Konsep Ibasho dalam Serial Drama Jepang Midnight Diner
Pernah mendengar konsep Ibasho (居場所)? Atau barangkali Minasan pernah menonton serial drama Jepang Midnight Diner (深夜食堂, Shinya shokudo)? Jika pernah mengetahui keduanya, maka Minasan setidaknya akan setuju bahwa ada konsep Ibasho yang terkandung dalam serial drama Jepang yang juga muncul di Netflix ini.
Namun jika Minasan baru menonton serial dramanya saja dan langsung menyukainya, maka segala macam “kehangatan”, “kenyamanan”, dan “keharuan” yang dirasakan Minasan setelah menonton serial “slice of life” ini adalah bagian dari pengertian Ibasho.
Lantas apa sebenarnya makna dari konsep Ibasho? Dan apa hubungannya dengan serial drama Jepang Midnight Diner? Mari kita selami bersama, dalam rangka Pandai Kotoba baru saja mengkhatamkan seluruh episodenya. :))
Konsep Ibasho dalam Serial Drama Jepang Midnight Diner
Serial Drama Jepang Midnight Diner (深夜食堂, Shinya Shokudou)
一日が終わり人々が家路へと急ぐ頃
俺の一日は始まる
営業時間は夜十二時から朝七時まで
人は「深夜食堂」って言ってるよ
メニューはこれだけ
豚汁定食・ビール・酒・焼酎
あとは勝手に注文してくれりゃ
できるもんなら作るよってのが
俺の営業方針さ
客がくるかって?
それがけっこ来るんだよ
(Ketika orang-orang mengakhiri harinya dan bergegas pulang ke rumah, hariku baru saja dimulai. Kedaiku buka dari pukul 12 malam sampai pukul 7 pagi. Karena itu, orang-orang menyebutnya “Shinya Shokudou”. Menu di kedaiku hanya ini: Miso Babi, Bir, Sake, Shochu. Tapi aku bisa membuatkan apapun yang diminta pelanggan selama ada bahan-bahannya, itu kebijakanku. Apa aku memiliki pelanggan? Lebih dari yang kamu pikirkan.)
Itulah opening credit dari serial drama Jepang Midnight Diner (Shin’ya Shokudou, 2009), serial televisi Jepang yang ditayangkan secara luas melalui layanan streaming Netflix selama tujuh tahun terakhir.
Sejak ditayangkan perdana oleh Netflix pada tahun 2016, Midnight Diner telah menarik perhatian para penonton di seluruh dunia sebagai sebuah acara yang menyajikan kisah-kisah menyentuh tentang orang-orang biasa yang menjalani kehidupan mereka dengan berbagi kisah sambil menikmati makanan yang lezat dan penuh nostalgia.
Para reviewer serial drama ini menyebutnya sebagai “hidden gems”, “serial yang penuh kehangatan”, dan “penuh perenungan”, serta memujinya sebagai serial yang “menghangatkan hati dan dapat dinikmati secara universal”. Ulasan dari The New Yorker berkomentar bahwa Midnight Diner adalah serial yang “mengungkap keunikan dari hal-hal yang dianggap biasa”, sehingga menjadi tontonan yang unik dan menghibur di mata banyak orang.
Terlepas dari semua pujian yang baru-baru ini diterimanya sebagai drama televisi, serial Jepang ini sebenarnya dimulai sebagai serial manga, yang diciptakan oleh kreator Yarou Abe.
Midnight Diner pertama kali dibuat serialnya pada tahun 2006 di majalah Big Comic Original Zoukan milik penerbit Jepang Shogakukan, sebuah majalah yang ditargetkan untuk kaum pria dewasa muda, dan kemudian beralih ke majalah Big Comic Original pada tahun berikutnya. Manga ini terus berlanjut sejak saat itu, dan sekarang telah mencapai dua puluh enam volume, terhitung sejak bulan Februari tahun 2023.
Midnight Diner telah dicetak lebih dari 2,3 juta eksemplar dan telah meraih penghargaan dari Shogakukan Manga Award ke-55 pada tahun 2009 hingga Penghargaan Kartunis Jepang ke-39 pada tahun 2010. Setelah berhasil meraih popularitas, manga ini kemudian diadaptasi ke dalam berbagai media.
Midnight Diner telah diadaptasi tidak hanya ke dalam serial televisi Jepang yang sekarang terkenal, tetapi juga ke dalam tiga film, pertunjukan musikal, dan dua drama televisi Korea dan Tiongkok (masing-masing dirilis pada tahun 2015 dan 2017).
Serial televisi Jepang Midnight Diner pertama kali ditayangkan di stasiun televisi Mainichi Broadcasting Systems (MBS) di Jepang pada tahun 2009 hingga 2014 selama tiga season sebelum diambil oleh Netflix pada tahun 2016 dengan tambahan dua season (secara terpisah berjudul Midnight Diner: Tokyo Stories).
Kelima season ini, yang terdiri dari masing-masing sepuluh episode, menyajikan rangkaian lima puluh sketsa yang berfokus pada kuliner yang penuh dengan nostalgia, perjuangan hidup, dan dorongan semangat dari sebuah komunitas yang saling menguatkan.
