Culture

Mengulik Budaya Antre dan Disiplin Waktu Ala Orang Jepang

Hai Minasan~! Jepang menjadi salah satu negara dengan tingkat kedisiplinan dan efisiensi tertinggi di dunia. Salah satu fenomena yang sering menarik perhatian adalah budaya antre yang tertib dan disiplin waktu yang sangat ketat. Di stasiun kereta, halte bus, restoran cepat saji, bahkan saat terjadi bencana alam, orang Jepang tetap mengantre dengan rapi tanpa saling mendorong atau berebut.

Bagaimana budaya ini bisa terbentuk? Mengapa masyarakat Jepang bisa begitu disiplin dalam hal waktu dan tata tertib antre? Pandai Kotoba pada artikel kali ini akan membahas asal-usul, faktor pembentuk, dan nilai-nilai budaya yang melatarbelakangi kedisiplinan orang Jepang. Yuk kita simak di bawah ini.

Mengantre dengan Tertib
nli-research.co.jp

Budaya Antre dan Disiplin Waktu ala Orang Jepang

A. Asal-Usul Budaya Antre dan Disiplin Waktu di Jepang

Budaya antre dan disiplin waktu yang menjadi ciri khas masyarakat Jepang tidak muncul secara tiba-tiba, tapi hasil dari proses panjang yang dipengaruhi oleh nilai-nilai filosofis, sistem sosial, dan transformasi sejarah dari waktu ke waktu.

Untuk memahami mengapa orang Jepang begitu tertib dalam mengantre dan sangat menghargai ketepatan waktu, kita perlu nih menelusuri akar budaya ini hingga ke masa lalu, saat ajaran Konfusianisme, sistem feodal, dan modernisasi era Meiji memainkan peran pentingnya di masyarakat Jepang. Berikut di bawah ini penjelasannya ya.

1. Pengaruh Konfusianisme: Dasar Etika dan Kolektivisme

Salah satu fondasi terkuat dari budaya antre dan disiplin waktu di Jepang berasal dari ajaran Konfusianisme yang masuk ke Jepang sekitar abad ke-6 melalui Korea dan Cina. Konfusianisme tidak hanya menjadi sistem filosofis, tapi juga membentuk cara berpikir dan berperilaku masyarakat Jepang dalam kehidupan sehari-hari.

Ajaran ini menekankan pentingnya harmoni sosial atau dalam bahasa Jepangnya 和 (wa), hierarki, dan kesopanan, yang mana setiap individu harus menjaga ketertiban agar tidak mengganggu keseimbangan kelompok. Dalam konteks antrean, Konfusianisme mengajarkan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama, sehingga mendahului orang lain dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip keadilan dan rasa hormat.

Selain itu, nilai Meiwaku O Kakenai (迷惑をかけない) yang artinya “tidak merepotkan orang lain”, membuat orang Jepang sangat sadar untuk tidak menciptakan gangguan, termasuk dengan tidak menyerobot antrean atau datang terlambat. Konsep ini diperkuat oleh kepercayaan bahwa ketertiban umum lebih penting daripada kepentingan pribadi, sehingga antre menjadi bentuk pengakuan terhadap hak bersama.

2. Era Feodal Jepang: Disiplin dan Kontrol Sosial yang Ketat

Periode Edo (1603-1868) merupakan masa di mana budaya disiplin dan kepatuhan terhadap aturan semakin kental dalam masyarakat Jepang. Di bawah pemerintahan Keshogunan Tokugawa, sistem feodal yang ketat diterapkan dengan kelas samurai sebagai penjaga tatanan sosial. Masyarakat dibagi ke dalam strata yang jelas di antaranya samurai, petani, pengrajin, dan pedagang. Setiap lapisan masyarakat harus mematuhi aturan yang berlaku.

1216307 1 scaled 1
Petani atau Noumin (農業) pada Periode Edo
education-geo-history-cit.com

Pada periode ini, budaya antre mulai terbentuk karena beberapa faktor. Yang pertama, distribusi sumber daya yang terbatas, seperti beras dan bahan makanan sering kali memaksa pemerintah setempat mengatur pembagian melalui sistem antrean. Yang kedua, hukuman sosial dan fisik yang keras bagi pelanggar aturan membuat orang terbiasa untuk tertib. Misalnya, di beberapa wilayah, orang yang kedapatan menyerobot antrean atau bertindak tidak sopan bisa mendapat sanksi dari otoritas setempat.

