Culture,  Kisah

Onryo, Roh Pendendam dan Urban Legend Jepang yang Mewarnainya

Hai Minasan~! Jepang dikenal dengan banyaknya kisah mistis yang beredar, salah satunya adalah roh. Roh yang penuh dendam dikenal sebagai Onryou (怨霊). Ia adalah entitas spiritual yang kembali dari alam baka untuk membalas ketidakadilan yang mereka alami semasa hidup.

Onryo adalah bagian tak terpisahkan dari cerita rakyat, teater, sastra, dan budaya populer Jepang. Konsep ini telah mengilhami banyak cerita horor klasik seperti “Yotsuya Kaidan” dan film-film modern seperti “The Ring” atau “Ringu” dan “The Grudge” atau “Ju-On”.

Pandai Kotoba kali ini akan membahasnya pada artikel ini mulai dari eksistensi Onryo dari zaman kuno hingga modern, asal-usul mitos Onryo dalam sejarah dan kepercayaan Jepang, karakteristik dan mitos Onryō dalam legenda rakyat, hingga urban legend Onryo yang terkenal apa saja. Penasaran dengan kisahnya? Yuk kita simak di bawah.

sutokutennnou youkai05
Kisah Kaisar Sutoku yang Menjadi Onryo (sebelah kiri atas) dalam Lukisan Ukiyo-e
rekijin.com

Onryo, Roh Pendendam dan Urban Legend Jepang yang Mewarnainya

A. Asal-Usul Onryo

Konsep Onryo sebagai roh pendendam telah mengakar dalam kepercayaan Jepang sejak zaman kuno, berkembang seiring dengan pengaruh animisme, Buddhisme, dan peristiwa sejarah yang penuh tragedi. Awalnya, kepercayaan animisme masyarakat Jepang kuno meyakini bahwa segala sesuatu di alam, termasuk manusia, hewan, dan bahkan benda mati memiliki roh atau kekuatan spiritual. Kematian yang tidak wajar, seperti akibat pembunuhan, pengkhianatan, atau bunuh diri dianggap dapat menciptakan roh yang tidak tenang. Roh-roh ini jika tidak diistirahatkan dengan benar, berpotensi menjadi Onryo yang kembali ke dunia fana untuk menuntut balas.

Ketika Buddhisme masuk ke Jepang sekitar abad ke-6, konsep karma dan samsara (kelahiran kembali) memperkuat keyakinan akan adanya roh pendendam. Menurut ajaran ini, seseorang yang meninggal dengan emosi negatif yang kuat seperti kemarahan, kesedihan, atau dendam dapat terperangkap di antara dunia hidup dan alam baka. Roh tersebut tidak mampu mencapai nirwana atau bereinkarnasi hingga dendamnya terbalaskan. Hal ini menjelaskan mengapa Onryo sering digambarkan sebagai entitas yang terus-menerus menghantui orang-orang yang bersalah atas penderitaan mereka.

img sugawaranomichizanekou1
Sugawara no Michizane (845–903)
dazaifutenmangu.or.jp

Dalam catatan sejarah Jepang, beberapa tokoh terkenal diyakini telah menjadi Onryo setelah kematian mereka. Salah satu contoh paling terkenal adalah Sugawara no Michizane (菅原道真) (845–903), seorang bangsawan dan sarjana yang difitnah dan diasingkan oleh saingan politiknya. Setelah kematiannya dalam pengasingan, serangkaian bencana termasuk wabah penyakit, kebakaran, dan kematian anggota keluarga kerajaan dianggap sebagai kutukannya. Untuk menenangkan rohnya, pemerintah saat itu memutuskan untuk memuliakan Michizane sebagai Tenjin, dewa pembelajaran, dan membangun kuil-kuil untuknya.

Contoh lain adalah Kaisar Sutoku (崇徳天皇) (1119–1164) yang setelah kalah dalam perebutan kekuasaan, diasingkan hingga akhir hayatnya. Legenda menyebutkan bahwa sebelum meninggal, ia menulis kitab suci dengan darahnya sendiri dan bersumpah akan mengutuk Jepang. Setelah kematiannya, negara dilanda perang saudara dan bencana alam yang diyakini sebagai akibat dari kutukannya. Kisah-kisah seperti ini menunjukkan bagaimana Onryo dipandang sebagai hantu pribadi dan juga sebagai kekuatan supernatural yang mampu mengganggu keseimbangan alam dan masyarakat.

sutokutennnou youkai00 1
Kaisar Sutoku yang Menjadi Onryou Dikisahkan dalam Lukisan Ukiyo-e
rekijin.com

Perkembangan teater tradisional Jepang, seperti Noh dan Kabuki, turut memperkuat mitos Onryo dalam budaya populer. Dalam pertunjukan Noh, roh pendendam sering menjadi karakter utama yang menceritakan kisah penderitaan mereka sebelum akhirnya mencapai penebusan. Sementara itu, dalam Kabuki, Onryo digambarkan dengan efek dramatis yaitu wajah pucat, mata melotot, dan kostum putih yang kemudian menjadi standar visual hantu dalam budaya horor Jepang modern.

Dari zaman kuno hingga sekarang, ketakutan akan Onryō tetap hidup, selain dalam cerita rakyat tapi juga dalam bentuk urban legend dan media kontemporer. Film-film seperti “Ringu” dan “Ju-On” membawa konsep Onryo ke khalayak global, membuktikan bahwa roh pendendam ini bukan hanya mitos masa lalu belaka, tapi bagian dari ketakutan kolektif manusia akan keadilan yang tak terpenuhi. Dengan demikian, Onryo terus menjadi simbol abadi dari dendam, penderitaan, dan konsekuensi mengerikan dari ketidakadilan.

B. Mitos dan Karakteristik Onryo: Manifestasi Dendam yang Abadi

Dalam khazanah cerita rakyat Jepang, Onryo bukan hanya hantu sembarangan, melainkan representasi paling murni dari dendam yang tak terlampiaskan. Roh-roh ini muncul dari kematian tragis yang penuh penderitaan seperti dibunuh, dikhianati, atau dipaksa bunuh diri dan ketidakadilan inilah yang membuat mereka menolak untuk beristirahat. Berbeda dengan Yurei atau hantu Jepang pada umumnya yang mungkin hanya muncul untuk menyelesaikan urusan yang tertinggal, Onryo secara khusus kembali dengan satu tujuan, yaitu balas dendam. Berikut di bawah ini akan dijelaskan lebih detail.

1. Penampilan Fisik yang Mencekam

Onryo biasanya digambarkan dengan ciri-ciri yang menegaskan identitas mereka sebagai roh yang menderita. Rambut panjang yang kusut dan hitam legam sering kali menutupi wajah mereka, terlihat pucat atau bahkan membusuk, tergantung pada seberapa lama mereka telah menjadi hantu.

eyecatch 143181203667ece4d9a26121.75633499
Ilustrasi Wujud Fisik Onryo
sengoku-his.com

Mereka mengenakan shiroshouzoku, pakaian pemakaman berwarna putih yang melambangkan kematian dan kadang-kadang terlihat dengan kaki mengambang atau tanpa kaki sama sekali. Ini menjadi tanda bahwa mereka tidak lagi termasuk dalam dunia manusia. Mata mereka sering kosong atau dipenuhi kebencian, dan dalam beberapa cerita, air mata darah mengalir dari wajah mereka sebagai simbol kesedihan dan kemarahan yang tak berkesudahan.

2, Kemampuan Supernatural yang Mematikan

Kekuatan Onryo jauh melampaui dari menakut-nakuti orang hidup. Mereka mampu mengutuk individu yang bersalah atas penderitaan mereka, keturunannya, dan bahkan orang-orang yang tidak bersalah yang kebetulan terlibat. Salah satu cara mereka membalas dendam adalah melalui tatapan mematikan. Tatapan tersebut seperti kontak mata dengan Onryo sering kali diyakini membawa penyakit, kegilaan, atau kematian mendadak. Dalam beberapa legenda, seperti kisah Oiwa dari Yotsuya Kaidan, korban yang dihantui Onryo perlahan-lahan kehilangan akal sehat mereka, melihat wajah hantu di mana-mana hingga akhirnya bunuh diri atau meninggal dalam keadaan mengerikan.

Selain itu, Onryo sering kali dikaitkan dengan fenomena alam yang mengerikan. Mereka dapat memanggil angin dingin, memadamkan api lilin, atau bahkan menyebabkan bencana seperti gempa bumi dan wabah penyakit, sebagaimana yang terjadi dalam legenda Sugawara no Michizane dan Kaisar Sutoku yang sudah dijelaskan di atas. Beberapa cerita juga menyebutkan bahwa Onryo mampu melekat pada objek atau lokasi tertentu, seperti sumur, cermin, atau rumah tempat mereka meninggal, dan siapa pun yang berinteraksi dengan objek-objek ini akan terkena kutukan mereka.

3. Pola Perilaku dan Kelemahan Onryo

Meskipun Onryo adalah entitas yang sangat berbahaya, mereka tidak selalu membunuh secara acak. Dendam mereka biasanya terfokus pada orang-orang yang secara langsung terlibat dalam kematian mereka. Meskipun dalam beberapa kasus, kemarahan mereka begitu luas sehingga siapa pun bisa menjadi korban. Salah satu ciri khas Onryo adalah ketidakmampuan mereka untuk memaafkan. Mereka tidak akan berhenti menghantui hingga dendam mereka terpuaskan atau hingga mereka diistirahatkan melalui ritual tertentu.

Untuk menenangkan Onryo, masyarakat Jepang kuno mengembangkan berbagai ritual dan upacara. Salah satunya adalah Goryou-shuu, sebuah upacara pemujaan yang ditujukan untuk menenangkan roh pendendam dengan memberikan persembahan dan pengakuan atas ketidakadilan yang mereka alami.

Dalam kasus tokoh-tokoh bersejarah seperti Sugawara no Michizane, pembangunan kuil dan pengangkatannya sebagai dewa atau Kami menjadi cara untuk meredakan kutukannya. Selain itu, eksorsisme oleh pendeta Buddha atau praktisi Shinto juga sering dilakukan untuk mengusir Onryo yang terlalu agresif.

4. Onryo dalam Konteks Budaya

Karakteristik Onryo mencerminkan nilai-nilai budaya Jepang, terutama konsep enkon (怨恨) atau “dendam yang terpendam” dan pentingnya keadilan sosial. Dalam masyarakat feodal Jepang, ketika ketidakadilan sering kali tidak terungkap seperti dalam kasus pembunuhan politik atau ketidaksetaraan gender, Onryo menjadi simbol protes dari mereka yang tidak memiliki suara. Kisah-kisah seperti Oiwa yang diracuni oleh suaminya, atau Okiku yang difitnah hingga bunuh diri, menggambarkan bagaimana Onryo sering kali mewakili korban dari struktur sosial yang opresif.

Maka dari itu, Onryo dapat menjadi cerminan ketakutan manusia akan akibat dari ketidakadilan yang tidak terpecahkan. Mereka mengingatkan bahwa dendam, jika dibiarkan dapat melampaui kematian dan bahwa kebenaran serta penebusan adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri penderitaan mereka. Hingga hari ini, legenda Onryo tetap relevan, baik dalam cerita rakyat maupun media modern, karena mereka menyentuh sesuatu yang universal yaitu rasa takut akan ketidakadilan dan keinginan untuk melihat keadilan ditegakkan bahkan setelah kematian.

C. Urban Legend Onryo yang Terkenal

Di Jepang, kisah-kisah Onryo menjadi catatan sejarah, teater klasik, dan telah merasuk ke dalam budaya populer melalui urban legend yang terus diceritakan dari generasi ke generasi. Legenda-legenda ini sering kali mengambil latar zaman modern, menjadikan Onryo selain hantu dari masa lalu, tapi entitas yang tetap relevan hingga hari ini. Berikut di bawah ini beberapa kisahnya yang terkenal sehingga telah menjadi bagian dari kesadaran kolektif masyarakat Jepang, menginspirasi film, drama, dan bahkan permainan horor:

1. Oiwa dari Yotsuya Kaidan: Tragedi Cinta yang Berubah Menjadi Kutukan Abadi

Salah satu Onryō paling legendaris dalam budaya Jepang adalah Oiwa (お岩). Kisahnya diabadikan dalam Yotsuya Kaidan (四谷怪談), yaitu sebuah cerita horor klasik dari zaman Edo. Oiwa digambarkan sebagai wanita yang setia kepada suaminya, Iemon, seorang ronin yang miskin. Namun, Iemon ternyata bersekongkol dengan keluarga kaya yang ingin menyingkirkannya agar bisa menikahi wanita lain. Oiwa diracuni secara perlahan hingga wajahnya menjadi rusak dan tubuhnya lemah. Ketika akhirnya menyadari pengkhianatan suaminya, ia mengutuk Iemon sebelum meninggal dalam penderitaan.

fitcoverw800h800
Penggambaran Oiwa dalam Lukisan Ukiyo-e
ukiyoe-takei.com

Setelah kematiannya, arwah Oiwa kembali untuk membalas dendam dengan cara yang paling kejam. Selain ia menghantui Iemon, ia juga menggerogoti akal sehatnya. Dalam berbagai versi cerita, Iemon mulai melihat wajah Oiwa yang mengerikan di mana-mana seperti di dalam air, di cermin, bahkan pada wajah wanita lain. Kutukan Oiwa begitu kuat hingga Iemon akhirnya membunuh istri barunya dalam kegilaan, sebelum dia sendiri menemui ajal yang mengerikan. Kisah ini menjadi fondasi teater Kabuki dan diadaptasi berkali-kali dalam film dan drama. Hal ini membuktikan betapa kuatnya pesona horor dari Onryo yang dikhianati dalam cinta.

2. Okiku dan Piring yang Hilang: Teror di Balik Hitungan Malam

Legenda Banchou Sarayashiki bercerita tentang Okiku, seorang pelayan yang bekerja di rumah seorang samurai kaya. Suatu hari, ia dituduh menghilangkan salah satu dari sepuluh piring berharga milik majikannya. Tuduhan tersebut sebenarnya direkayasa oleh majikan itu sendiri karena Okiku menolak ajakan mesumnya. Dalam keputusasaan, Okiku bunuh diri dengan melompat ke sumur. Namun, kematiannya tidak mengakhiri penderitaannya.

Setelah kematian Okiku, arwahnya kembali setiap malam, muncul dari sumur sambil menghitung piring satu per satu dengan suara menyeramkan seperti “Satu… dua… tiga…” hingga sembilan, lalu berteriak ketakutan karena piring kesepuluh tidak ada. Ritual mengerikan ini terus berulang, mengganggu ketenangan rumah itu hingga akhirnya seorang pendeta atau praktisi spiritual berhasil menenangkan rohnya.

Ghost of Okiku
Hantu Okiku
monster.fandom.com

Versi lain dari cerita ini menyebutkan bahwa Okiku baru berhenti menghantui setelah seseorang dengan sengaja melemparkan piring ke dalam sumur untuk melengkapi hitungannya menjadi sepuluh. Legenda Okiku akhirnya menjadi cerita horor dan juga metafora akan ketidakadilan yang dialami oleh mereka yang tidak memiliki suara, terutama wanita dari kelas sosial rendah di masa feodal Jepang.

3. Hanako-san: Hantu Toilet Sekolah yang Mengerikan

Berbeda dengan Onryo klasik yang berasal dari zaman Edo atau sebelumnya, Hanako-san adalah urban legend modern yang populer di kalangan anak sekolah Jepang. Konon, Hanako-san adalah roh seorang gadis kecil yang meninggal secara tragis, entah karena bunuh diri, kecelakaan, atau dibunuh dan sekarang menghuni toilet di sekolah-sekolah tertentu, biasanya di bilik ketiga lantai tiga.

Ritual memanggil Hanako-san telah menjadi semacam “ujian nyali” di kalangan siswa. Konon, jika seseorang mengetuk pintu toilet tiga kali dan memanggil, “Hanako-san, apakah kamu ada di sana?” maka suara dari dalam akan menjawab, “Aku di sini…” sebelum pintu terbuka dengan sendirinya. Kemudian, memperlihatkan sosok Hanako-san yang mengenakan pakaian merah dan mata kosong. Beberapa versi mengatakan bahwa siapa pun yang melihatnya akan menghilang atau ditemukan tewas di toilet keesokan harinya.

hanako san
Ilustrasi Hantu Hanako-san
matthewmeyer.net

Meskipun Hanako-san tidak selalu digambarkan sebagai Onryo dalam arti tradisional karena motif dendamnya tidak selalu jelas, ia tetap mewarisi beberapa karakteristik Onryo seperti penampilan menyeramkan dan kemampuan untuk membawa kematian. Legenda ini juga mencerminkan ketakutan universal anak-anak terhadap tempat-tempat gelap dan terpencil, sekaligus menjadi peringatan akan bahaya memanggil sesuatu yang sebaiknya dibiarkan tidur.

4. Kuchisake-onna: Wanita Bermulut Terkoyak yang Meneror Jalanan

Salah satu urban legend Onryo yang paling terkenal di era modern adalah Kuchisake-onna atau “Wanita Mulut Terkoyak”. Konon, ia adalah seorang wanita cantik yang hidup di zaman Edo atau periode Showa. Ciri-ciri fisiknya yaitu mulutnya disayat hingga ke telinga oleh suami yang cemburu atau seorang samurai yang kejam. Kini, arwahnya muncul di malam hari, mengenakan masker bedah dan membawa gunting untuk menguji orang-orang dengan pertanyaan mengerikan, yaitu “Apakah aku cantik?”.

kuchisake onna
Ilustrasi Hantu Kuchisake Onna
ac-illust.com

Jika korban menjawab “tidak”, ia akan langsung dibunuh dengan gunting. Jika menjawab “ya”, ia akan melepas maskernya, memperlihatkan mulut yang terkoyak, dan bertanya lagi: “Bagaimana sekarang?” Jawaban apa pun setelah itu biasanya berakhir dengan kematian atau luka parah, kecuali jika korban bisa mengalihkan perhatiannya atau memberikan jawaban ambigu seperti “kamu lumayan cantik”.

Kuchisake-onna adalah salah satu contoh bagaimana Onryo berevolusi dalam budaya modern. Meskipun motif dendamnya tidak selalu dijelaskan secara rinci, ia tetap mewakili ketakutan akan kekerasan terhadap wanita dan trauma yang tidak terselesaikan. Legenda ini begitu populer hingga menyebabkan kepanikan massal di Jepang pada akhir 1970-an. Banyak anak kecil yang ketakutan pulang sekolah sebelum gelap.

D. Eksistensi Onryo dari Zaman Kuno hingga Modern

Keberadaan Onryo dalam kesadaran kolektif masyarakat Jepang telah mengalami transformasi yang menarik seiring perjalanan waktu, dari entitas spiritual yang ditakuti dalam istana kekaisaran hingga menjadi ikon budaya populer yang mendunia. Perjalanan panjang ini mencerminkan perubahan keyakinan religius masyarakat dan pergolakan sosial, sehingga perkembangan teknologi yang membentuk cara manusia modern berinteraksi dengan dunia supernatural.

Pada zaman Heian (794-1185), Onryo muncul sebagai fenomena politik yang nyata dan ditakuti oleh kalangan bangsawan. Catatan sejarah seperti Nihon Ryouiki (日本霊異記) dan Konjaku Monogatari (今昔物語) menceritakan bagaimana roh pendendam dari tokoh-tokoh yang mati secara tidak wajar diyakini mampu menyebabkan wabah penyakit, bencana alam, bahkan keruntuhan dinasti.

Buku Catatan Sejarah Nihon Ryouiki
booklog.jp

Pemerintah saat itu menganggap serius ancaman ini, sehingga membentuk sistem upacara Goryou-e (御霊会) khusus untuk menenangkan roh-roh bangsawan yang mati penuh dendam. Kuil Kitano Tenmangu yang megah di Kyoto berdiri sebagai bukti nyata betapa kekuatan spiritual Onryo dianggap setara dengan kekuatan politik pada masa itu.

Transisi ke zaman Edo (1603-1868) membawa perubahan signifikan dalam representasi Onryo. Dengan stabilnya situasi politik dan berkembangnya budaya urban, ketakutan akan Onryo beralih dari ranah politik ke ranah personal. Teater Kabuki dan seni ukiyo-e menjadikan Onryo sebagai subjek hiburan yang populer dengan karakter seperti Oiwa dalam Yotsuya Kaidan menjadi ikon budaya.

Pada periode inilah visual khas Onryo seperti wajah pucat, mata melotot, dan rambut panjang acak-acakan distandardisasi dan menjadi bahasa visual yang langsung dikenali masyarakat. Yang menariknya lagi, meskipun berfungsi sebagai hiburan, pertunjukan-pertunjukan ini tetap mempertahankan ritual pembersihan setelah pementasan karena keyakinan bahwa memainkan kisah Onryo bisa memanggil roh aslinya.

Era Meiji (1868-1912) sampai Perang Dunia II menyaksikan pergeseran paradigma dalam persepsi Onryo. Modernisasi dan pengaruh Barat membuat masyarakat mulai memandang Onryo lebih sebagai produk folklor daripada ancaman nyata. Namun, ketakutan akan roh pendendam tetap hidup dalam bentuk baru, terutama melalui media cetak seperti surat kabar yang sering melaporkan “fenomena aneh” yang dikaitkan dengan Onryo. Pada masa perang, cerita-cerita tentang ini sering kali digunakan sebagai metafora untuk korban perang yang tak terhitung dengan banyak keluarga yang percaya bahwa arwah saudara mereka yang mati sia-sia akan kembali sebagai Onryo.

The Ghost of Yotsuya 1959
Film The Ghost of Yotsuya (1959)
imdb.com

Dunia pascaperang melihat kebangkitan kembali Onryo dalam bentuk yang lebih komersial tapi tak kalah mengerikan. Film horor Jepang tahun 1950-an hingga 1970-an seperti “The Ghost of Yotsuya” karya Nobuo Nakagawa membawa Onryo ke layar lebar dengan gaya sinematik baru.

Namun, titik balik utama terjadi pada 1990-an ketika Onryo menemukan bentuknya yang paling sesuai dengan semangat zaman modern melalui film “Ringu” (1998). Sadako Yamamura sebagai Onryo digital pertama menjadi simbol luar biasa untuk ketakutan masyarakat terhadap teknologi yang tak terkendali. Kutukan melalui kaset video ini secara jenius mengadaptasi konsep kuno Onryo ke dalam medium modern membuktikan fleksibilitas mitos ini.

Ju On 2002
Film Ju-On (2002)
imdb.com

Di abad ke-21, Onryo telah menjadi komoditas budaya global sekaligus tetap mempertahankan akar tradisionalnya. Serial film “Ju-On” dan “Ju-On: The Grudge” sukses mendunia, sementara dalam negeri, Onryo terus muncul dalam berbagai bentuk media dari anime seperti “Jujutsu Kaisen” hingga game horor seperti “Fatal Frame”.

Menariknya lagi, kepercayaan akan Onryo sebagai entitas nyata masih hidup di beberapa komunitas, terutama di daerah pedesaan. Kuil-kuil tertentu masih menerima permintaan untuk ritual penenangannya dan beberapa kasus bunuh diri atau kematian misterius masih sering dikaitkan dengan aktivitas Onryo oleh masyarakat setempat.

fatal frame game
Game Fatal Frame
gamerant.com

Perkembangan terbaru yang menarik adalah munculnya “Onryo digital” dalam budaya internet Jepang. Creepypasta dan legenda urban modern sering menampilkan hantu-hantu yang menggunakan teknologi untuk menyebarkan kutukan, seperti hantu yang muncul melalui panggilan video atau pesan e-mail. Fenomena ini menunjukkan bagaimana konsep Onryo terus berevolusi mengikuti perkembangan zaman, sambil tetap mempertahankan esensinya sebagai manifestasi dendam yang tak terbalaskan.


Dari istana kekaisaran zaman Heian hingga layar laptop di era digital, Onryo tetaplah hidup sebagai cermin kegelisahan manusia. Mereka adalah suara dari seseorang yang telah dilupakan, amarah dari mereka yang dikhianati, dan peringatan bahwa dendam bisa bertahan lebih lama daripada hidup itu sendiri.

Kemampuan Onryo untuk beradaptasi dengan setiap zaman sambil mempertahankan inti naratif tentang keadilan dan balas dendam membuatnya tetap relevan. Dalam dunia modern yang penuh dengan ketidakpastian dan ketidakadilan yang lebih kompleks, ia bisa saja terus menemukan bentuk-bentuk baru untuk mengekspresikan dendam abadi manusia terhadap penderitaan yang tak terpecahkan.

Nah, sekian yang bisa Pandai Kotoba berikan untuk artikel kali ini mengenai Onryo sang roh pendendam beserta asal-usul dan urban legend-nya. Banyak pesan mendalam dan mencekam di baliknya. Percaya atau tidaknya dengan hal ini, kembali ke kepercayaannya masing-masing ya.

Jika Minasan ingin baca artikel budaya Jepang lainnya, di website ini tersedia banyak lho. Salah satunya ada ini nih: Gosho Ningyou, Boneka Tradisional Jepang yang Elegan. Klik untuk membacanya ya, Sampai jumpa di artikel selanjutnya!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *