Hitobashira, “Tumbal Proyek” dalam Urban Legend Jepang
Hai Minasan~! Jepang dikenal memiliki bangunan besar dan bersejarah yang mewarnai keunikan arsitektur budayanya. Bangunan tersebut di antaranya kastil, kokohnya jembatan, dan menakjubkannya menara besar. Di tengah megahnya bangunan tersebut, tersembunyi kisah yang bikin bulu kuduk merinding yaitu Hitobashira.
Hitobashira adalah salah satu praktik kuno yang melakukan pengorbanan manusia pada saat pembangunan. Kalau dalam bahasa sehari-hari kita adalah tumbal proyek. Meski sekarang sudah tidak dilakukan, Hitobashira tetap hidup di tengah masyarakat Jepang melalui cerita rakyat dan urban legend pada banyak bangunan ikonik di Jepang.
Pandai Kotoba pada artikel ini akan membahas Hitobashira mulai dari asal-usul, mitos, kepercayaan, cerita urban legend-nya, dan pengaruhnya pada zaman sekarang ini. Semengerikan apa sih Hitobashira ini dan apakah benar ini perwujudan dari tumbal proyek? Yuk kita simak di bawah ini.
Hitobashira: “Tumbal Proyek” dalam Urban Legend Jepang
A. Apa itu Hitobashira?
Hitobashira (人柱) yang secara harfiah berarti “pilar manusia” adalah praktik ritual kuno di Jepang di mana manusia dikorbankan dan dikubur hidup-hidup di dalam atau di sekitar struktur bangunan seperti jembatan, bendungan, atau kastil.
Ritual ini dilakukan dengan kepercayaan bahwa roh korban akan menjadi pelindung bangunan tersebut dari kerusakan atau bencana. Hitobashira juga mencerminkan kepercayaan spiritual masyarakat Jepang pada zaman kuno terhadap kekuatan supranatural dan hubungan antara manusia, alam, dan bangunan yang dibuat.
B. Asal-Usul Hitobashira
Praktik Hitobashira berasal dari kepercayaan masyarakat Jepang kuno yang memadukan unsur keagamaan Shinto, tradisi animisme, dan kebutuhan pragmatis pada zaman itu. Hitobashira bukan sekadar ritual pengorbanan, tetapi juga mencerminkan pandangan dunia masyarakat zaman dahulu terhadap hubungan antara manusia, alam, dan dewa. Berikut di bawah ini adalah penjelasan lebih detail mengenai asal-usulnya yang dilihat dari beberapa perspektif zaman dahulu:
1. Pengaruh Kepercayaan Animisme
Jauh sebelum agama Buddha dan Shinto berkembang di Jepang, masyarakat Jepang memiliki kepercayaan animisme yang mana semua benda di alam, seperti sungai, gunung, dan pohon dianggap memiliki roh atau arwah yang dikenal sebagai “Kami“. Dalam kepercayaan ini, kami bisa menjadi pelindung atau penghancur, tergantung pada bagaimana manusia memperlakukan mereka.
Jika pembangunan suatu struktur besar seperti jembatan atau kastil dianggap mengganggu tempat tinggal Kami. Diyakini bahwa Kami akan marah dan menghancurkan proyek tersebut melalui bencana seperti banjir atau gempa. Untuk menenangkan Kami, manusia dipersembahkan sebagai bentuk pengorbanan tertinggi. Ritual ini dianggap sebagai upaya untuk memastikan harmoni antara dunia manusia dan roh alam.
2. Hubungan dengan Tradisi Shinto
Dalam Shinto, konsep Yorishiro (依代) merujuk pada benda atau makhluk yang digunakan sebagai tempat bersemayam bagi kami. Pada zaman kuno, manusia sering dipilih sebagai Yorishiro karena diyakini memiliki energi spiritual yang lebih kuat dibandingkan benda mati.
Korban manusia yang dikorbankan dalam Hitobashira dianggap menjadi yorishiro yang menghubungkan Kami dengan bangunan yang sedang dibuat. Dengan demikian, Kami diyakini akan menjaga bangunan tersebut tetap kokoh dan terlindungi.
3. Tantangan Teknologi Konstruksi Zaman Kuno
Pada zaman dahulu, teknologi konstruksi di Jepang masih sangat terbatas. Pembangunan struktur besar sering kali menghadapi kegagalan, seperti dinding yang runtuh atau fondasi yang tidak stabil. Kondisi geografis Jepang yang rawan bencana alam seperti gempa bumi dan banjir memperparah situasi. Ketidakmampuan masyarakat untuk menjelaskan kegagalan ini secara ilmiah mendorong mereka mencari solusi melalui pendekatan spiritual.
Pengorbanan manusia dalam Hitobashira dianggap sebagai “penjamin” kesuksesan konstruksi. Misalnya, penguburan manusia di bawah fondasi dipercaya memperkuat struktur bangunan karena “jiwa” korban diyakini menjadi bagian dari bangunan itu sendiri.
4. Catatan Sejarah dan Legenda Kuno
Meskipun tidak ada bukti konkret dalam catatan arkeologi mengenai praktik Hitobashira, banyak legenda dan cerita rakyat yang mencatat praktik ini. Beberapa catatan menyebutkan bahwa Hitobashira sudah ada sejak Periode Kofun (250-538 M), ketika pembangunan makam besar memerlukan persembahan manusia untuk melindungi pemakaman para penguasa.
Dalam Nihon Shoki (日本書紀), buku sejarah tertua Jepang, tercatat beberapa kisah tentang pengorbanan manusia dalam proyek konstruksi, meskipun tidak disebutkan secara langsung sebagai Hitobashira. Hal ini menunjukkan bahwa praktik ini mungkin telah ada sebelum istilah “Hitobashira” digunakan secara spesifik.
5. Pengaruh Budaya dan Sosial
Pada masa feodal Jepang, kasta sosial sangat menentukan siapa yang menjadi korban dalam praktik Hitobashira. Orang-orang dari kasta rendah, budak, atau tawanan perang sering kali dipilih sebagai korban. Mereka dianggap sebagai bagian dari pengorbanan demi kemajuan masyarakat atau penguasa.
Selain itu, Hitobashira juga mencerminkan struktur masyarakat Jepang yang mengutamakan pengorbanan individu demi kepentingan kolektif. Konsep ini tetap relevan dalam budaya Jepang modern, meskipun tidak lagi dalam bentuk pengorbanan manusia, tetapi dalam nilai seperti kerja keras dan loyalitas kepada kelompok.
6. Simbolisme dalam Hitobashira
Hitobashira bukan hanya tentang pengorbanan fisik, tapi juga memiliki makna simbolis yang mendalam yaitu yang Pertama adalah penghubung dunia manusia dan roh. Pengorbanan manusia dianggap sebagai jembatan antara dunia manusia dan alam gaib, memastikan keberlanjutan hubungan yang harmonis.
Yang kedua adalah persembahan tertinggi. Mengorbankan nyawa manusia dianggap sebagai bentuk penghormatan terbesar kepada kami atau dewa pelindung.
7. Transformasi Praktik Hitobashira
Seiring berjalannya waktu, praktik Hitobashira mulai ditinggalkan terutama setelah masuknya pengaruh agama Buddha yang menentang pengorbanan manusia. Pada periode Edo (1603-1868), Hitobashira sudah dianggap sebagai bagian dari masa lalu, meskipun kisah-kisahnya terus diceritakan dalam legenda dan cerita rakyat.
Dengan modernisasi Jepang pada periode Meiji (1868-1912), kepercayaan kepada ritual semacam ini mulai terkikis dan praktik ini secara resmi dianggap ilegal. Namun, jejak Hitobashira tetap bertahan dalam budaya dan literatur Jepang sebagai pengingat akan sejarah kelam manusia dalam menghadapi kekuatan alam dan keterbatasan teknologi.
C. Mitos dan Kepercayaan di Balik Hitobashira
Praktik Hitobashira (人柱) tidak hanya sekadar pengorbanan manusia dalam konteks konstruksi, tetapi juga sarat dengan mitos dan kepercayaan yang mencerminkan pandangan spiritual masyarakat Jepang kuno. Berikut di bawah ini adalah penjelasan lebih detail mengenai mitos dan kepercayaan di balik Hitobashira:
1. Perlindungan Gaib untuk Struktur Bangunan
Salah satu kepercayaan utama yang mendasari Hitobashira adalah bahwa jiwa manusia yang dikorbankan akan menjadi pelindung gaib bagi bangunan tempat ia dikubur. Masyarakat kuno Jepang percaya bahwa kekuatan roh manusia memiliki kemampuan untuk menjaga bangunan dari keruntuhan atau kehancuran akibat bencana alam, seperti berikut ini:
A. Banjir.
Bendungan atau jembatan yang dibangun dengan tumbal Hitobashira diyakini dapat menahan aliran air yang deras.