Ragam Definisi Ibasho
Melalui kisah-kisah Midnight Diner, terdapat satu tema yang menonjol, yaitu bagaimana terciptanya “ibasho”, atau “tempat untuk mengada”. Kata ibasho dalam bahasa Jepang berasal dari kata kerja “iru,” yang berarti ” ada,” mengacu pada tindakan keberadaan makhluk hidup atau benda bernyawa; “iru” juga berarti “tinggal,” sama halnya dengan menempati suatu tempat dalam jangka waktu tertentu atau mendiami suatu tempat untuk sementara waktu.
Kata ini digabungkan dengan kata benda basho, yang berarti “tempat”, “lokasi”, atau “ruang”. ” Ibasho” memiliki dua definisi utama: pertama, merujuk pada lokasi atau keberadaan seseorang, tempat di mana seseorang berada atau di mana seseorang dapat ditemukan; kedua, merujuk pada tempat di mana seseorang dapat menjadi dirinya sendiri – suatu tempat bagi seseorang untuk bereksistensi. Karena alasan ini, maka ibasho merupakan tempat yang biasa dikunjungi dan sekaligus menjadi tempat yang nyaman. Dengan demikian, ibasho dapat dianggap serupa dengan gagasan “rumah kedua”, karena ibasho mewakili tempat yang cocok, tenang, dan nyaman.
Dalam berbagai referensi akademis, ibasho dibahas secara luas sebagai sebuah konsep yang mempengaruhi dinamika sosial dan perilaku dalam lingkungan masyarakat. Profesor Ilmu Sosial di Universitas Sophia, Haruhiko Tanaka, menulis bahwa penggunaan istilah ibasho secara umum dalam wacana akademis bermula dari penggunaannya dalam sebuah laporan resmi dari Kementerian Pendidikan Jepang (sekarang Kementerian Pendidikan, Olahraga, Budaya, dan Teknologi Jepang) dari tahun 1992, yang membahas tentang persoalan anak yang membolos di sekolah-sekolah di Jepang.
Laporan ini menggarisbawahi pembentukan ibasho sebagai tempat yang nyaman untuk didiami oleh anak muda di mana mereka dapat terlibat secara sosial dengan orang lain. Tanaka mendeskripsikan ibasho sebagai “tempat atau komunitas yang membuat orang merasa seperti di rumah sendiri,” dan sebagai “tempat di mana orang merasa ‘aman, terjamin, diterima, dan disetujui.”.
Tanaka juga mengumpulkan banyak sekali definisi ibasho dalam bahasa Inggris dari wacana akademis. Ini termasuk definisi ibasho sebagai: “ruang bebas,” “tempat eksistensial,” “tempat keberadaan,” “tempat pribadi,” “tempat emosional seseorang,” “rasa keakraban antarpribadi,” “rumah psikologis seseorang,” “tempat di mana seseorang dapat merasa aman dan menjadi diri sendiri,” “tempat komunitas di mana seseorang merasa betah,” “tempat, ruang, dan komunitas apa saja yang membuat orang merasa nyaman, santai, tenang, dan diterima oleh orang-orang di sekitarnya. “
Menelaah definisi-definisi tersebut, Tanaka menyimpulkan bahwa ibasho adalah: “ruang bebas,” “ruang,” “tempat,” dan “komunitas. ” Tanaka kemudian mengidentifikasi tiga elemen dalam ibasho: yaitu elemen spasial “tempat”, elemen hubungan antarmanusia yang positif, dan elemen waktu.
Elemen spasial dari ibasho merujuk pada tempat atau komunitas, tetapi ibasho tidak harus berupa tempat secara harfiah, Tanaka memasukkan contoh dunia maya pun sebagai ibasho bagi banyak orang.
Elemen hubungan antarmanusia merujuk pada ibasho sebagai tempat yang aman untuk menjalin hubungan sosial yang baik dan tidak ada ancaman. Sedangkan, elemen waktu dalam ibasho berhubungan dengan ibasho sebagai tempat yang mendorong pertumbuhan pribadi atau tumbuhnya harapan untuk masa depan seseorang.
Melalui ketiga elemen tersebut, Tanaka membahas ibasho sebagai ruang yang memenuhi berbagai hierarki kebutuhan Maslow, diantaranya kebutuhan akan rasa aman, rasa memiliki, dan pengakuan. Pada akhirnya, Tanaka berpendapat bahwa ibasho dapat berfungsi sebagai tempat berlindung bagi mereka yang tertindas secara sosial dan menjadi wadah bagi peningkatan pemberdayaan diri mereka.
Dalam artikel lain, Hayao Nomura, peneliti di Nagoya University of the Arts, juga mendeskripsikan ibasho sebagai “tempat atau komunitas yang membuat seseorang merasa seperti di rumah sendiri. ” Nomura menyebut ibasho sebagai “tempat untuk saling memiliki”, seperti misalnya sebuah kelompok musik yang dapat berfungsi sebagai ibasho bahkan bisa berfungsi sebagai ruang yang mendorong partisipasi sosial. Melalui artikel-artikel ini, kita melihat ibasho dibahas sebagai ruang yang aman dan sebagai tempat untuk membangun keterlibatan sosial, bahkan pemberdayaan.
Genre dan Setting Drama Jepang Midnight Diner
Genre serial drama Jepang Midnight Diner ini bisa dikatakan lintas genre, ada komedi, slice of life, dan tentu saja makanan. Jika menggunakan istilah genre pada manga, maka kisah Midnight Diner banyak yang mengatakan termasuk dalam genre Ninjou Manga yang berarti “manga emosional”, yang menyuguhkan tema-tema seperti kemanusiaan, rasa simpati dan empati.
Oleh karena itu, fiksi bertema besar kuliner yang berorientasi pada makanan ini menyampaikan tema-tema kuat tentang hubungan antarmanusia dan simpati, yang digambarkan lebih mendalam dalam serial dramanya.
Cerita-cerita dalam Midnight Diner berlangsung di sebuah kedai kecil di suatu tempat di gang-gang kecil di Shinjuku, Tokyo. Dari luar, kedai makan ini hanya ditandai oleh spanduk di depan pintu masuk dengan kata “meshiya,” yang berarti “kedai makan” yang menyajikan makanan sederhana atau masakan rumahan. Memang, ini adalah tempat yang terlihat sangat sederhana, mulai dari ukuran kedainya, interiornya hingga praktiknya sebagai bisnis.
Penampilannya yang sederhana dengan ukuran yang relatif kecil membuat kedai makan ini menjadi tempat yang ramah dan mudah diakses bagi para pelanggan. Dekorasinya sederhana, dengan menu yang hanya terdiri dari empat item yang tertempel di dinding. Menunya hanya terdiri dari sup miso babi, bir, sake,dan shochu.
Sehelai tirai terpasang yang memisahkan area pelanggan dan dapur kecil tempat makanan disiapkan di bagian belakang ruangan. Ukuran kedai makan ini tidak lebih besar dari sepuluh meter persegi. Ruangannya didominasi oleh area duduk di sekitar meja persegi yang mengelilingi tempat pelayanan. Kedai ini hanya mampu menampung tidak lebih dari dua belas pelanggan pada satu waktu (empat orang di setiap sisi meja), menjadikan setiap pelanggannya dekat satu sama lain dan terkesan intim. Di sekitar meja ini, pengunjung berkumpul makan bersama dan berbagi kebersamaan satu sama lain setiap saat di tengah malam. Karena kedai ini buka dari tengah malam hingga pukul tujuh pagi, maka para pelanggan kerap menyebutnya dengan nama “midnight diner” (shin’ya shokudou).
Dalam Midnight Diner, cerita mengisahkan tentang orang-orang yang sedang mengalami kegembiraan dan kesulitan mereka yang sangat manusiawi, sekaligus bagaimana mereka menemukan kelezatan dalam sepiring makanan, serta bagaimana mereka menemukan kenyamanan dan kebersamaan di dalam sebuah kedai makan yang kecil. Untuk menggambarkan bagaimana ibasho muncul di Midnight Diner, pertama-tama mari kita ulas tentang pemilik sekaligus satu-satunya orang yang menjalankan kedai makan Shinya Shokudo, yang dikenal dengan sebutan Masutaa (Master).
Kedai makan tengah malam ini sepenuhnya dikelola oleh Master seorang diri. Ia pemilik, koki, sekaligus pelayan yang mengurus pesanan. Master adalah seorang pria paruh baya yang tak banyak bicara. Di bagian wajahnya tampak segurat luka misterius. Sebutan Masutaa ini, yang secara harfiah diterjemahkan sebagai “Tuan” dalam bahasa Inggris, digunakan di Jepang untuk merujuk kepada pemilik sebuah restoran. Saat berbicara kepada Masutaa, para pengunjung kedai hanya memanggilnya “Masutaa”, tak ada yang tahu siapa nama sebenarnya. Para pelanggan yang datang ke kedai tengah malam ini, kerap bercerita tentang kisah persoalan hidupnya pada Master dan pelanggan lainnya yang bisa dibilang pelanggan tetap di kedai makan ini.
Makna Makanan di Midnight Diner
Hidangan yang disajikan Masuta merupakan inti dari serial Midnight Diner. Sebagai sebuah serial kuliner, Midnight Diner memiliki fokus utama pada makanan. Serial ini menyusun setiap episodenya berdasarkan makanan yang dipesan oleh para pelanggan yang kemudian dibuatkan oleh Masuta untuk mereka.
Setiap episode diberi judul sesuai dengan hidangan yang menjadi sorotan, yang merupakan simbol dari kisah seseorang yang datang ke kedai makan ini untuk memesannya. Oleh karena itu, sebagian besar peran Masutaa, baik di kedai maupun di serial ini secara keseluruhan, adalah membawa pelanggannya ke dalam sebuah relasi melalui makanan yang melambangkan masa lalu, masa kini, atau masa depan mereka.
Salah satu hal yang membawa elemen kenyamanan dalam masakan Masutaa adalah keintimannya. Pertama, kedai ini merupakan sebuah ruangan satu petak, di mana dapur dan tempat duduk pelanggan hanya dipisahkan oleh tirai pendek. Pelanggan yang memesan makanan dapat dengan mudah melihat, mendengar, dan mencium aroma makanan yang sedang dipersiapkan hanya beberapa meter dari tempat duduk mereka, membuat pengalaman ini lebih mirip dengan masakan rumahan dibandingkan dengan hidangan restoran pada umumnya. Kedua, setiap makanan dibuat sesuai pesanan, karena Masutaa membuat apa pun yang diminta pelanggan selama ia memiliki bahan-bahannya. Kebebasan pelanggan untuk meminta apa pun yang mereka inginkan kepada Masutaa membuat makanan yang mereka terima menjadi sangat personal. Pembuatan dan penyediaan makanan pribadi ini menjadi sebuah tindakan yang tidak hanya sekadar bisnis, tetapi juga merupakan wujud dari kebaikan dan rasa kepedulian yang personal, yang mengubah sebuah tempat pelayanan menjadi tempat yang nyaman.
Ketika membuat sebuah hidangan baru untuk seseorang untuk pertama kalinya, Masutaa sering mengatakan bahwa ia berharap apa yang ia buat sesuai dengan selera dan ekspektasi pelanggan. Hal ini menunjukkan perhatian ekstra terhadap permintaan pelanggan, sehingga meningkatkan kenyamanan dan rasa memiliki mereka terhadap kedainya. Seringkali tanggapan pelanggan sangat antusias, dan bahkan banyak yang mengatakan bahwa makanannya memiliki cita rasa yang luar biasa dan berbeda dari rasa yang sudah membekas dalam ingatan para pelanggannya.
Hal yang perlu dicatat tentang makanan yang diminta oleh para pengunjung Midnight Diner adalah bahwa banyak hidangan yang mereka pesan sebenarnya cukup sederhana dan dapat dibuat sendiri di rumah. Bahkan, beberapa resepnya hampir tidak rumit, seperti ochazuke (teh hijau atau kaldu di atas nasi) dan nasi mentega (nasi putih hangat dengan taburan mentega dan sedikit kecap di atasnya).
Namun, terlepas dari kesederhanaan resep-resep ini, pelanggan tetap memilih untuk datang ke kedai daripada membuatnya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa kedai ini lebih dari sekadar restoran, karena memiliki daya tarik lain yang membuat para pelanggannya datang berkali-kali. Memang, ada sesuatu yang lebih dari sekadar makanan yang dinikmati pelanggan di Midnight Diner; mereka menerima sambutan hangat, makanan yang dimasak untuk mereka secara pribadi dengan sepenuh hati, dan tempat yang nyaman dengan kehadiran pelanggan lain. Hal-hal ini menciptakan ibasho bagi para pelanggan di kedai ini.
Dalam kisah-kisah Midnight Diner, terdapat hubungan yang erat antara Masuta yang menyiapkan makanan, makna dari makanan itu sendiri, dan pelanggan yang menerima dan menikmatinya, yang menumbuhkan keintiman emosional dan rasa nyaman di kedai. Salah satu hal unik yang menjadi ciri khas dari Midnight Diner pada pelanggannya adalah keterlibatannya dengan berbagai masalah yang dihadapi setiap orang dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu cara untuk memfasilitasi hal ini adalah melalui makanan yang mereka pesan di kedai.
Banyak pelanggan baru yang datang ke kedai ini untuk pertama kalinya semata-mata untuk mencari tempat di mana mereka bisa mendapatkan hidangan khusus. Hidangan ini berperan sebagai hidangan yang membuat para karakter merasa nyaman, dan kedai ini, dengan kebijakannya untuk membuat hidangan sesuai pesanan (bahkan untuk pesanan yang tidak ada di menu), merupakan tempat yang sempurna untuk mewujudkannya.
Midnight Diner sebagai sebuah serial menggunakan “rasa nostalgia” dalam makanan untuk menarasikan kisah-kisah tentang berbagai masalah yang dihadapi orang-orang dan mendorong proses pemulihan dengan cara membawa mereka berinteraksi secara personal di tempat yang nyaman. Makanan yang dipesan oleh seorang karakter di kedai Midnight Diner, sering kali menjadi langkah pertama untuk berinteraksi dengan kesulitan yang mereka hadapi.
Sebagai contoh, dalam episode kelima serial ini, seorang pria bernama Oki sering mengunjungi kedai Midnight Diner tersebut untuk memesan salad kentang Masuta, yang menurutnya memiliki rasa yang mengingatkannya pada masa lalu. Dalam episode tersebut, kita mengetahui bahwa ia memiliki masalah keluarga yang belum terselesaikan, karena ia telah lama putus hubungan dengan keluarganya akibat pekerjaan dan kesuksesannya di dunia hiburan dewasa. Salad kentang yang ia pesan di kedai mengingatkannya akan rasa resep ibunya, yang sudah bertahun-tahun tidak pernah ia makan.
Dengan cara ini, hidangan yang dipesan Oki membuatnya bersentuhan dengan rasa bersalah dan penyesalannya selama ini karena telah lama tidak bertemu dengan keluarganya. Menyajikan makanan nostalgia kepada pelanggan kedai adalah cara sederhana yang dilakukan Masutaa untuk menciptakan kenyamanan di dalam ruang kedai. Elemen kenyamanan dan perhatian ini memperkuat kedai ini sebagai ibasho yang nyaman bagi para pelanggan saat mereka mengalami kesulitan maupun saat mereka ingin bersantai.
Para Pengunjung Midnight Diner
Selain makanan, yang tidak kalah pentingnya dalam menciptakan atmosfer kebersamaan dalam komunitas dan ibasho adalah para pengunjung Midnight Diner di setiap episode serial ini. Meski banyak karakter yang berganti-ganti di setiap episode dan setiap seasonnya, ada beberapa karakter yang menjadi tokoh andalan dalam serial ini, yang merupakan pengunjung tetap di kedai makan ini untuk waktu yang lama.
Tokoh-tokoh ini juga sudah muncul di beberapa episode awal, dan juga muncul di beberapa episode selanjutnya. Para tokoh ini mewakili sebagian kecil dari mereka yang menemukan tempat untuk diri mereka sendiri dan menjadi bagian dari komunitas di Midnight Diner.
Nah, Pandai Kotoba akan memperkenalkan beberapa karakter yang muncul berulang-ulang dan keterkaitannya dengan kedai ini, karena kisah mereka tidak hanya menunjukkan keterlibatan jangka panjang dengan komunitas kedai, tetapi juga karena mereka sering kali menjadi bagian dari komunitas yang menerima dan menyambut para pelanggan baru ke dalam lingkungan ibasho di kedai ini.
Pelanggan pertama yang diperkenalkan di kedai ini adalah Marilyn, seorang wanita muda yang bekerja sebagai seorang penari telanjang di pusat kota Tokyo. Saat pertama kali bertemu dengannya, Masutaa menggambarkannya sebagai wanita yang mudah terombang-ambing dalam hal percintaan, mengingat ia sering membawa pria yang berbeda-beda ke kedai dan memesan makanan sesuai selera mereka.
Semakin sering kita menyaksikan Marilyn, semakin jelas bahwa selera Marilyn yang berubah-ubah menunjukkan keinginannya untuk dapat diakui sebagai seseorang yang menggeluti profesi di industri seks. Marilyn adalah penari telanjang yang sangat sukses yang bahkan tampil di dunia internasional. Namun demikian, dia berjuang untuk benar-benar dapat diakui dan dihargai oleh teman-temannya, rekan-rekannya, dan ibunya.
Di kedai Midnight Diner, ia mendapatkan pengakuan dari para penggemarnya termasuk dari Tuan Chu, seorang pensiunan warga setempat yang sering mengunjungi kedai dan ia juga sering mendapatkan pengakuan dari Masutaa dan para pelanggan lainnya. Terlebih lagi, ia juga bisa menemukan banyak teman yang bisa meningkatkan rasa penerimaan dirinya dan juga membantunya untuk menyampaikan keluhan dan keinginannya agar mendapat dukungan dari kekasih dan keluarganya. Pada season pertama, ia berjuang menghadapi prasangka dari mantan teman dan rekan-rekannya, untungnya ia menemukan dukungan dari para pelanggan kedai Midnight Diner.
Ia kemudian menjalin persahabatan secara tidak sengaja dengan seorang wanita yang usianya lebih tua bernama Yachiyo, yang ternyata adalah seorang penari telanjang yang terkenal beberapa dekade lalu, dan mereka dengan cepat menjadi teman dekat.
Marilyn adalah salah satu dari segelintir karakter yang ditampilkan lebih dari satu episode. Pada saat kita menontonnya di season ketiga, Marilyn sudah lebih percaya diri dan sudah bisa berhadapan dengan kekasih dan ibunya yang selalu mempermasalahkan soal pekerjaannya.
Bagi Marilyn, kedai Midnight Diner merupakan tempat di mana ia merasa nyaman berada di antara orang-orang yang akrab dengannya dan bisa menerima dirinya apa adanya. Hal ini pada akhirnya membantunya membuang jauh-jauh segala bentuk perasaan yang tidak menyenangkan dan membiarkan dirinya menikmati pekerjaannya dengan sepenuh hati, yang kemudian membawanya menuju jalan kebahagiaan dan kesuksesan.
Karakter lain yang juga merasakan suasana ibasho di kedai MIdnight Diner adalah seorang pria gay yang juga pemilik bar yang terletak di dekat kedai MIdnight Dineri. Dia sering datang ke kedai MIdnight Diner untuk sekadar menyantap makanan, mengobrol, atau sekadar bersosialisasi dengan para pelanggan lainnya ketika dia tidak sedang bekerja di bar.
Sering kali, dia memberikan pendapat dan saran kepada beberapa pelanggan yang berkeluh kesah dengannya, karena itulah ia juga merupakan salah satu bagian penting dari komunitas di kedai MIdnight Diner yang juga sering muncul di beberapa episode. Berkat hal tersebut, ia pun membentuk ikatan yang lebih dalam dengan para pelanggan lainnya.
Kosuzu sering mengunjungi kedai dengan harapan bisa bertemu dengan Ryu seorang bos yakuza setempat (gangster Jepang) yang kemudian menjadi teman akrabnya. Kosuzu ingin berada di dekat Ryu dan berharap bisa menumbuhkan hubungan lebih dekat dan romantis dengannya, dan ia juga sering mengunjungi kedai demi menjaga hubungan pertemanan yang telah ia jalin dengan pengunjung kedai lainnya.
Sebagai contoh, di Season 2, Episode 7, persahabatan Kosuzu dengan Tsukiko, seorang penulis skenario yang juga sering datang ke kedai ini, berujung pada Tsukiko yang mengadopsi anak kucing dari pembuangan sampah yang kemudian mereka pelihara bersama. Meskipun Kosuzu tidak mencari validasi eksternal seperti yang dilakukan oleh Marilyn, ia tetap menemukan komunitas Ibasho di kedai ini sebagai tempat yang penuh dengan sambutan dan penerimaan.
Yang terakhir adalah grup yang terdiri dari tiga orang “wanita kantoran”, yang sering disingkat “OL”, atau wanita yang bekerja di bagian administrasi di perusahaan-perusahaan Jepang. Ketiganya berusia 30-an, masing-masing bernama Miki, Rumi, dan Kana, yang memiliki nama panggilan sesuai dengan hidangan pilihan mereka: ochazuke, teh hijau hangat atau kaldu dashi yang disiramkan di atas nasi.
Mereka datang ke kedai Midnight Diner selepas bekerja untuk bersosialisasi dan mengobrol dengan pengunjung lain. Dalam lingkungan kedai, mereka sangat terbuka dan jujur dengan pendapat mereka, saling bercengkerama, dan saling mengomentari kehidupan masing-masing, yang mana sering mereka lakukan di sepanjang serial ini.
Sebagai contoh, setelah seorang pelanggan bertengkar dengan cinta pertamanya bertahun-tahun yang lalu, Miki berkomentar bahwa cinta pertama tampaknya tidak pernah berhasil. Seringkali, mereka akan menyatakan kesepakatan dengan sebuah komentar dengan melihat ke arah satu sama lain dan berkata “benar kan?” (ne?) secara serempak.)
Ketiga perempuan ini sadar akan fakta bahwa mereka dipandang rendah karena mereka masih lajang. Mereka merasakan tekanan dari keluarga dan orang-orang di sekitar mereka untuk segera menikah, seperti ketika Rumi mendatangi sebuah sesi perjodohan tradisional (yang dikenal dengan sebutan omiai) untuk sekadar meringankan kekhawatiran ibunya yang sedang sakit.
Namun, mereka bertekad untuk menemukan cinta yang romantis dan tidak akan pernah berhenti untuk menunggu sang pangeran mereka datang, dan mereka saling menyemangati satu sama lain saat bertemu di kedai Midnight Diner. Perjuangan mereka menghadapi berbagai tuntutan dan tekanan masyarakat terkait pernikahan membuat mereka sering mengunjungi kedai sepulang bekerja, di mana mereka dapat berbicara dengan bebas tentang berbagai hal yang membuat mereka merasa tertekan, dan juga tentang berbagai harapan dan impian mereka.
Sementara mereka adalah beberapa karakter yang selalu muncul, sebagian besar episode menampilkan karakter yang baru pertama kali datang ke kedai Midnight Diner ini. Orang-orang yang datang ke kedai ini berasal dari berbagai usia, pekerjaan, jenis kelamin, dan latar belakang. Mereka bukanlah kelompok yang terdiri dari orang-orang yang terbuang secara sosial, tetapi berbagai macam orang yang mencari suatu tempat.
Termasuk di antaranya adalah orang-orang terkenal yang menginginkan suatu tempat di mana mereka dapat bersantai dan menikmati hidangan sederhana tanpa harus mempertahankan persona publik mereka; orang-orang yang hanya berusaha untuk bertahan hidup dan menginginkan seseorang yang peduli dan percaya pada mereka; orang-orang yang sedang bergumul dengan pilihan mereka dan menginginkan suatu tempat untuk beristirahat dan merenungkan kehidupannya; orang-orang yang dikucilkan secara sosial dan menginginkan suatu tempat untuk menjadi diri mereka sendiri; serta orang-orang yang sekadar ingin menikmati hidangan dengan suasana yang tenang di tengah-tengah keramaian. Hal-hal inilah yang menarik orang ke Midnight Diner dan menjadikannya ibasho bagi orang-orang dari berbagai kalangan.
Ibasho dalam Serial Drama Jepang Midnight Diner
Dalam Midnight Diner, kedai ini berfungsi sebagai ibasho bagi banyak pelanggannya saat menghadapi berbagai macam persoalan dalam kehidupan sehari-hari, mengatasi problematika dari masa lalu, atau ketika mereka sedang berjuang untuk mencari jalan ke depan. Kedai ini berfungsi sebagai ibasho: baik sebagai tempat yang biasa dikunjungi dan sebagai tempat emosional yang nyaman dan membuat mereka merasa seperti di rumah sendiri.
Pertama, Midnight Diner adalah tempat yang dikunjungi orang-orang pada waktu-waktu yang tidak biasa yaitu pada jam-jam tengah malam. Bagi banyak pelanggannya, Midnight Diner berfungsi sebagai tempat yang cocok untuk dikunjungi di tengah-tengah perjalanan mereka dari tempat kerja menuju ke rumah. Karena Midnight Diner hanya buka dari pukul 12 malam hingga 07 pagi, tempat ini menjadi tempat yang secara eksklusif melayani jam-jam dimana restoran dan ruang komunitas lainnya tidak dapat diakses sebagai tempat berkumpulnya jiwa-jiwa yang lelah.
Sepanjang serial ini, beberapa episode menyertakan selingan singkat yang diceritakan mirip dengan urutan pembukaan, yang menggambarkan kedai tengah malam ini sebagai tempat untuk dikunjungi bagi mereka yang merasa memiliki urusan yang belum selesai dan ingin tinggal di suatu tempat untuk sementara waktu:
Dengan demikian, kedai Midnight Diner ini menjadi ibasho dalam arti sebagai ruang bagi pelanggan untuk menjadi diri mereka sendiri sekaligus menghabiskan waktu untuk menjalin hubungan sosial di luar tanggung jawab dan peran mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Suasana malam hari sebagai latar waktu kontekstual dimana pengunjung kedai berada dalam suasana yang kondusif untuk keterbukaan emosional, karena orang-orang sudah merasa lelah dan ingin melepas penat di penghujung hari. Oleh karena itu, orang-orang yang datang ke kedai ini setelah seharian bekerja atau beraktivitas seharian dapat beristirahat di kedai sebagai tempat yang bebas dari tanggung jawab baik di kantor maupun di rumah; tempat di mana mereka dapat terbuka untuk menceritakan berbagai kesulitan sekaligus mendapatkan dukungan, baik dalam bentuk nasihat, hubungan interpersonal, maupun hanya melalui kenikmatan makanan yang lezat dan menggugah selera.
Profesor Haruhiko Tanaka membahas ruang semacam ini di luar tempat kerja atau rumah sebagai bentuk lain dari ibasho sebagai “tempat ketiga. ” Tanaka meminjam istilah ini dari sosiolog Ray Oldenburg dan bukunya yang berjudul The Great Good Place, yang membahas pentingnya ruang komunitas sosial. Tanaka mengilustrasikan konsep “tempat ketiga” ini dengan menggunakan contoh ruang perawat di sekolah-sekolah di Jepang. Tidak seperti rumah atau ruang kelas, yang diasosiasikan dengan peran dan evaluasi berbasis kelas, ruang perawat adalah ruang bebas di mana siswa dapat tinggal dengan nyaman, dan dengan demikian menjadi ibasho bagi banyak siswa di Jepang.
Ide yang sama juga muncul di banyak acara televisi di Amerika Serikat, seperti dalam serial televisi Cheers, di mana sebuah bar berfungsi sebagai ruang ketiga di luar tempat kerja dan rumah untuk bersantai dan menjalin hubungan sosial. Demikian pula Midnight Diner berfungsi sebagai “ruang ketiga” bagi para pengunjungnya yaitu sebagai tempat yang terpisah dan bebas dari segala bentuk ekspektasi.
Sebagai sebuah serial, Midnight Diner menempatkan nilai-nilai dalam komunitas yang dibangun dari hubungan yang terbentuk di antara para karakternya. Dengan terbatasnya ruang makan yang hanya berkapasitas dua belas orang, banyak pelanggan yang secara tidak sengaja menjalin hubungan dan membangun sebuah ikatan, menjadikan kedai makan ini bukan hanya sebagai tempat untuk dikunjungi, tetapi juga tempat untuk “berada” sekaligus menjadi bagian dari sebuah komunitas.
Sebagai contoh, dalam sebuah episode di season kedua, dua mahasiswa jurusan film, Genki dan Yuki, datang ke kedai ini sepulang kuliah dan bekerja, dan secara tidak sengaja bertemu dengan seorang wanita muda bernama Yukino. Mereka saling mengenal karena sama-sama menyukai makanan kaleng, hingga pada akhirnya Yukino dipercaya untuk memerankan karakter utama dalam salah satu proyek film mereka.
Tanpa sepengetahuan mereka, Yukino sedang berjuang untuk menemukan kembali semangat hidupnya setelah mengalami kegagalan dalam sebuah hubungan, berkat pertemuannya dengan mereka berdua di kedai makan tersebut, ia pun terdorong untuk segera menemukannya kembali. Karena itu, kedai ini menjadi tempat di mana para pelanggan menemukan sebuah relasi yang dapat membantu mereka mengatasi masalah yang mereka hadapi.
Komunitas di Midnight Diner sering diekspresikan lewat interaksi di antara para pelanggan. Sebagai tempat yang dapat menjangkau berbagai kalangan, Midnight Diner sering kali memfasilitasi hubungan kekeluargaan dan persahabatan antar individu. Melalui komunitas Midnight Diner, kita dapat melihat orang-orang yang tampaknya sangat berbeda satu sama lain ternyata saling peduli satu sama lain, saling mendukung, dan saling menghabiskan waktu bersama di tempat yang membuat mereka betah. Kepedulian dan kebersamaan ini menciptakan ibasho, karena para pelanggan menemukan rasa saling memiliki, rasa aman, dan kenyamanan di dalam kedai Midnight Diner.
Gaya Komunikasi di Kedai Midnight Diner
Faktor lain yang menjadikan Midnight Diner sebagai ibasho bagi pelanggannya adalah gaya komunikasi yang digunakan Masuta.. Bahasa yang digunakan Masuta di kedainya sangat kasual dan bersahabat. Namun, pada saat yang sama, dia tidak melupakan penghormatannya pada para pelanggannya.
Masuta berbicara dalam bentuk bahasa Jepang yang maskulin dan sederhana. Sebagian besar komunikasinya menggunakan bentuk bahasa sopan restoran (versi singkat) yang umum digunakan untuk melayani pelanggan.
Dalam bahasa Jepang, bahasa sopan dikenal dengan istilah keigo. Frase Keigo digunakan tak hanya di restoran, tapi juga secara luas dalam semua lini industri jasa di Jepang. Penggunaan bentuk keigo versi singkat ala Masuta di Midnight Diner memadukan kesopanan dengan kesan yang lebih kasual dan akrab, karena memperpendek bentuk frasenya yang membuatnya menjadi agak kurang formal dalam bahasa Jepang.
Hal ini memungkinkan dia untuk menghormati pelanggannya sekaligus lebih terlihat akrab dan bersahabat dengan para pelanggannya.
Nah, di bawah ini adalah daftar singkat contoh frasa umum yang digunakan Masuta di Midnight Diner:
• Irasshai – versi singkat dari irasshaimase, sebuah ungkapan sopan yang digunakan oleh staf untuk menyambut pelanggan di suatu tempat.
• Aiyo – Ungkapan singkat yang menyerupai hai (“ya”) dan yo (partikel akhir kalimat yang digunakan untuk memanggil atau menyapa orang lain), yang berarti memahami dan menerima permintaan.
• Omachi, atau Hai, omachi – versi singkat dari omatase shimashita (“Saya telah membuat Anda menunggu”), sebuah istilah sopan yang digunakan ketika lawan bicara telah dibuat menunggu.
• Maido – versi singkat dari kalimat umum yang berarti terima kasih kepada pelanggan atas dukungan mereka (seperti Maido arigatou gozaimasu, “terima kasih sudah datang lagi” atau Maido, mata irasshai “terima kasih, silakan datang lagi”). Ungkapan ini terkadang berubah menjadi sebuah frase dengan nuansa kedekatan yang signifikan. Sebagai contoh, alih-alih menyapa pelanggan yang memasuki kedainya dengan kata irasshai, Masuta akan menyapa mereka dengan okaeri, yang juga merupakan ungkapan yang berarti “selamat datang kembali” atau “selamat datang di rumah.”
Demikian pula, Masuta juga kadang-kadang menukar sapaan maido dengan oyasumi, yang merupakan bentuk singkat dan akrab dari ucapan “selamat malam”.
Secara keseluruhan, gaya komunikasi yang digunakan Masuta menciptakan perasaan dekat dan informal bagi pelanggan dan turut mewakili atmosfer kedainya sebagai ruang yang nyaman. Penggunaan Okaeri dan oyasumi yang informal sering kali ditujukan tidak terbatas pada pelanggan tetapnya. Bentuk komunikasi ini berfungsi untuk menonjolkan keakraban bahkan terhadap pelanggan baru.
Gaya bahasa Masuta ini turut mempertegas fungsi kedai Midnight Diner sebagai ibasho yang akrab dan nyaman bagi banyak pelanggannya.
Demikian Minasan, ulasan mengenai konsep Ibasho dalam drama Jepang Midnight Diner yang lumayan panjang ini. Sekadar ikhtisar, bahwa konsep “ibasho” dalam Midnight Diner menciptakan pondasi untuk sebuah komunitas yang erat dan hubungan antarmanusia yang penuh empati.
Dalam kedai kecil ini, yang “dimpimpin” oleh Masuta, setiap hidangan bukan hanya merupakan sajian kuliner, tetapi juga simbol dari kisah hidup dan kondisi jiwa para pelanggan. Dinding-dinding kedai menjadi saksi bagi pertemuan, kisah, dan dukungan yang tumbuh di antara karakter-karakter yang beragam.
Sebagai tempat yang sederhana namun penuh makna, Midnight Diner mengajarkan kita bahwa terkadang, kedekatan dan pengertian dapat ditemukan dalam kesederhanaan hidup sehari-hari, di mana setiap kisah memiliki tempatnya. Dengan begitu, ibasho di Midnight Diner bukan hanya tentang tempat fisik, tetapi juga tentang ruang emosional tempat manusia merasa diterima, dihargai, dan diakui keberadaannya sebagai manusia dengan segala kisah dan persoalan hidupnya. Dan itulah yang dinamakan Ibasho.
Bagi Minasan yang ingin mengetahui lebih banyak tentang kisah-kisah seputar Jepang, bisa Minasan peroleh juga di Instagram Pandai Kotoba, chanel Youtube Pandai Kotoba, dan Tik Tok Pandai Kotoba.
Mata!