Miko, Perempuan Pemanggil Roh dan Pemelihara Tradisi
Dalam budaya Jepang, “miko” adalah seorang wanita yang bekerja di kuil Shinto. Miko sering mengenakan seragam tradisional yang khas, yang terdiri dari kimono merah atau oranye dengan aksen putih. Pakaian ini memiliki simbolisme religius dan sering kali dikaitkan dengan keanggunan dan kebersihan.
Miko terlibat dalam berbagai ritual keagamaan di kuil Shinto. Mereka membantu dalam menyelenggarakan upacara, memberikan persembahan kepada roh-roh atau dewa-dewa, dan memainkan peran penting dalam menjaga aspek spiritual kuil.
Miko juga bertanggung jawab untuk membersihkan dan merawat kuil, seperti merawat taman, membersihkan altar, dan menjaga kebersihan ruang ibadah. Selain tugas keagamaan, miko juga berinteraksi dengan komunitas setempat. Mereka menjadi perantara antara pengunjung kuil Shinto dan memberikan informasi tentang ritual, atau membantu dalam kegiatan-kegiatan komunitas.
Terkadang miko juga terlibat dalam praktik ramalan atau konsultasi. Pengunjung kuil dapat menemui miko untuk meminta nasihat atau ramalan mengenai kehidupan mereka.
Nah, dalam artikel ini, Pandai Kotoba akan mengulas tentang seluk beluk Miko, para gadis penjaga kuil!
Asal Usul Miko
Seperti yang sudah disinggung di atas, Miko adalah seorang perempuan yang bertugas untuk membantu pendeta Shinto ketika melakukan ritual dan membantu urusan kuil lainnya. Usia Miko bervariasi tergantung kuil yang mereka tempati. Dahulu ada aturan ketat bahwa Miko haruslah seorang gadis perawan, namun kini aturan tersebut sudah tidak berlaku lagi. Perempuan yang masih muda atau yang sudah menikah sekalipun bisa menjadi seorang Miko.
Sejak zaman kuno di Jepang, gadis-gadis kerap kali dianggap sebagai cenayang yang memiliki kekuatan supranatural. Mereka dianggap sebagai seorang perantara antara manusia dengan Kami (dewa) yang memiliki kemampuan untuk meramal. Miko sering kali menarikan tarian sakral yang disebut tarian Kagura. Intinya, pada awalnya, miko merupakan perempuan yang dianggap memiliki kekuatan spiritual atau kemampuan untuk berkomunikasi dengan roh atau dewa-dewa.
Namun, tidak semua orang mengakui miko sebagai bagian yang penting dari budaya dan sejarah Jepang. Pada periode Nara dan Heian, pemerintah Jepang berusaha untuk mengendalikan tidak hanya miko, tetapi juga para praktisi spiritual lainnya.
Pada tahun 1873, sebuah peraturan yang disebut Miko Kindanrei (巫女禁断令) yang melarang miko diberlakukan, menyebabkan beberapa miko kehilangan mata pencaharian mereka. Beberapa miko lainnya akhirnya menggabungkan diri dengan agama Shinto, dan secara diam-diam melanjutkan praktik mereka seperti sebelumnya. Pemerintah mencabut larangan tersebut sekitar tahun 1940. Penyebaran Urayasu no Mai secara luas, sebuah tarian religius yang dibawakan oleh para wanita yang didedikasikan untuk memperingati 2600 tahun kekuasaan kekaisaran, mendorong kebangkitan miko. Sejak saat itu, peran miko berubah menjadi pendamping pendeta Shinto.
Kini, prinsip utama seorang gadis kuil adalah untuk menghormati Kami dan memperlakukan leluhur dengan hormat. Para miko harus melayani dengan tulus sambil menjalani kehidupan yang dipenuhi rasa syukur.
Dalam Shinto, terlepas dari aliran mana pun, penting untuk selalu mengingat bahwa manusia hidup berkat kekuatan alam dan Kami yang berdiam di langit, bumi, dan alam semesta. Rasa syukur tersebut adalah prinsip utama yang harus dimiliki oleh seorang miko di dalam dirinya ketika ia menjalani pekerjaan sakralnya.
Miko Dewasa Ini
Dewasa ini, menjadi seorang miko pada umumnya dianggap sebagai pekerjaan paruh waktu. Pekerjaan ini sebagian besar terdiri dari para sukarelawan yang bertugas menerima donasi berupa uang dan turut membantu kuil menjual “Omamori” atau membersihkan kuil. Seringkali, para miko ini hanya sekedar membantu para tetua kuil dan tidak belajar lebih dari itu, karena ini dianggap sebagai pekerjaan sampingan.
Jika seorang miko ingin mempelajari hal-hal seperti Kagura, maka diperlukan pelatihan khusus yang biayanya ditanggung sendiri. Biaya ini termasuk biaya untuk berbagai hal seperti lonceng Kagura Suzu, seragam miko, nampan persembahan Sanbou, dan masih banyak lagi. Barang-barang ini bisa sangat mahal. Barang-barang ini dibuat oleh pengrajin tradisional, dan tidak diproduksi secara massal.
Kebanyakan miko paruh waktu juga tidak mempelajari praktik ritual tertentu, seperti cara membaca doa Norito atau membuat persembahan. Rata-rata mereka harus kuliah di Universitas Kokugakuin untuk mempelajari hal-hal seperti ini. Atau, mereka bisa magang di pendeta Shinto atau sebuah kuil sebelum mengikuti ujian untuk mendapatkan lisensi.
Hal ini merupakan pengetahuan yang sangat khusus. Dan hanya sedikit miko paruh waktu yang melakukan hal ini dengan tujuan untuk melayani Kami untuk waktu yang lama. Pengetahuan seperti itu bukanlah sesuatu yang dapat dilakukan hanya demi uang saku.
Sekolah Miko
Sekolah Miko yang disebut Mikosan Tsumugi, telah berkembang dengan jumlah siswa yang terus bertambah. Akhir-akhir ini, sekolah ini mulai berkembang di luar wilayah Kansai ke seluruh Jepang, dan bahkan ke luar negeri.
Ada tiga level pembelajaran di sekolah Miko, yaitu tingkat pemula, menengah, dan mahir.
Pada level pemula, miko mempelajari sejarah dan pengetahuan dasar miko dalam bentuk kuliah di kelas. Pelajaran ini mencakup kosakata yang terkait dengan tata krama dan gerak tubuh formal. Selain itu, juga diajarkan cara berjalan dan bagaimana cara membuat sebuah persembahan.
Pada tingkat ini, siswa belajar bagaimana ritual itu diterapkan dalam upacara Shinto. Selain itu, mereka juga belajar bagaimana menerapkan ritual-ritual ini dalam kehidupan sehari-hari. Terakhir, mereka berkesempatan untuk berlatih melantunkan doa Norito di depan Kami. Semua hal ini biasanya tidak akan dipelajari oleh seorang pekerja miko paruh waktu sampai sedalam ini.
Pada level menengah, diajarkan bagaimana melakukan upacara penyucian. Hal ini memberikan lebih banyak detail tentang persembahan dan pengetahuan Shinto, termasuk mempelajari cara menyucikan diri dengan lonceng Kagura Suzu. Tentu saja, pemahaman yang diperoleh selama tingkat pemula akan ditinjau ulang dan ditingkatkan.
Ada lebih banyak praktik langsung mengenai tata cara dan praktik memberikan persembahan. Mereka juga mempelajari detail yang lebih rumit tentang cara melakukan setiap pekerjaan. Untuk dua tingkat pertama, sekolah menyediakan barang-barang, termasuk seragam, lonceng, dan baki persembahan. Namun, setelah menyelesaikan tingkat menengah, sekolah menganjurkan para siswa untuk membeli barang-barang seperti seragam miko mereka sendiri.
Saat ini, terdapat lebih dari seratus siswa yang telah bergabung dengan Sekolah miko dan mulai menjalani pelatihan. Sekolah ini memiliki lima lokasi di Jepang dengan jumlah siswa di kawasan Tokyo yang terus bertambah dengan cepat.
Sekolah ini terbuka untuk semua wanita tanpa memandang kewarganegaraan. Tidak ada batasan usia untuk masuk ke sekolah ini. Beberapa siswa miko masih sangat belia, masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, bahkan ada yang sudah berusia tujuh puluhan.
Satu-satunya hal yang penting adalah mau belajar dengan kesungguhan hati. Sangat penting untuk memiliki ketulusan demi melayani Kami dan membantu para pendeta dan Kuil.
Setelah pelatihan selesai, ada banyak hal untuk terus meningkatkan kemampuan diri mereka. Sekolah menyediakan banyak bantuan dalam mencari pekerjaan menjadi miko. Terdapat banyak kuil yang lebih kecil, tidak hanya di kota-kota tetapi juga di daerah pedesaan, yang berjuang untuk tetap bertahan.
Beberapa kuil memiliki satu pendeta yang mengelola beberapa kuil sendirian, suatu pekerjaan yang melelahkan karena hanya dilakukan oleh satu orang. Karena itulah, Miko dirasa memiliki peranan penting untuk membantu kuil-kuil kecil yang kekurangan tenaga ahli dalam mengurus kuil dan mendampingi para pendeta.
Itulah Minasan, sekilas seluk beluk tentang Miko, perempuan kuil yang ternyata memiliki peran penting dalam melestarikan tradisi dan budaya Jepang, khususnya Shinto. Perjalanan sejarah miko di Jepang tidak hanya merefleksikan perubahan dalam praktik keagamaan, tetapi juga mencerminkan keberlanjutan nilai-nilai spiritual dan kekayaan budaya. Dari zaman kuno hingga era modern, miko tetap menjadi penjaga tradisi Shinto yang memainkan peran utama dalam menjembatani dunia manusia dengan roh-roh dan dewa-dewa yang mereka yakini.
Bagi Minasan yang ingin mengetahui hal seputar budaya dan bahasa Jepang lainnya, simak konten-konten menarik dan edukatif lainnya di Instagram Pandai Kotoba dan channel Youtube Pandai Kotoba. Mata!