Pandangan Tradisional Orang Jepang Tentang Uang
Semua orang membutuhkan uang. Untuk hidup diperlukan uang. Tetapi di dalam pandangan tradisional masyarakat Jepang secara turun temurun ada pemikiran bahwa yang dinamakan uang adalah barang yang hina dan kotor.
Pandangan Tradisional Uang itu Kotor
Kotor karena yang dinamakan uang disentuh oleh banyak orang. Namun tidak terbatas hal itu saja, konsep abstrak “uang” adalah kotor. Memikirkan dan mempedulikannya saja dianggap rendah.
Masyarakat tradisional Jepang menghargai “Wa”. Karena itu, orang Jepang menghormati pihak lawan, penuh perhatian, sopan, rendah diri, saling memberi dan menerima, serta suka minta maaf. Di dalam masyarakat Jepang hubungan baik dengan orang lain jauh lebih penting daripada uang.
Selain itu, di dalam masyarakat Jepang yang mementingkan hubungan dengan orang lain, kita tidak akan dihargai meskipun kita mempunyai harta, mempunyai uang lebih banyak daripada orang lain dan kita pamerkan atau tunjukkan pada mereka.
Sebaliknya, rasa iri dan cemburu karena kaya tidak akan memberikan pengaruh negatif pada hubungan antarmanusia. Dari hal tersebut, maka di Jepang tidak akan ditemukan nilai yang begitu tinggi terhadap uang.
Di Jepang, misalnya pada waktu kita ingin memberikan rasa terima kasih kepada seseorang karena telah membantu kita, sering dikatakan “berikan sesuatu benda karena memberikan uang adalah tidak sopan”. Ada juga yang memberikan uang, namun karena ada pemikiran “uang adalah benda kotor”, maka uang akan “dibungkus”. Dengan kata lain, agar tangan tidak menyentuh uang dan pada waktu diserahkan tidak terlihat. Dalam bahasa Jepang istilah tsutsumu (bungkus) juga mempunyai arti “memberikan uang”.
Orang Kaya Tidak Akan Selalu Dihormati
Pada masa Edo, ketika samurai menguasai Jepang, ada empat kelas masyarakat yang dinamakan “Shinoukoushou”. “Shi” adalah bushi atau samurai, “Nou” adalah noumin atau petani, “Kou” adalah shokunin atau tukang/pengrajin dan “Shou” adalah shounin atau pedagang.
Bushi atau samurai adalah kelas penguasa. Samurai, meskipun tidak mempunyai begitu banyak uang, namun dihormati oleh masyarakat. Petani bekerja membuat makanan. Tukang membuat berbagai barang yang berguna.
Tetapi, pedagang tidak melakukan kegiatan yang bersifat “membuat” layaknya petani atau tukang. Para pedagang paling banyak mempunyai uang, tetapi kelasnya paling rendah dan dipandang sebagai pekerjaan hina. Dalam masyarakat Jepang tindakan “mendapatkan uang” itu sendiri tidak begitu mendapat penghargaan dan dikatakan bahwa perdagangan tidak begitu berkembang.
Mengapa samurai begitu dihormati? Tentu saja dihormati bukan karena para samurai mahir menggunakan pedangnya atau samurai terlihat gagah dengan pedang yang disandangnya. Para samurai memiliki standar etika yang tinggi dibandingkan siapa pun, karena itu mereka dihormati oleh masyarakat.
Itulah sebenarnya semangat bushido. Yaitu perihal melayani tuannya, mementingkan kehormatan, memperhatikan tata krama, tidak pengecut, jujur, dan tulus. Semangat bushido ini juga mengandung kesederhanaan. Kehidupan yang mencolok dan mewah dalam banyak arti bertentangan dengan semangat bushido.
Kesederhanaan Dalam Bushido
Dalam bushido ada penjelasan seperti ini:
“It is true that thrift was enjoined by Bushido, but not for economical reasons so much as for the exercise of abstinence. Luxury was thought the greatest menace to manhood, and severest simplicity was required of the warrior class.”
(“Benar bahwa Bushido gemar berhemat, tetapi lebih demi tujuan menahan diri daripada untuk alasan-alasan ekonomi. Kemewahan dianggap sebagai ancaman terbesar bagi kemanusiaan, dan keserhanaan diharapkan bagi kelas pejuang.”)
Di Jepang pada saat itu upaya untuk menghasilkan uang untuk kemewahan merupakan suatu hal yang sangat tidak disukai.
Selain itu, ada penjelasan mengenai uang di dalam bushido seperti di bawah ini:
“Children were brought up with utter disregard of economy. It was considered bad taste to speak of it, and ignorance of the value of different coins was a token of good breeding… the counting of money was left to meaner hands. In many feudatories, public finance was administrated by a lower kind of samurai or by priests.”
(“Anak-anak dibesarkan dengan pengabaian yang serius terhadap ekonomi. Karena membicarakan masalah ekonomi dianggap rendah, dan ketidaktahuan tentang nilai-nilai uang koin menjadi penandake turunan yang baik… urusan menghitung uang diserahkan kepada kaum bawah. Di banyak daerah jajahan, keuangan umum ditangani oleh kelas samurai yang lebih rendah atau oleh kaum pendeta.”)
Saat ini anak-anak Jepang sering dikatakan menguasai berhitung dan matematika. Tetapi pada zaman samurai, anak-anak dilarang belajar tentang angka dan uang, dan bahkan saat itu mengucapkan tentang uang saja dianggap tidak baik. Cara berpikir seperti ini saya kira saat ini pun masih tersisa dalam sebagian masyarakat tradisional Jepang.
Di zaman samurai, orang-orang yang tidak paham uang ini menjadi tidak berfungsi secara finansial dan ekonomi. Mereka menjauhkan diri dari melakukan sesuatu karena mendapat uang atau karena mendapat keuntungan finansial. Standar pertimbangannya adalah bukan karena perhitungan untung rugi, namun apakah itu secara moral benar.
Dalam budaya tradisional Jepang, tidak ada nilai terkait dengan kepemilikan uang. Karena itu, di Jepang orang kaya memang mempunyai uang, namun tidak berarti kemudian akan selalui dihormati.
Pandangan Tradisional Banyak Hal Penting Lain Selain Uang
Di negara mana pun ada cerita (legenda, cerita rakyat) yang disampaikan turun-temurun dari zaman dahulu. Jepang juga memiliki banyak cerita rakyat dan itu disampaikan kepada anak-anak. Di dalam cerita rakyat Jepang, banyak ditemukan cerita di mana orang yang benar-benar serakah, yaitu orang yang sudah kaya raya tapi tetap berusaa mendapatkan uang dan harta, pada akhirnya akan mendapat musibah dan tidak berbahagia, namun sebaliknya orang yang jujur dan tidak serakah akan mendapatkan kebahagiaan.
Sedangkan, cerita rakyat dari negara Barat benar-benar berbeda dengan Jepang. Contohnya, kisah “Cinderella”. Berkisah tentang seorang gadis yang dimusuhi lalu dengan menggunakan kekuatan sihir misterius bisa mendapatkan gaun yang indah sehingga disukai oleh pangeran dan menjadi seorang permaisuri.
Lebih dari 100 tahun yang lalu kisah Cinderella diperkenalkan di buku pelajaran sekolah dasar di Jepang. Pada saat itu, kisah itu diaplikasikan dengan menyesuaikan gaya Jepang, contohnya sepatu kaca diganti dengan kipas dan lain sebagainya.
Pada akhir cerita, gadis yang menjadi tokoh utama cerita ini menikah dengan sang pangeran. Tetapi hal itu dikarenakan si gadis mempunyai sifat yang baik, dan sebagai balasannya kebahagiaan pun menghampirinya. Jadi pada waktu kisah Cinderella ditulis di buku pelajaran Jepang, ditekankan penilaian cara pandang gaya Jepang seperti itu.
Saya jadi berpikir, pada waktu orang Jepang mendapatkan uang yang diperlukan untuk hidup, seberapa arti dari memiliki uang lebih dari yang dibutuhkan.
Daripada memikirkan bagaimana mendapatkan uang lebih, masih banyak hal yang lebih penting dari sekadar uang, dan saya pikir mereka lebih ingin mendapatkan hal tersebut. Sebagai contohnya, mungkin dengan memberikan kontribusi pada masyarakat.
Kalau disimpulkan, pemikiran untuk mendapat pekerjaan yang bergaji besar tidak sebanding dengan keinginan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk dunia. Orang-orang yang bersusah payah bekerja untuk mendapatkan uang melebihi yang dibutuhkan untuk hidup malah akan dihina sebagai orang yang rendah.
Integritas Lebih Penting Dari Uang
Heinrich Schliemann, pada tahun 1871 berhasil melakukan penggalian reruntuhan Troya dari mitologi Yunani dan menjadi terkenal di seluruh dunia. Enam tahun sebelum itu, yaitu pada tahun 1865, ia pernah mengunjungi Jepang.
Saat itu merupakan akhir dari periode Edo dan 3 tahun sebelum restorasi Meiji. Dia menuliskan kisah perjalanannya selama tinggal di Jepang.
Menurut kisah Schliemann, ketika dia tiba di Jepang, pada saat hendak memberikan tip pada petugas pabean dia ditolak dengan keras oleh petugas bersangkutan. Schliemann memuji integritas petugas tersebut.
Lalu, Schliemann juga terkejut dengan cara kerja para samurai yang menjaganya. Tertulis dalam bukunya, “penghinaan yang terbesar buat mereka dibanding perasaan terima kasih adalah memberi mereka uang. Mereka lebih memilih melakukan harakiri daripada menerima uang tersebut.”
Citra Negatif Uang
Ketika memasuki periode Meiji, kelas istimewa samurai dihilangkan dan para samurai harus mencari pekerjaan baru. Ada juga mantan samurai ini yang memulai usaha. Tetapi sebagian besar dari mereka gagal.
Itu karena mereka tidak terbiasa berbisnis. Mereka tidak mempunyai gagasan seperti bagaimana agar bisa sedikit lebih banyak mendapatkan keuntungan ketika bertransaksi dengan pihak lain. Benar-benar terlalu lugu. Bahkan bersaing dengan para pedagang yang curang pun tidak mampu.
Karena ada tradisi yang kuat berkaitan dengan uang itulah, di Jepang korupsi yang diawali dari adanya kegiatan suap menyuap sangat sedikit. Secara tradisional, selain tidak diletakannya nilai-nilai pada uang dan kekayaan, mendapatkan uang dengan cara yang tidak benar sangatlah tidak terhormat dan suatu hal yang memalukan.
Kesadaran seperti itu benar-benar kuat. Selain itu, kejahatan seperti pencurian sangatlah sedikit. Sebagian besar orang Jepang pada waktu menerima kembalian juga ada kebiasaan langsung dimasukkan ke dalam dompet tanpa memeriksa atau menghitung kembali uang kembalian tersebut. Sering disebutkan salah satu alasannya adalah adanya citra negatif terkait dengan uang.
Memilih Hidup Secukupnya
Dahulu, terutama jika kamu membaca buku yang berkisah tentang kehebatan orang Jepang sebelum masa perang, ada banyak cerita tentang orang-orang seperti ini. Betapapun miskinnya, keadaan itu tidak berarti akan membuat mereka khawatir, dan itu bahkan tidak mereka pedulikan.
Ada sebuah kisah seseorang yang pernah menjadi perdana menteri. Orang itu bernama Yonai Mitsumasa, merupakan anggota militer dari angkatan laut yang menjadi Perdana Menteri Jepang tepat sebelum Perang Dunia II dimulai dan terkenal karena berusaha menghindari dari perang.
Selama masa perang, Jepang sangat kekurangan bahan pokok, termasuk makanan, dan masyarakat Jepang dipaksa untuk hidup dalam keprihatinan. Setelah Yonai pensiun dari jabatan Perdana Menteri, dia menjalani kehidupan yang hemat dan bisa dikatakan miskin.
Saat itu, katanya makanan pun tidak cukup sampai ia menjadi benar-benar kurus. Untuk pergi ke rumah sakit pun, seperti layaknya masyarakat umum, ia menggunakan kereta. Yonai Mitsumasa sebenarnya bisa saja hidup kaya dengan memanfaatkan posisinya, tapi dia tidak melakukan itu.
Ada satu lagi contoh prajurit yang berkiprah sebelum masa perang. Orang itu bernama Akashi Motojiru. Pada saat perang Rusia-Jepang, ia merupakan orang yang terkenal dalam program dukungan revolusi Rusia dengan menggunakan uang yang dipercayakan oleh pemerintah.
Kalau diumpamakan sekarang, layaknya kegiatan mata-mata. Dia berusaha agar situasi dalam negeri Rusia menjadi kacau sehingga kondisi perang menguntungkan pihak Jepang.
Pada saat itu Akashi dibekali dengan uang satu juta yen. Dana yang sangat besar ini, bisa dengan bebas digunakan tanpa perlu minta izin atau memberitahukan kepada siapa pun.
Namun ternyata, kehidupan pribadinya sangat hemat. Tempat tinggalnya sederhana, rumahnya rusak dan atapnya bocor. Ketika keluarganya ingin memperbaiki bagian yang bocor, dia melarangnya. Itu karena rasa tidak ingin ada sedikit pun dugaan sebagai pihak yang menangani dana rahasia yang besar. Di Jepang ada banyak cerita seperti ini.
Wajah Kaisar Tidak Dicetak Pada Uang Kertas
Di setiap negara di dunia masing-masing menggunakan uang yang khas dan banyak uang di dunia bergambar wajah orang. Ini karena di dalam wajah orang ada fitur yang rumit seperti air muka, pandangan mata, sampai keriput, sehingga sulit untuk dipalsukan.
Uang yang dipalsukan, meskipun wajahnya mirip asli dan benar-benar bagus, namun dibanding dengan yang asli adakalanya kelihatan agak lebih sedih atau sebaliknya kelihatan lebih senang, di mana kesan yang diberikan berbeda dengan biasanya dan karena itu sulit dipalsukan.
Kemudian, kalau kita melihat uang kertas seluruh dunia, pada umumnya ada gambar tokoh kepala negara atau mantan kepala negara dari negara yang bersangkutan. Kalau itu kerajaan, maka raja atau ratu, dan kalau negara presidensial maka gambar presiden.
Di Indonesia pun pada uang kertas 100 ribu rupiah bergambar Presiden pertama Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, bukan?
Di Amerika juga pada uang kertas 1 dollar bergambar Presiden pertama George Washington dan uang kertas 5 dollar bergambar Presiden ke-16 Abraham Lincoln (yang terkenal dengan emansipasi). Pada uang kertas Inggris, ada gambar Ratu Elizabeth II.
Di Jepang, ketika era samurai berakhir dan terbentuk pemerintahan baru Meiji, diputuskan untuk mencetak uang kertas. Pada saat itu, pemerintahan baru Meiji mengundang para ahli dari luar negeri untuk dipekerjakan sebagai penasihat dalam rangka modernisasi Jepang.
Ada penasihat asing yang katanya memberikan pendapat mengenai pembuatan uang kertas, bahwa pada umumnya uang kertas banyak negara di dunia bergambar tokoh pemimpin negara tersebut, karena itu di Jepang sebaiknya bergambar kaisar.
Namun demikian, keputusan dari pemerintah Meiji akhirnya tidak mengadopsi saran penasihat asing tersebut, dan pada uang kertas tidak menggunakan gambar kaisar. Salah satu alasannya adalah, di Jepang ada pemikiran bahwa uang merupakan barang yang kotor dan ada budaya merendahkan uang sehingga penggunaan gambar kaisar menjadi tidak tepat.
Sampai saat ini di Jepang telah dikeluarkan berbagai jenis uang kertas dan berbagai gambar tokoh sudah ditampilkan, namun gambar kaisar sekalipun tidak pernah digunakan. Cara pandang orang Jepang terkait uang memang unik.
Cara Pandang Terhadap Uang Masa Kini
Itulah sekilas konsep cara pandang tradisional orang Jepang mengenai uang. Namun akhir-akhir ini cara pandang orang Jepang terhadap uang telah berubah dengan cepat.
Para mahasiswa Jepang saat ini pada waktu mencari pekerjaan akan mempertimbangkan apakah gajinya besar atau kecil. Itu menjadi kriteria yang sangat penting. Mungkin terdengar sebagai sesuatu yang biasa, namun bagi orang-orang Jepang generasi terdahulu merupakan sesuatu yang benar-benar mengejutkan.
Saat ini tidak jarang orang berpindah kerja karena tawaran gaji yang tinggi, namun bagi orang Jepang generasi tua merupakan suatu hal yang sulit untuk bisa dimengerti. Mungkin bagi generasi tua berpindah kerja karena ada keinginan untuk melakukan sesuatu yang lebih bisa lebih dimengerti, tapi pindah kerja karena gaji memang sulit mereka pahami. Generasi tua di Jepang menganggap karena di dunia ini ada hal yang lebih penting daripada uang.
Akhir tahun 1980-an sering disebut sebagai “baburu jidai” (bubble era), masa ketika negara Jepang menikmati kondisi ekonomi yang kuat. Aktivitas para pengusaha muda yang sukses dalam berbisnis dan menjadi jutawan menjadi topik pembicaraan saat itu. Kisah sukses seperti itu pun menjadi dambaan banyak orang muda.
Namun demikian, di dalam masyarakat Jepang pandangan tradisional terhadap uang tidak benar-benar menghilang, Pandangan tersebut masih tetap ada.
Baca artikel tentang Budaya Jepang lainnya hanya di Pandai Kotoba ya!