Selain itu, sistem Gonin Gumi (五人組) yaitu “kelompok lima keluarga” menciptakan pengawasan kolektif di mana setiap anggota masyarakat saling mengingatkan untuk mematuhi norma. Jika satu orang melanggar, seluruh kelompok bisa terkena imbasnya. Mekanisme ini memperkuat kebiasaan untuk antre dan disiplin, karena pelanggaran tidak hanya merugikan diri sendiri, tapi juga orang lain.

3. Modernisasi Era Meiji: Disiplin Waktu sebagai Bagian dari Kemajuan

Ketika Jepang memasuki periode Meiji (1868-1912), negara ini melakukan restrukturisasi besar-besaran untuk mengejar ketertinggalan dari Barat. Salah satu perubahan paling signifikan adalah penekanan pada efisiensi dan ketepatan waktu, terutama dalam industri dan transportasi.

Pemerintah Meiji memperkenalkan sistem kereta api pada tahun 1872, dan sejak itu, jadwal yang tepat menjadi kunci operasional transportasi massal. Keterlambatan kereta dianggap sebagai kegagalan manajemen, sehingga masyarakat diajarkan untuk selalu tepat waktu. Sekolah-sekolah juga mulai menerapkan bel sebagai penanda waktu yang mengajarkan anak-anak pentingnya disiplin sejak dini.

Selain itu, industrialisasi membutuhkan tenaga kerja yang teratur dan efisien. Pabrik-pabrik menerapkan sistem shift kerja dengan ketat, dan pekerja yang terlambat bisa mengurangi produktivitas seluruh tim. Nilai “kichinto” (tepat, rapi, teratur) menjadi prinsip dasar dalam kehidupan kerja, yang kemudian merambah ke kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kebiasaan antre.an aturan ketat untuk membentuk masyarakat yang efisien dan teratur.

B. Mengapa Budaya Antre Begitu Kuat di Jepang?

Budaya antre yang sangat tertib dan konsisten bukan fenomena kebetulan di Jepang, tapi hasil dari konstruksi sosial yang kompleks. Didukung oleh nilai-nilai budaya, sistem pendidikan, dan mekanisme penguatan positif dalam masyarakat.

Untuk memahami mengapa orang Jepang sangat patuh dalam mengantre, kita perlu mengulik lebih dalam faktor-faktor apa saja sih seperti psikologis, sosiologis, dan struktural yang membentuk perilaku kolektif ini. Yuk, kita simak lagi di bawah ini.

1. Prinsip Wa (和) atau Harmoni Sosial sebagai Fondasi Perilaku

Di jantung budaya antre Jepang terletak konsep Wa (和) atau harmoni sosial, yaitu sebuah prinsip yang menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dan ketenangan dalam interaksi antarmanusia. Dalam perspektif budaya Jepang, antre yang tertib bukan hanya masalah efisiensi, tapi merupakan bentuk nyata dari penghormatan terhadap hak dan kenyamanan orang lain. Setiap individu dilatih untuk selalu mempertimbangkan bagaimana tindakannya akan memengaruhi orang di sekitarnya.

Konsep ini diperkuat oleh ide Meiwaku O Kakenai (迷惑をかけない) atau “tidak merepotkan orang lain” yang berfungsi sebagai pengendali sosial alami. Ketika seseorang mencoba menyerobot antrean, mereka bukan hanya melanggar aturan, tapi secara simbolis telah mengganggu ketertiban umum dan menunjukkan ketidakpedulian terhadap masyarakat.

a76c363696bd95de1eb387e14862d8b4 t
Ilustrasi dari Haji (恥) atau rasa malu
ac-illust.com

Dalam budaya Jepang yang sangat kontekstual, ketika penilaian sosial sangat berpengaruh, tindakan seperti itu dapat berakibat pada kehilangan muka atau Haji (恥) (rasa malu) yang merupakan sanksi sosial yang jauh lebih efektif daripada hukuman formal.

