guru.

Transformasi besar terjadi pada periode Meiji (1868-1912) ketika Jepang memodernisasi sistem pendidikannya. Pemerintah Meiji memasukkan mata pelajaran Shuushin (pendidikan moral) ke dalam kurikulum nasional yang secara eksplisit mengajarkan tentang kewajiban menghormati orang tua dan guru sebagai bagian dari pembangunan karakter bangsa.

sekolah di zaman Meiji
Suasana Kelas pada Zaman Meiji
meijirestoration11.weebly.com

Lebih menariknya lagi, meskipun Jepang mengalami westernisasi yang cepat selama periode ini, nilai-nilai dasar tentang penghormatan ini justru diperkuat sebagai bagian dari identitas nasional yang membedakan Jepang dari Barat.

Di abad ke-20, meskipun sistem pendidikan moral (shuushin) dihapuskan setelah Perang Dunia II karena dianggap terkait dengan militerisme, nilai-nilai dasar tentang penghormatan kepada orang tua dan guru tetap bertahan melalui pendidikan informal dalam keluarga dan praktik-praktik sosial sehari-hari.

Di era kontemporer, nilai-nilai ini terus hidup sebagai tradisi tapi telah menjadi bagian dari etos budaya Jepang modern yang meskipun mengalami berbagai modifikasi bentuk, tetap mempertahankan esensinya sebagai landasan moral masyarakat.

D. Apa yang Membuat Budaya Ini Bisa Terbentuk dan Bertahan?

Budaya penghormatan kepada orang tua dan guru di Jepang bukan fenomena yang muncul secara kebetulan, tapi hasil dari proses panjang yang dibentuk oleh berbagai faktor sosial, historis, dan institusional yang saling memperkuat. Kelestarian budaya ini hingga era modern dapat ditelusuri melalui beberapa elemen kunci yang bekerja secara sinergis dalam masyarakat Jepang.

Pendidikan memainkan peran sentral dalam memelihara nilai-nilai ini, dimulai dari lingkungan keluarga yang menerapkan disiplin ketat sejak dini. Orang tua Jepang harus mengajarkan sopan santun secara verbal dan lebih penting lagi melalui keteladanan perilaku sehari-hari.

Anak-anak dibiasakan untuk selalu menggunakan bahasa hormat (keigo) ketika berbicara dengan orang yang lebih tua dan setiap penyimpangan dari norma ini segera mendapatkan sanksi. Proses pembelajaran ini tidak bersifat instruksional semata, melainkan lebih sebagai internalisasi nilai melalui pembiasaan terus-menerus yang dimulai sejak anak bisa berkomunikasi.

oya koukou 2
Interaksi Keluarga Kecil di Jepang
allabout.co.jp

Sistem pendidikan formal di Jepang secara konsisten memperkuat nilai-nilai ini melalui kurikulum yang terstruktur. Guru yang berperan sebagai pengajar pengetahuan akademik dan juga sebagai figur moral yang harus dihormati. Sekolah-sekolah Jepang menerapkan aturan ketat mengenai tata krama siswa terhadap guru, seperti wajib membungkuk ketika bertemu, tidak memotong pembicaraan, dan menunjukkan sikap hormat di setiap kesempatan.

Penghormatan ini tidak berhenti begitu saja saat seseorang lulus sekolah, karena hubungan guru-murid di Jepang seringkali berlanjut seumur hidup dengan mantan siswa tetap menjaga komunikasi dan menunjukkan rasa terima kasih kepada guru mereka.

Struktur sosial Jepang yang hierarkis juga menjadi faktor penting dalam mempertahankan budaya ini. Sistem Senpai-Kouhai (senior-junior) yang berlaku di berbagai institusi, mulai dari sekolah hingga dunia kerja, menciptakan pola hubungan yang jelas tentang siapa yang harus dihormati berdasarkan pengalaman dan posisi.

Sistem ini berfungsi sebagai perluasan dari nilai penghormatan dalam keluarga, di mana generasi yang lebih tua atau lebih berpengalaman secara otomatis mendapatkan posisi terhormat. Konsep ini begitu mengakar sehingga seringkali tidak perlu diucapkan, tapi dipahami secara implisit oleh seluruh anggota masyarakat.

Peran pemerintah dan media dalam mempromosikan nilai-nilai tradisional juga tidak bisa diabaikan. Selama periode Meiji, pemerintah secara aktif memasukkan pendidikan moral (shuushin) ke dalam kurikulum nasional sebagai upaya membangun identitas bangsa. Di era modern, berbagai kampanye publik terus dilakukan untuk memelihara nilai-nilai luhur ini. Media massa, termasuk film dan anime, seringkali menampilkan narasi yang mengangkat pentingnya menghormati orang tua dan guru, sehingga nilai-nilai ini terus hidup dalam kesadaran kolektif masyarakat.

sensei to seito
Murid Memperhatikan Gurunya
gakumado.mynavi.jp

Terakhir, adaptasi nilai-nilai tradisional ini dalam konteks modern memungkinkan kelestariannya. Meskipun Jepang telah menjadi negara maju dengan teknologi canggih, nilai-nilai dasar penghormatan ini tidak ditinggalkan, tapi disesuaikan dengan zaman. Misalnya, walaupun semakin banyak wanita yang bekerja di luar rumah, nilai-nilai keluarga tetap dijaga. Demikian pula dengan sistem pendidikan yang terus berkembang, tapi tetap mempertahankan esensi penghormatan kepada guru.

Kombinasi dari semua faktor di antaranya ada pendidikan keluarga yang kuat, sistem sekolah yang terstruktur, hierarki sosial yang jelas, dukungan pemerintah, kontrol sosial yang efektif, serta kemampuan beradaptasi dengan perubahan zaman. Semuanya membuat budaya menghormati orang tua dan guru di Jepang terbentuk dengan kokoh dan mampu bertahan menghadapi berbagai perubahan sosial di era globalisasi.

Nilai-nilai ini telah menjadi bagian dari rahasia budaya Jepang yang terus diwariskan dari generasi ke generasi, membentuk masyarakat yang unik dalam memandang pentingnya penghormatan kepada generasi pendahulu.


Dalam pusaran perubahan zaman yang tak kenal henti, budaya menghormati orang tua dan guru di Jepang tetap tegak bagai pohon sakura yang berakar kuat. Nilai-nilai ini menjadi warisan masa lalu dan kompas moral yang terus menuntun masyarakat Jepang di tengah gelombang modernisasi.

Dari keluarga hingga ruang kelas, semangat Oya Koukou dan penghormatan kepada guru terus hidup dalam gestur sederhana, dalam bahasa penuh hormat, dalam komitmen untuk merawat generasi pendahulu. Inilah salah satu rahasia mengapa Jepang bisa menjadi negara maju tanpa kehilangan jati dirinya. Sebuah pelajaran berharga untuk kita bahwa kemajuan teknologi tak harus mengikis rasa hormat dan modernitas bisa berjalan beriringan dengan tradisi.

Bagaimana? Menarik kan rahasia budaya orang Jepang dalam berbakti kepada orang tua dan guru. Kita mengambil nilai-nilai baik ini dalam kehidupan sehari-hari kita lho. Karena orang tua dan guru, kita dan hidup kita bukanlah apa-apa.

Jika Minasan ingin belajar budaya Jepang lainnya, Pandai Kotoba punya banyak artikelnya di website ini lho. Nih ada salah satu rekomendasi: Menanamkan Nilai Moral dari Pendidikan Sekolah di Jepang, klik untuk membacanya ya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *