Jisei: Puisi Kematian Orang Jepang
Jisei atau puisi kematian memiliki sejarah panjang sebagai bagian dari budaya Jepang. Jisei semacam puisi perpisahan bagi kehidupan. Puisi ini ditulis oleh orang-orang terpelajar (bisa baca-tulis), samurai, biksu, atau para penguasa saat itu, tentu sebelum ajal menjemputnya.
Catatan sejarah menuliskan bahwa Jisei pertama kali ditulis oleh Pangeran Otsu. Ia adalah seorang penyair yang juga putra dari Kaisar Temmu. Otsu memutuskan untuk membunuh dirinya sendiri setelah dituduh sebagai dalang pemberontakan.
Bentuk Jisei
Jisei ditulis dalam bentuk Kanshi, Waka atau Haiku. Tidak semua Jisei berbentuk Haiku, namun semua Jisei adalah termasuk puisi pendek (Tanka).
Kanshi adalah istilah Jepang yang merujuk pada Puisi Cina pada umumnya, atau puisi Jepang yang ditulis dalam bahasa Cina oleh penyair Jepang. Waka adalah kebalikan dari Kanshi, yaitu puisi yang ditulis dalam bahasa Jepang.
Dan terakhir, Haiku. Haiku adalah bentuk puisi yang terdiri 17 suku kata dan 3 matra (baris). Masing-masing baris tersusun dari 5,7 dan 5 suku kata secara berurutan.
Secara isi, kebanyakan Jisei mirip Haiku. Jisei berusaha melampaui pikiran, kemudian akan memunculkan momen : “Ohhh, itu maksudnya.” Jisei menghubungkan pembaca dengan pemikiran penyair tepat di akhir puisi.
Beberapa Jisei bermakna “gelap” sedangkan sebagian lainnya penuh harapan. Isi dari setiap Jisei mencerminkan hari-hari terakhir yang dirasakan oleh sang penulisnya.
Kumpulan Jisei
Penerimaan adalah elemen kunci dalam Jisei. Jisei muncul dari penerimaan kehidupan yang apa adanya, termasuk kematian yang tak terhindarkan.
Berikut ini adalah contoh dari beberapa Jisei yang terkumpul, yang ditulis oleh para penyair Jepang sampai seorang guru Buddha menjelang kematiannya.
Sudah tentu terjemahannya sulit menyamai Jisei dalam bentuk aslinya.
Tak ada kematian; tak ada kehidupan. Yang ada hanyalah cerahnya langit
Dan jernihnya sungai.
–Toshimoto, Taiheiki
Aku ingin mati
Pada musim semi,
Di antara mekarnya Sakura,
Ketika bulan musim semi tengah purnama.
–Saigyo (1190) seorang penyair Jepang yang terkenal dari akhir Heian dan periode Kamakura awal
Hela, hembus
Maju, Mundur
Hidup, mati:
Panah-panah itu, biarkan saling beterbangan
Berpapasan di tengah jalan
Kekosongan tanpa tujuan
Aku kembali ke asal.
–Gesshu Soko (1696) seorang guru Buddha Zen Jepang dan anggota sekolah Zen Sōtō di Jepang.
Embun beku di hari musim panas
Yang kutinggalkan hanyalah air
Yang telah membasuh kuasku.
-Shutei
Selamat tinggal
Saya mati sama halnya dengan segalanya
Embun di rerumputan.
-Banzan penganut neo-konfusianisme yang hidup pada awal periode Edo.
Sekian, sedikit ulasan mengenai Jisei puisi kematian orang Jepang yang telah menjadi bagian dari budaya Jepang sejak dahulu. Bagaimana? Sudah terpikir mau menuliskan apa menjelang akhir hayatmu?
Referensi:
- Japan Powered. Jisei: the Japanese Death Poem. 2013.