B. Gempa.
Di negara yang sering dilanda gempa, Hitobashira dianggap sebagai cara untuk memastikan kestabilan fondasi bangunan.
C. Angin Kencang atau Topan.
Dinding dan kastil yang dilindungi oleh roh manusia dianggap mampu bertahan melawan angin kencang.
Dalam mitos ini, jiwa korban menjadi seperti penjaga tak kasat mata yang terus melindungi struktur dari bahaya fisik maupun spiritual.
2. Menenangkan Roh Penunggu Tempat (Chinju no Kami)
Banyak lokasi yang menjadi tempat pembangunan proyek besar dipercaya dihuni oleh roh atau kami tertentu, yang dikenal sebagai Chinju No Kami (鎮守の神). Kami ini sering kali dianggap sebagai penjaga alam atau penghuni asli dari lokasi tersebut.
Mitos menyatakan bahwa pembangunan suatu struktur besar seperti jembatan atau kastil akan “mengganggu” tempat tinggal kami tersebut. Jika Kami merasa tidak dihormati, mereka diyakini akan menyebabkan kegagalan dalam pembangunan atau bahkan menimbulkan bencana.
Untuk menenangkan Kami ini, pengorbanan manusia dianggap sebagai bentuk penghormatan. Jiwa manusia yang dikorbankan dipercaya akan menjadi “teman” Kami yang menjaga agar mereka tidak marah dan menghancurkan proyek.
3. Jiwa Manusia sebagai Fondasi Spiritual Bangunan
Dalam kepercayaan kuno Jepang, setiap bangunan dianggap memiliki “jiwa” atau esensi spiritual yang memerlukan media untuk bersemayam. Korban manusia yang dikubur di dalam struktur bangunan dipercaya memberikan “jiwa” ini, menjadikannya kokoh secara spiritual dan fisik.
Jiwa korban dianggap menyatu dengan bangunan, membuatnya lebih kuat daripada sekadar struktur material biasa. Jiwa ini juga dipercaya memberikan “keberuntungan” pada bangunan yang memastikan bahwa proyek tersebut akan bertahan lama dan berfungsi sebagaimana mestinya.
Kepercayaan ini mirip dengan konsep Tsukumogami (付喪神), yaitu roh yang menghuni benda-benda setelah berumur panjang. Namun, dalam kasus Hitobashira, roh manusia langsung ditanamkan sejak awal pembangunan.
4. Pengorbanan untuk Mencegah Kutukan
Beberapa mitos Hitobashira menyebutkan bahwa proyek konstruksi besar sering kali dihantui oleh kutukan, terutama jika tempat tersebut memiliki sejarah kelam atau pernah menjadi lokasi kejadian tragis. Lokasi dari tempat tersebut, di antaranya adalah lokasi bekas medan perang, tempat yang diyakini menjadi rumah arwah gentayangan, dan wilayah dengan legenda kutukan tertentu.
Hitobashira dilakukan sebagai cara untuk mencegah kutukan tersebut mempengaruhi proyek atau orang-orang yang bekerja di dalamnya. Dalam beberapa kasus, roh korban dianggap sebagai pelindung yang akan “melawan” roh jahat yang mungkin mengancam.
5. Pemilihan Korban sebagai Tumbal yang Berarti
Pemilihan korban dalam Hitobashira sering kali memiliki makna tersendiri. Berikut beberapa kepercayaan yang melatarbelakanginya, di antaranya yaitu:
A. Kesucian Jiwa Korban.
Wanita atau anak-anak sering dipilih karena diyakini memiliki jiwa yang murni dan lebih diterima oleh kami.
B. Hubungan Spiritual Korban dengan Lokasi.
Dalam beberapa kasus, korban adalah penduduk lokal yang dianggap memiliki ikatan spiritual kuat dengan lokasi tersebut.
C. Keikhlasan Korban.
Ada mitos yang menyebutkan bahwa pengorbanan yang dilakukan secara sukarela memiliki kekuatan spiritual lebih besar dibandingkan dengan pengorbanan paksa.
6. Mitos tentang Balasan dari Jiwa Korban
Meskipun Hitobashira dilakukan dengan tujuan melindungi bangunan, ada kepercayaan bahwa jiwa korban bisa berubah menjadi Onryou (怨霊) atau roh pendendam, jika mereka tidak diperlakukan dengan hormat. Beberapa mitos menyebutkan hal-hal, di antaranya yaitu:
A. Jika korban merasa tidak dihormati, bangunan tersebut akan mengalami kerusakan atau kehancuran.
B. Onryou bisa menghantui pekerja konstruksi atau pemilik bangunan.
C. Arwah korban akan menuntut pengorbanan lebih besar dari generasi ke generasi.
Untuk mencegah balas dendam roh, ritual penghormatan sering kali dilakukan setelah pengorbanan, seperti doa dan persembahan kepada roh korban.
7. Mitos Musim dan Waktu dalam Hitobashira
Dalam beberapa cerita rakyat, waktu pelaksanaan Hitobashira juga dianggap penting. Beberapa mitos menyebutkan bahwa yang pertama, waktu malam hari sering dilakukan untuk menghindari perhatian umum dan menenangkan roh korban secara lebih damai.
Yang kedua, pada musim gugur dianggap waktu terbaik untuk pengorbanan, karena transisi dari musim panas ke musim dingin diyakini sebagai momen di mana dunia manusia dan dunia roh lebih mudah terhubung.
D. Benarkah Hitobashira sebagai Perwujudan Tumbal Proyek?
Dalam konteks pembangunan besar, seperti bendungan atau kastil, tumbal proyek dengan menggunakan manusia menjadi simbol pengorbanan tertinggi. Salah satu contoh terkenal adalah Kastil Maruoka (丸岡城) di Prefektur Fukui.
Menurut legenda, ketika pembangunan kastil ini sering kali terganggu oleh dinding yang runtuh, seorang wanita bernama Oshizu rela menjadi korban dan dikubur di bawah fondasi dinding kastil. Setelah pengorbanannya, kastil berhasil diselesaikan, tetapi mitos mengatakan bahwa mata air yang muncul di sekitar kastil pada musim semi adalah tangisan Oshizu.
Contoh lain adalah pembangunan Jembatan Matsue Ohashi (松江大橋) di Prefektur Shimane. Legenda menyebutkan bahwa seorang pria menjadi korban Hitobashira agar jembatan tersebut tidak runtuh oleh banjir.
E. Urban Legend tentang Hitobashira
Meski praktik Hitobashira sudah tidak dilakukan sejak zaman modern, cerita-cerita urban legend yang terkait dengan ritual ini tetap hidup di masyarakat Jepang. Urban legend tentang Hitobashira sering kali mengaitkan bangunan tua, jembatan, atau kastil tertentu dengan kisah-kisah mengerikan tentang pengorbanan manusia.
Cerita-cerita ini memperkuat aura mistis seputar bangunan tersebut yang menciptakan ketegangan antara mitos dan kenyataan. Berikut di bawah ini adalah beberapa urban legend terkenal dan detail yang melingkupinya:
1. Kastil Maruoka dan Legenda Oshizu
Kastil Maruoka (丸岡城) di Prefektur Fukui adalah salah satu kastil tertua di Jepang dan menjadi subjek urban legend terkait Hitobashira. Dalam legenda ini, seorang wanita bernama Oshizu yaitu ibu tunggal yang miskin, dikorbankan sebagai tumbal untuk memperkuat fondasi kastil.
Dikisahkan zaman dulu pembangunan Kastil Maruoka terus gagal karena tembok-temboknya runtuh berulang kali. Untuk menyelesaikan proyek, seorang peramal menyarankan agar seorang manusia dikorbankan. Oshizu menawarkan dirinya demi masa depan anak-anaknya, dengan syarat bahwa keluarganya akan diberikan perhatian khusus oleh pemerintah.
Setelah pengorbanan Oshizu, kastil berhasil dibangun. Namun, pemerintah melupakan janjinya kepada keluarga Oshizu dan menyebabkan rohnya menjadi Onryou atau roh pendendam. Legenda mengatakan bahwa tangisan Oshizu dapat didengar di sekitar kastil setiap musim semi, ketika air dari mata air yang mengalir di bawah kastil meluap. Air ini dikenal sebagai Shimizu No Tanuki (清水のたぬき) yang diyakini berasal dari air mata Oshizu.