2. Pendidikan Dini yang Menanamkan Kesadaran Kolektif

Sistem pendidikan Jepang memainkan peran krusial dalam membentuk kebiasaan antre sejak usia dini. Anak-anak di TK dan SD tidak hanya diajarkan untuk mengantre secara fisik, tapi juga memahami filosofi di baliknya. Kegiatan sehari-hari di sekolah, seperti makan siang bersama atau pulang sekolah, selalu dilakukan dengan antrean teratur.

Yang bikin menarik, guru-guru Jepang jarang perlu berteriak untuk mendisiplinkan anak didik mereka. Sebaliknya, mereka menggunakan pendekatan mengamati dari jauh yang membiarkan anak-anak belajar mengatur diri sendiri dalam kelompok.

Selain itu, tradisi Souji yaitu tradisi membersihkan sekolah bersama ini mengajarkan tanggung jawab kolektif. Anak-anak menyadari bahwa ketertiban adalah hasil kerja sama dan bukan paksaan. Nilai-nilai ini kemudian terbawa hingga dewasa, di mana antre menjadi refleksi dari kedewasaan sosial seseorang.

3. Efisiensi Sistem dan Infrastruktur yang Mendukung

Budaya antre di Jepang juga diperkuat oleh sistem dan infrastruktur yang dirancang untuk memfasilitasi ketertiban. Contoh paling nyata adalah tata letak stasiun kereta yang selalu menyediakan sistem antre berbaris rapi di kedua sisi pintu kereta sebelum penumpang turun. Garis penanda dan petunjuk arah antrean ada di mana-mana, dari halte bus hingga konbini yang membuat perilaku tertib menjadi pilihan yang paling mudah dan alami.

c705a372
Mengantre dengan Rapi di Garis Penanda di Peron Stasiun Jepang
osoroshian.com

Yang lebih menarik adalah bagaimana sistem ini didukung oleh teknologi. Banyak restoran dan instansi pemerintah menggunakan Nambaa Tori (ナンバー取り) yaitu sistem nomor antrean digital yang menghilangkan kebutuhan untuk berebut tempat. Mekanisme seperti ini mengurangi friksi sosial dan membuat pengalaman mengantre menjadi lebih adil dan transparan.

4. Peran Media dan Modeling Sosial

Media massa di Jepang secara konsisten memperkuat norma antre melalui berbagai cara. Iklan layanan masyarakat sering menampilkan figur publik yang dengan sabar mengantre, sementara drama TV dan anime kerap menyisipkan pesan tentang pentingnya menunggu giliran. Yang lebih penting adalah modeling dari figur otoritas mulai dari politisi hingga tokoh publik yang dengan sengaja menunjukkan diri mereka mengantre seperti rakyat biasa.

Pada tingkat komunitas, terdapat fenomena Jishuku 自粛 yaitu pengekangan diri spontan di mana masyarakat secara kolektif memilih untuk tidak memborong barang saat krisis, demi memastikan semua orang mendapat bagian. Perilaku ini terlihat jelas saat bencana alam, ketika korban gempa dan tsunami tetap mengantre dengan tenang untuk mendapatkan air dan makanan, meski dalam kondisi darurat.

5. Sanksi Sosial yang Halus tapi Efektif

Berbeda dengan banyak budaya lain yang mengandalkan hukuman formal untuk pelanggaran antrean, Jepang mengandalkan sanksi sosial tidak langsung yang justru lebih ampuh. Seseorang yang menyerobot antrean mungkin tidak akan dimarahi secara langsung, tapi akan menerima pandangan menyalahkan dari orang sekitar atau diabaikan oleh petugas yang sengaja melayaninya paling akhir. Dalam masyarakat yang sangat peka terhadap penilaian sosial, bentuk-bentuk disiplin halus seperti ini sering kali lebih efektif daripada denda atau teguran keras.

C. Disiplin Waktu: Mengapa Orang Jepang Sangat Tepat Waktu?

Ketepatan waktu bagi orang Jepang menjadi kebiasaan baik dan sebuah prinsip hidup yang menyatu dalam sendi-sendi budaya mereka. Di Jepang, keterlambatan bahkan hanya beberapa menit dianggap sebagai bentuk ketidakprofesionalan yang serius. Fenomena ini dapat ditelusuri melalui berbagai aspek sosial, historis, dan psikologis yang membentuk cara masyarakat Jepang memandang dan menghargai waktu. Untuk lebih jelasnya lagi dijabarkan di bawah ini ya.

1. Pengaruh Sistem Transportasi yang Sempurna

Salah satu pilar utama yang membentuk disiplin waktu masyarakat Jepang adalah sistem transportasi umum mereka yang terkenal tepat waktu. Kereta api Shinkansen, misalnya, memiliki tingkat keterlambatan rata-rata kurang dari satu menit per tahun. Sebuah pencapaian yang mungkin saja hampir mustahil di banyak negara. Ketepatan ini bukan hanya kebetulan, tapi hasil dari komitmen seluruh elemen masyarakat, mulai dari teknisi, operator, hingga penumpang.

all
Peta Kereta Bawah Tanah dari Tokyo Metro
tokyometro.jp

Bagi orang Jepang, jadwal transportasi adalah janji yang tidak boleh dilanggar. Jika sebuah kereta diumumkan akan tiba pukul 08:15, maka kereta itu benar-benar akan datang tepat pada detik yang ditentukan. Ketergantungan masyarakat pada sistem yang begitu presisi ini menciptakan siklus umpan balik positif: karena transportasi tepat waktu, orang terbiasa disiplin; karena orang disiplin, sistem transportasi bisa berjalan sesuai rencana.

2. Budaya Kerja yang Menghargai Setiap Detik

Dunia profesional di Jepang mengoperasionalkan penghargaan terhadap waktu melalui prinsip Chouwa (調和) berarti “keseimbangan” dan Muda no Haishi (無駄の廃止) berarti “penghapusan pemborosan”. Dalam konteks bisnis, rapat tidak pernah dijadwalkan secara longgar, setiap menit dihitung dan dimanfaatkan secara optimal. Sebuah rapat yang dijadwalkan 30 menit benar-benar akan berakhir dalam 30 menit, tanpa pembicaraan bertele-tele.

Pekerja Jepang juga terbiasa datang lebih awal, biasanya 10-15 menit sebelum waktu kerja dimulai untuk mempersiapkan segala sesuatu. Kebiasaan ini dikenal sebagai Mae Muki (前向き) atau “bersikap proaktif”, yang mana kesiapan sebelum waktu yang ditentukan dianggap sebagai bentuk tanggung jawab moral. Sebaliknya, datang “tepat waktu” justru bisa dianggap sebagai keterlambatan, karena berarti seseorang belum siap ketika waktu resmi dimulai.

3. Sanksi Sosial yang Tidak Terucapkan

Meskipun jarang ada hukuman formal untuk keterlambatan dalam situasi informal, masyarakat Jepang mengembangkan mekanisme disiplin yang jauh lebih halus tapi efektif. Seorang yang sering terlambat akan secara perlahan kehilangan kepercayaan kolega atau teman, sanksi sosial yang dalam budaya berbasis kelompok seperti Jepang bisa lebih menyakitkan daripada teguran resmi.

Di dunia kerja, keterlambatan berulang dapat mengakibatkan Mura Hachibu (村八分) yang berarti “pengucilan tidak resmi”, yaitu rekan kerja mulai mengisolasi pelaku tanpa perlu konfrontasi langsung. Dalam masyarakat yang sangat menghargai harmoni kelompok, bentuk hukuman seperti ini sering kali lebih berdampak daripada denda atau pemotongan gaji.

4. Pendidikan sejak Dini: Bel sebagai Ritual Disiplin

Sistem pendidikan Jepang memainkan peran penting dalam menanamkan disiplin waktu. Dari sekolah dasar, anak-anak sudah dibiasakan dengan ritual waktu yang ketat, yaitu di antaranya bel berbunyi tepat pukul 08:30 untuk masuk kelas, pukul 12:00 untuk makan siang, dan seterusnya tanpa toleransi. Kegiatan ekstrakurikuler seperti klub olahraga atau musik juga memiliki jadwal latihan yang sangat terstruktur.

Yang menariknya adalah guru-guru Jepang jarang memberi hukuman untuk keterlambatan. Sebaliknya, mereka menggunakan metode Minna De (皆で) yang berarti “bersama-sama”, yaitu seluruh kelas akan menunggu dengan diam jika ada satu siswa yang terlambat, kemudian menciptakan rasa tanggung jawab kolektif yang membuat setiap individu berpikir dua kali sebelum datang tidak tepat waktu.