Urban legend ini masih hidup hingga sekarang dengan banyak pengunjung kastil melaporkan mendengar suara tangisan atau merasakan hawa dingin yang tiba-tiba.
2. Jembatan Kintai dan Korban Tak Bernama
Jembatan Kintai (錦帯橋) berada di Prefektur Yamaguchi dan menjadi salah satu jembatan kayu paling terkenal di Jepang juga dikaitkan dengan kisah Hitobashira. Dari urban legend yang dikabarkan di sana menjadikan adanya arwah sungai.
Dikisahkan selama pembangunan jembatan pada zaman Edo, struktur kayu yang rumit sering kali gagal bertahan melawan arus deras Sungai Nishiki. Seorang biksu lokal menyarankan agar seorang gadis muda dikorbankan ke sungai untuk menenangkan roh air yang mengamuk.
Setelah pengorbanan dilakukan, jembatan akhirnya berhasil dibangun. Namun, banyak penduduk setempat mengklaim bahwa pada malam tertentu, bayangan seorang gadis terlihat berjalan di atas jembatan. Bayangan gadis ini disebut-sebut sebagai arwah sungai. Ia terlihat memandangi air sungai dengan sedih. Beberapa pengendara sepeda motor atau mobil bahkan melaporkan melihat sosok ini berdiri di tengah jembatan, yang menghilang saat didekati.
3. Urban Legend Tokyo Tower dan Tumbal Tak Terlihat
Tokyo Tower adalah simbol modernisasi Jepang, tapi terdapat urban legend yang mengaitkannya dengan praktik Hitobashira. Dikisahkan sebuah legenda mengatakan bahwa pembangunan Tokyo Tower menghadapi serangkaian insiden misterius, termasuk keruntuhan sebagian struktur selama konstruksi. Beberapa pekerja tewas dalam kecelakaan ini dan sebagian besar korban adalah pekerja konstruksi muda.
Penduduk lokal percaya bahwa para korban ini secara tidak langsung menjadi “Hitobashira modern” yang jiwa mereka membantu menyelesaikan pembangunan menara. Hingga hari ini, beberapa orang mengklaim mendengar suara-suara aneh di malam hari atau melihat bayangan pekerja di sekitar area menara. Meski tidak ada bukti nyata bahwa tumbal manusia disengaja, legenda ini tetap menjadi bagian dari cerita menyeramkan tentang Tokyo Tower.
4. Bendungan Komatsu dan Kisah Anak Hilang
Bendungan Komatsu di Prefektur Ishikawa memiliki urban legend yang mengerikan tentang Hitobashira yang melibatkan seorang anak kecil. Dikisahkan saat bendungan ini dibangun pada awal abad ke-20, salah satu insinyur mengusulkan pengorbanan manusia untuk memastikan stabilitas bendungan. Seorang gadis muda dari desa sekitar hilang secara misterius, dan penduduk desa mencurigai bahwa ia telah menjadi korban Hitobashira.
Hingga kini, beberapa warga melaporkan mendengar suara tangisan anak di sekitar bendungan pada malam hari dan kemunculan hantu anak. Ada juga yang mengaku melihat bayangan seorang anak kecil berdiri di tepi bendungan, memandang ke air dengan tatapan kosong.
5. Tumbal Proyek Pembangunan Stasiun Kereta Api Osaka
Stasiun Kereta Api Osaka adalah salah satu stasiun tersibuk di Jepang, tapi urban legend mengaitkannya dengan praktik Hitobashira modern. Dikisahkan selama pembangunan stasiun pada awal abad ke-20, dilaporkan bahwa beberapa pekerja tewas karena kecelakaan konstruksi. Cerita-cerita setempat menyebutkan bahwa kematian mereka disengaja dan menjadi bagian dari Hitobashira modern untuk memastikan fondasi stasiun kokoh.
Hingga kini, beberapa pengunjung stasiun melaporkan mengalami fenomena supranatural yaitu merasakan hawa dingin yang tiba-tiba atau mendengar suara langkah kaki di lorong-lorong kosong pada malam hari. Stasiun ini juga memiliki reputasi sebagai tempat “berhantu”, meskipun tidak ada bukti nyata tentang pengorbanan manusia selama pembangunannya.
6. Menara Tsutenkaku dan Roh Pendendam
Menara Tsutenkaku di Osaka merupakan simbol budaya lokal dan juga dikaitkan dengan legenda Hitobashira. Dikisahkan selama renovasi menara pada awal abad ke-20, seorang pekerja tewas setelah jatuh dari ketinggian. Penduduk setempat percaya bahwa kematiannya bukan kecelakaan, melainkan pengorbanan yang disengaja untuk memastikan kelangsungan proyek.
Beberapa pengunjung melaporkan melihat bayangan seorang pria di puncak menara pada malam hari. Bayangan ini dikatakan melompat dan menghilang. Kejadian ini mencerminkan tragedi yang pernah terjadi di tempat itu.
7. Relokasi Kuil Goshinji dan Hitobashira Terselubung
Kuil Goshinji (護神寺) di Nagasaki memiliki sebuah kisah tentang relokasi kuil pada akhir periode Edo. Dikisahkan lokasi baru kuil diyakini berada di tanah yang “tidak stabil” secara spiritual, sehingga pembangunan kembali bangunan utama terus mengalami kendala. Seorang wanita dari desa setempat dilaporkan menghilang selama proyek ini, memunculkan spekulasi bahwa ia menjadi korban Hitobashira.
Setelah pembangunan selesai, beberapa penduduk desa melaporkan mengalami fenomena supranatural yaitu melihat wanita berpakaian kimono putih berjalan di halaman kuil saat senja. Beberapa juga melaporkan mendengar doa lirih di tempat yang sepi.
F. Hitobashira dalam Perspektif Modern
Meskipun praktik Hitobashira telah lama ditinggalkan, kisah-kisahnya tetap hidup dalam budaya populer Jepang, seperti di dalam drama, film, dan literatur. Hitobashira kini lebih dipandang sebagai simbol sejarah kelam yang mencerminkan ketakutan manusia terhadap alam dan kepercayaan pada kekuatan gaib.
Di sisi lain, konsep Hitobashira sering menjadi metafora dalam dunia modern untuk menggambarkan pengorbanan individu demi kepentingan masyarakat atau proyek besar. Misalnya, pekerja yang mengalami cedera atau kehilangan nyawa dalam proyek pembangunan sering disebut sebagai “tumbal proyek”.
G. Pengaruh Hitobashira pada Budaya Populer
Hitobashira sering diadaptasi dalam berbagai karya seni dan hiburan. Berikut adalah beberapa contoh dari hasil pengaruhnya dalam budaya populer:
1. Film dan Anime: Banyak karya horor Jepang yang terinspirasi oleh kisah Hitobashira, seperti anime “Mononoke” yang mengeksplorasi tema roh dan pengorbanan.
2. Literatur: Novel dan cerita pendek yang berlatar Jepang kuno sering memasukkan elemen Hitobashira untuk memberikan nuansa mistis dan menegangkan.
3. Permainan Video (video game): Game horor seperti “Fatal Frame” menggunakan konsep Hitobashira untuk menciptakan suasana seram.
Hitobashira adalah bagian dari sejarah dan budaya Jepang yang mencerminkan kepercayaan spiritual dan hubungan manusia dengan alam. Meskipun praktik ini sudah lama dihentikan, kisah-kisahnya terus hidup sebagai bagian dari warisan budaya dan mitos Jepang.
Praktik yang dulu diyakini sebagai bentuk perlindungan dan penghormatan kini menjadi pengingat tentang harga yang harus dibayar atas ambisi besar manusia. Melalui cerita, mitos, dan urban legend, Hitobashira mengingatkan kita akan pengorbanan yang dilakukan oleh manusia di masa lalu demi kemajuan dan perlindungan komunitas mereka.
Nah, segitu aja yang bisa Pandai Kotoba berikan mengenai Hitobashira yang kisah dan sejarahnya bikin bulu kuduk merinding. Setelah membaca sampai habis, kira-kira di negara kita punya konsep yang sama dengan kisah ini gak ya? Kalau dari kata orang-orang sih ada hehe… Percaya atau tidaknya dengan ini, kembali ke kepercayaan masing-masing ya.
Jika Minasan ingin baca tentang budaya Jepang lagi, Pandai Kotoba punya banyak artikel lho. Salah satunya ada ini nih: Kyuudou, Panahan Tradisional Jepang. Klik untuk membacanya ya. Sampai jumpa di artikel selanjutnya!