5. Peran Teknologi dan Desain Lingkungan

Masyarakat Jepang didukung oleh infrastruktur yang memudahkan ketepatan waktu. Jam di tempat umum seperti di stasiun, sekolah, kantor selalu terintegrasi dengan akurat. Aplikasi transportasi seperti Jorudan atau Yahoo! Transit memberikan prediksi kedatangan kendaraan hingga ke detik. Bahkan lampu lalu lintas di Jepang memiliki penghitung mundur yang memungkinkan pejalan kaki mengatur langkah mereka.’

ogp transit1200
Tampilan Ikon dari Aplikasi Yahoo! Transit
transit.yahoo.co.jp

Desain perkotaan juga ikut berkontribusi. Jarak antara stasiun, halte bus, dan tujuan akhir biasanya dihitung dengan presisi sehingga orang bisa merencanakan perjalanan mereka menit demi menit. Di dunia kerja, sistem Taima Kaado atau “kartu waktu” yang mencatat kedatangan hingga ke detik menjadi pengingat konkret tentang nilai ketepatan waktu.

D. Faktor Pendukung Budaya Antre dan Disiplin Waktu

Seperti yang sudah dijelaskan di atasn, budaya antre yang tertib dan disiplin waktu yang ketat di Jepang tidak dapat dijelaskan hanya sebagai hasil dari nilai-nilai budaya semata, tapi juga produk dari ekosistem sosial yang dirancang dengan sengaja untuk memfasilitasi dan mempertahankan perilaku tersebut. Beberapa elemen kunci bekerja secara sinergis menciptakan lingkungan di mana ketertiban dan ketepatan waktu bukan hanya sebuah pilihan, tapi menjadi jalan yang paling alami dan rasional untuk dilakukan. Faktor apa saja yang mendukung akan dijelaskan di bawah ini.

1. Infrastruktur yang Dirancang untuk Ketertiban

Perancangan ruang publik di Jepang menunjukkan pemikiran mendalam tentang bagaimana memandu perilaku manusia. Garis penanda antrean selain juga simbol di lantai, tapi juga bagian dari sistem yang lebih besar. Di banyak stasiun kereta misalnya, terdapat pola lantai khusus yang mengarahkan penumpang untuk membentuk dua barisan rapi di sisi pintu kereta, sementara area tengah dikosongkan untuk memungkinkan penumpang turun dengan lancar. Desain ini didukung oleh pencahayaan khusus dan penanda taktil untuk tunanetra yang menciptakan lingkungan yang inklusif sekaligus teratur.

Sistem transportasi umum menjadi contoh sempurna bagaimana teknologi dan desain saling melengkapi. Papan informasi digital di stasiun selain menampilkan jadwal, tapi juga memberikan update real-time tentang keterlambatan dalam hitungan detik. Kereta api dilengkapi dengan sistem kontrol yang memungkinkan mereka tiba dan berangkat dalam interval tepat, sementara peron memiliki sensor yang memantau kepadatan penumpang. Ketika semua elemen ini bekerja bersama, antrean menjadi konsekuensi logis dari sistem yang efisien, bukan paksaan yang harus dituruti.

2. Mekanisme Penguatan Positif dalam Masyarakat

Masyarakat Jepang mengembangkan serangkaian penguatan positif halus yang membuat perilaku tertib menjadi pilihan yang dihargai. Di minimarket seperti 7 Eleven atau FamilyMart misalnya, petugas kasir akan secara otomatis melayani pelanggan yang mengantre dengan benar terlebih dahulu. Di dunia kerja, karyawan yang dikenal selalu tepat waktu lebih mungkin mendapatkan proyek penting atau promosi, bukan karena aturan tertulis, tapi karena persepsi tentang reliabilitas mereka.

3081
Toko FamilyMart di Jepang atau dengan sebutan Famima
sra-chofu.co.jp

Sistem penghargaan sosial ini diperkuat oleh media massa yang konsisten menampilkan citra positif tentang ketertiban. Acara televisi sering menayangkan segmen tentang antrean panjang untuk makanan tertentu atau kerumunan orang yang tertib saat event besar, menormalisasi perilaku ini sebagai sesuatu yang patut dibanggakan.

Surat kabar bahkan melaporkan insiden langka ketika kereta mengalami keterlambatan signifikan dengan nada permintaan maaf yang dalam. Ini menguatkan gagasan bahwa ketepatan waktu adalah norma yang tak tergoyahkan.

3. Peran Otoritas sebagai Model Perilaku

Figur otoritas di Jepang mulai dari pejabat pemerintah hingga tokoh publik dengan sengaja memosisikan diri sebagai model perilaku tertib. Ketika Perdana Menteri atau anggota keluarga kekaisaran muncul di acara publik, mereka selalu tiba tepat waktu, sering kali beberapa menit lebih awal, dan dengan sabar mengikuti prosedur antrean seperti warga biasa.

Polisi lalu lintas Jepang terkenal akan ketegasan mereka dalam menegakkan aturan parkir, tapi justru sangat toleran terhadap pejalan kaki yang sabar menunggu lampu hijau, dan menciptakan contoh nyata tentang bagaimana aturan berlaku untuk semua lapisan masyarakat.

Di sektor swasta, CEO perusahaan besar dikenal karena kebiasaan datang lebih awal ke kantor. Budaya ini meresap hingga ke level manajemen menengah, saat atasan yang menunggu bawahan untuk memulai rapat adalah hal yang tabu. Hierarki perusahaan tradisional Jepang justru bekerja terbalik dalam hal ketepatan waktu, semakin tinggi posisi seseorang, semakin besar tekanan sosial untuk memberikan contoh disiplin waktu.

4, Adaptasi terhadap Perkembangan Zaman

Yang membuat budaya antre dan disiplin waktu Jepang menjadi lebih menarik adalah kemampuannya beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan esensinya. Di era digital, sistem antre virtual mulai banyak digunakan di rumah sakit dan kantor pemerintahan, tapi justru memperkuat nilai-nilai dasar ketertiban. Aplikasi media sosial seperti LINE mengintegrasikan fitur yang memungkinkan pengguna memberi tahu jika mereka akan terlambat dan mempertahankan nilai komunikasi tentang waktu sekalipun dalam format modern.

Bencana alam seperti gempa bumi besar justru menjadi ujian terbaik bagi ketahanan budaya ini. Saat terjadi krisis, warga Jepang terkenal tetap mengantre dengan tertib untuk mendapatkan bantuan yang menjadikannya sebuah fenomena yang sering membuat dunia internasional terkagum-kagum. Kemampuan mempertahankan ketertiban dalam kondisi chaos ini menunjukkan bahwa nilai-nilai tersebut telah meresap menjadi bagian dari karakter nasional dan kebiasaan yang muncul dalam kondisi ideal.


Budaya antre dan disiplin waktu ala Jepang pada hakikatnya adalah cerminan dari sebuah masyarakat yang telah berhasil mentransformasikan nilai-nilai luhur menjadi praktik hidup sehari-hari. Apa yang sering dilihat dunia sebagai kedisiplinan luar biasa, sebenarnya adalah buah dari ekosistem sosial yang dirancang dengan cermat, di mana infrastruktur, pendidikan, dan norma masyarakat saling memperkuat.

Kisah sukses Jepang ini memberikan pelajaran berharga bahwa ketertiban bukan soal hukuman atau paksaan, tapi juga hasil dari lingkungan yang memudahkan orang untuk berperilaku baik. Saat kita menyaksikan barisan rapi orang Jepang mengantre di stasiun atau kedai kopi, yang kita saksikan sebenarnya bukan hanya antrean biasa, tapi seperti monumen hidup dari sebuah peradaban yang menghargai harmoni, menghormati waktu, dan memuliakan hak sesama.

Menarik kan mengetahui budaya antre dan disiplin waktu ala orang Jepang? Kita sebagai orang Indonesia jadi belajar banyak hal nih tentang budaya satu ini. Tak ada yang mustahil kok ke depannya kita juga mampu menerapkan budaya budaya antre dan disiplin waktu di negara kita. Semoga artikel ini bermanfaat untuk Minasan yang ingin tahu banyak tentang budaya Jepang ya.

Jika Minasan ingin baca artikel budaya, Pandai Kotoba punya banyak artikelnya lho di website ini, salah satunya ini nih rekomendasinya: Omotenashi, Seni Melayani dengan Tulus di Jepang, klik untuk membacanya ya. Sampai jumpa di artikel selanjutnya!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *