Furikake, Taburan yang Gurih Pelengkap Kuliner Jepang
Hai Minasan~! Dalam dunia kuliner, ada bahan-bahan yang meskipun sederhana, tapi punya kekuatan untuk mengubah secara total sebuah hidangan secara instan. Di Jepang, salah satu keajaiban kuliner semacam itu adalah furikake. Bukan sembarang bumbu tabur, furikake adalah gerbang pembuka menuju rasa umami yang nikmat, cerita tentang sejarah kulinernya yang unik, dan kecerdasan rasa yang telah memikat seluruh dunia.
Sepiring nasi putih kita yang masih hangat dan harum. Dalam keadaan polos tersebut, nasi ini sudah enak, tapi rasanya masih netral. Kemudian, kita menaburkan secukupnya furikake yang merupakan campuran serpihan ikan, wijen, rumput laut, gula, garam, dan msg. Seketika, nasi itu berubah. Setiap suapannya kini penuh dengan sensasi, seperti gurih, asin, sedikit renyah, dan aroma laut yang menggugah selera.
Berangkat dari kenikmatan tersebut, Pandai Kotoba pada artikel kali ini membahas furikake sang taburan yang gurih pelengkap kuliner Jepang mulai dari penjelasan furikake seperti apa, makanan Jepang apa saja yang ditaburi furikake, bagaimana asal-usulnya, hingga alasan orang Jepang menyukai taburan ini. Tak perlu berlama-lama lagi, yuk kita simak di bawah ini.

commons.wikimedia.org
Furikake, Taburan yang Gurih Pelengkap Kuliner Jepang
A. Apa Sebenarnya Furikake Itu?
Secara harfiah, “furikake” (振り掛け) berasal dari kata kerja “furu” (振る) yang berarti “menaburkan” dan “kakeru” (掛ける) yang berarti “menuangkan” atau “membubuhkan”. Jadi, furikake adalah “sesuatu yang ditaburkan” di atas makanan.
Furikake adalah campuran bumbu kering yang dirancang khusus untuk ditaburkan di atas nasi. Komposisinya sangat beragam, tetapi elemen-elemen dasarnya biasanya mencakup:
1. Sumber Umami.
Ini adalah intinya. Bahan seperti serpihan bonito (katsuobushi), serpihan sardine (niboshi), atau salmon memberikan rasa gurih yang mendalam.
2. Rumput Laut (Nori).
Memberikan aroma khas laut, rasa asin ringan, dan tekstur yang unik.

ichikawaen.co.jp
3. Biji Wijen (Goma).
Menambah aroma sangrai dan kerenyahannya.
4. Rasa Asin dan Manis.
Berasal dari garam, shoyu (kecap Jepang), dan gula atau mirin digunakan untuk menyeimbangkan rasa.
5. Pelengkap Rasa.
Bahan lain seperti bubuk teh hijau, bubuk plum (ume), shiso (herba aromatik), atau bahkan sayuran kering seperti bayam atau wortel bisa ditambahkan untuk menciptakan variasi rasa.
Teksturnya pun beragam, mulai dari yang halus seperti bubuk hingga yang kasar dengan potongan-potongan besar yang memberikan pengalaman mengunyah yang menyenangkan.
B. Furikake dalam Keseharian Kuliner Jepang
Furikake selain menjadi bumbu, tapi juga “alat transformasi instan” yang memungkinkan ibu rumah tangga, para profesional, dan bahkan anak-anak untuk dengan cepat menciptakan hidangan yang lezat, bergizi, dan menarik secara visual. Berikut di bawah ini adalah penjelasan mendalam tentang peran furikake di berbagai konteks kuliner Jepang dan apa saja yang ditaburkan furikake.
1. Onigiri (Nasi Kepal)
Onigiri adalah contoh sempurna dari keterlibatan antara nasi dan furikake. Penggunaannya di sini sangatlah cocok. Furikake dicampur merata ke dalam nasi sebelum nasi tersebut dibentuk. Ini memastikan setiap gigitan memiliki distribusi rasa yang konsisten. Bayangkan onigiri dengan furikake rasa salmon yang memberikan warna oranye kemerahan dan rasa gurih di seluruh bagian, atau furikake rasa plum (ume) yang memberikan keasaman menyegarkan.

recipe.rakuten.co.jp
Onigiri yang tanpa rasa ini dibentuk terlebih dahulu, lalu digulungkan atau dibalurkan ke dalam furikake. Metode ini menciptakan kontras yang menarik, yaitu nasi yang tawar dan lembut di dalam, dilapisi oleh ledakan rasa dan tekstur renyah di luar. Teknik ini juga membantu agar nasi tidak lengket di tangan.
Lalu, dengan berbagai warna dari nori (hijau tua), telur kering (kuning), atau wijen (hitam), furikake membantu membedakan isi onigiri yang berbeda dalam satu kotak bekal. Jadilah sebuah onigiri dengan taburan furikake berbiji wijen putih dan kuning bisa menandakan isi tuna mayo, sementara yang berwarna merah muda (dari bubuk shiso atau plum) menandakan isi plum.
2. Ochazuke, Comfort Food yang Diperkaya Rasa
Ochazuke adalah hidangan penenang yang terdiri dari nasi dengan teh hijau, dashi, atau air panas yang dituangkan di atasnya. Furikake memainkan peran ganda di sini. Sebelum kuah dituangkan, gundukan furikake diletakkan di atas nasi. Saat kuah panas menyentuhnya, furikake melepaskan rasa umami, asin, dan minyak alaminya secara perlahan, membumbui seluruh kuah dari dalam. Rasa kaldu dari katsuobushi dan manisnya nori menyatu dengan teh atau dashi, menciptakan sup yang kompleks.

recipe.rakuten.co.jp
Furikake di ochazuke juga sebagai pemberi tekstur. Di tengah kelembutan nasi dan kuah, biji wijen yang renyah dan serpihan ikan yang sedikit kenyal memberikan pengalaman indrawi yang sangat memuaskan. Setiap suapan adalah perpaduan antara lembut, berkuah, dan renyah.
3. Tamagoyaki (Omelet Gulung Jepang), Lapisan Kejutan
Dalam seni membuat tamagoyaki, furikake digunakan untuk menambahkan dimensi rasa yang tak terduga. Setelah satu lapisan telur dituang dan hampir matang, taburi furikake secara merata di atasnya sebelum mulai menggulung. Proses ini diulangi untuk setiap lapisan baru. Hasilnya, ketika tamagoyaki dipotong, kita akan melihat pola spiral atau marmer yang indah dari furikake di setiap irisannya. Rasa asin dan gurih furikake memotong rasa manis alami dari telur, menciptakan keseimbangan yang sempurna.
Untuk versi yang lebih sederhana, furikake bisa langsung dicampurkan ke dalam adonan telur sebelum dimasak. Meski tidak menghasilkan pola yang sama, metode ini tetap memberikan rasa yang merata dan cocok untuk sarapan yang cepat.
4. Atsuage dan Yakizakana (Makanan Goreng & Bakar) Jadi Bumbu Akhir yang Sempurna
Furikake berfungsi sebagai “finishing touch” yang brilian untuk hidangan protein sederhana. Atsuage (tahu goreng tebal) ini berupa sepotong tahu goreng yang masih hangat dan garing di luar, ditaburi furikake (misalnya yang kaya akan nori dan biji wijen). Furikake akan menempel pada permukaan tahu yang sedikit berminyak, memberikan rasa dan tekstur yang melengkapi kelembutan tahu di dalamnya.

recipe.rakuten.co.jp
Lalu, Yakizakana (ikan bakar) adalah ikan bakar seperti salmon atau saba (makarel) sering kali hanya dibumbui dengan garam. Menaburkan furikake di atasnya sesaat sebelum disajikan menambah kompleksitas rasa, terutama yang mengandung yuzu atau rasa citrus lainnya, yang dapat memotong rasa amis ikan.
5. Gohan (Nasi) Khusus yang Menciptakan Hidangan Sederhana dari Satu Panci
Ini adalah salah satu penggunaan furikake yang paling praktis dan populer di rumah tangga. Untuk furikake gohan, cukup campurkan satu atau dua sendok makan furikake favorit ke dalam nasi putih yang baru matang dan aduk hingga rata. Dalam sekejap, kita memiliki hidangan nasi yang beraroma dan lezat. Ini adalah solusi sempurna ketika lauk terbatas atau untuk makan siang yang cepat.

cookpad.com
Lalu, untuk nasi goreng instan, furikake bisa menjadi pengganti garam dan bumbu lainnya saat membuat nasi goreng. Cukup dengan telur, nasi, dan furikake, kita bisa membuat nasi goreng ala Jepang yang gurih dan sederhana.
6. Pasta dan Salad, Fusion ala Jepang yang Natural
Dengan globalisasi, furikake menemukan pasar barunya dalam hidangan non-Jepang. Untuk pasta furikake, taburkan furikake di atas pasta aglio e olio atau pasta dengan mentega dan kecap asin. Rasa umami dari furikake (terutama yang mengandung katsuobushi) bekerja seperti keju parmesan ala Jepang yang memberikan rasa gurih dan asin yang mendalam.

recipe.rakuten.co.jp
Untuk salad dan sup, gunakan furikake sebagai pengganti crouton pada salad. Ia menambahkan sensasi renyah dan ledakan rasa umami. Bisa juga ditaburkan di atas sup miso atau sup krim untuk menambah dimensi tekstur dan rasa.
7. Camilan dan Aplikasi Modern yang Melampaui Batas
Kreativitas tidak berhenti di makanan utama ini. Untuk popcorn furikake, lelehan mentega pada popcorn menjadi perekat yang sempurna untuk furikake. Rasa gurih, manis, dan asin dari furikake menciptakan profil rasa yang unik dan adiktif, jauh berbeda dari popcorn rasa keju atau karamel.
Furikake juga bisa sebagai bumbu marinasi atau pelapis. Furikake yang digiling halus dapat dicampur dengan tepung untuk melapisi ayam atau ikan sebelum digoreng, memberikan lapisan kulit yang penuh rasa. Bisa juga dicampur dengan mayo atau yogurt untuk membuat saus celup yang gurih.

marumiya.co.jp
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa furikake telah berevolusi banyak dari awalnya hanya “teman nasi” menjadi “bahan masak serba bisa”. Hal ini jadi jembatan antara tradisi dan modernitas, antara kesederhanaan dan kompleksitas rasa. Kemampuannya untuk beradaptasi dan meningkatkan hampir semua jenis hidangan inilah yang membuatnya tetap relevan dan dicintai, tidak hanya di Jepang tapi juga oleh pencinta kuliner di seluruh dunia. Furikake membuktikan bahwa dalam dunia kuliner ini, hal-hal kecil sering membawa dampak yang paling besar.
C. Jiwa dari Furikake adalah Umami
Kisah penemuan umami dimulai pada tahun 1908 di laboratorium Profesor Kikunae Ikeda di Universitas Imperial Tokyo. Sebagai seorang ahli kimia yang juga pencinta masakan, beliau sering kali terganggu oleh sebuah pertanyaan filosofis tentang kuliner seperti “Apa rasa dasar dari kaldu dashi kombu yang menjadi fondasi begitu banyak masakan Jepang?”
Rasanya bukan asin, meski ada garam. Bukan manis, asam, atau pahit. Rasanya yang berbeda ini yang rasanya “berisi”, “memuaskan”, dan “membuat air liur berlebih” yang membuat kita ingin terus makan. Suatu hari, setelah menikmati semangkuk tahu panas dengan kaldu kombu dashi, istrinya menuangkan air teh hijau ke atasnya. Ikeda terkejut karena rasa kaldu kombunya tidak hilang, malah tetap terasa kuat. Ini meyakinkannya bahwa ada suatu zat yang stabil dan kuat di dalam kombu.

Dengan ketekunan seorang ilmuwan, Ikeda mulai mengekstrak dan mengkristalisasi komponen-komponen dalam kombu. Setelah penelitian yang melelahkan, beliau berhasil mengisolasi kristal-kristal putih yang menjadi kunci rasa tersebut menjadi asam glutamat, sebuah asam amino yang merupakan blok pembangun protein. Ia menyadari bahwa asam glutamat ini, dalam bentuk bebasnya (tidak terikat dalam protein panjang) yang bertanggung jawab untuk merangsang rasa mendasar yang dia cari-cari.
Ikeda pun menamainya. Dia menyuling kata “umai” (うまい) yang berarti “gurih” atau “lezat”, dan “mi” (味) yang berarti “rasa”. Maka lahirlah istilah “umami” yaitu rasa lezat yang mendasar.
Namun, penemuan Ikeda tidak berhenti di teori. Seorang visioner, dia ingin membawa umami ke meja makan setiap orang. Dia mengembangkan metode untuk menstabilkan asam glutamat dalam bentuk garam, menciptakan monosodium glutamat (MSG), dan mematenkannya dengan merek Aji no Moto. Inovasi ini yang kemudian memungkinkan produksi massal furikake dan banyak bumbu lainnya, membuat rasa umami yang dahulu hanya ada dalam kaldu rumit, kini menjadi mudah diakses.
D. Asal-Usul dari Mana Furikake
Setelah kita mengetahui banyak kegunaan dan masakan Jepang apa saja yang menggunakan taburan furikake, tidak lengkap rasanya kalau kita tidak mengulik asal-usul dari mana furikake berasal. Perjalanan furikake merupakan evolusi rasa dan juga cerminan dari perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi Jepang itu sendiri. Setiap tahap perkembangannya menandai babak dalam sejarah modern negara tersebut. Yuk, kita lanjut lagi di bawah ini.
1. Akar Pra-Modern, Benih-Benih Ide di Zaman Edo (1603-1868)
Meskipun furikake dalam bentuk kemasannya yang modern baru lahir di era Taisho, filosofi untuk “menaburkan sesuatu di atas nasi” telah ada sejak berabad-abad sebelumnya. Pada zaman Edo, ketika masyarakat Jepang menikmati masa damai dan stabilitas, budaya kuliner mulai berkembang.
Orang-orang pada masa itu sudah membuat semacam furikake paling awal yang sederhana, seperti:
– Tanegoma (種ごま).
Wijen yang ditumbuk kasar dengan garam. Teksturnya yang renyah dan rasa gurihnya yang sederhana membuatnya menjadi topping nasi yang populer.

sakata-netshop.com
– Yakumi (薬味).
Bumbu-bumbu aromatik seperti shiso (daun perilla), myoga (jahe Jepang), dan negi (daun bawang) yang dicincang halus untuk menyegarkan dan menambah rasa pada nasi dan mie.
– Furukake (古掛け).
Beberapa referensi menyebutkan bubuk dari katsuobushi yang ditumbuk dengan kedelai yang sudah difermentasi (miso atau shoyu).
Bahan-bahan ini digunakan secara terpisah. Gagasan untuk mencampurkannya menjadi satu produk yang bersatu padu belum muncul. Nasi ibarat masih menjadi “kanvas” dan berbagai bumbu ini adalah “cat” yang dipilih secara terpisah.
2. Kelahiran Sang “Bapak Furikake Modern”: Suekichi Yoshimaru dan Gohan no Tomo
Lompatan besar terjadi pada era Taisho (1912-1926), sebuah periode yang dikenal dengan semangat modernisme dan demokrasi. Konteks sosial saat itu sangat krusial, yaitu Jepang sedang menghadapi masalah kekurangan gizi yang serius, khususnya defisiensi kalsium yang menyebabkan penyakit seperti rakitis.
Seorang apoteker dari kota Kumamoto, Suekichi Yoshimaru menyadari masalah ini. Dengan latar belakangnya di bidang farmasi, ia mendekati masalah tersebut bukan dari sudut pandang koki, tapi dari sudut pandang nutrisi dan kesehatan masyarakat. Ia mencari cara yang praktis dan enak untuk menambah asupan kalsium penduduk.
Inspirasinya datang dari bahan lokal yang melimpah, yaitu ikan kecil. Yoshimaru memiliki ide brilian seperti menggiling tulang ikan kecil hingga halus, lalu mencampurkannya dengan biji wijen yang kaya minyak sehat dan garam sebagai pengawet dan penyedap rasa. Campuran ini kemudian dipanggang.

futabaen.net
Pada tahun 1922, ia mulai menjual produknya dengan nama “Gohan no Tomo” (ご飯の友) yang secara harfiah berarti “Teman Nasi”. Nama ini sangat tepat karena mencerminkan fungsinya adalah sebuah pendamping yang setia untuk setiap mangkuk nasi. Inovasi Yoshimaru terletak pada tujuan kesehatan yang jelas. Ini adalah suplemen kalsium yang disamarkan sebagai bumbu makanan.
Dijual dalam kemasan praktis yang mudah digunakan dan disimpan. Konsepnya “All-in-One”, salah satu produk pertama yang menggabungkan beberapa bahan kering menjadi satu campuran yang luar biasa, khusus ditujukan untuk nasi. “Gohan no Tomo” diakui sebagai furikake komersial pertama di Jepang dan Yoshimaru pun dikenang sebagai “Bapak Furikake”.
3. Masa Perang, Furikake sebagai Logistik Tempur
Periode Perang Dunia II menjadi babak kelam tapi penting dalam sejarah furikake. Pemerintah Jepang menyadari nilai gizi dan kepraktisan produk ini. Mereka membutuhkan makanan yang tahan lama untuk disimpan dan dikirim ke garis depan, bergizi tinggi untuk menjaga kondisi fisik tentara. Mudah dibawa dan tidak memerlukan persiapan rumit, serta dapat membuat nasi polos yang seringnya membosankan menjadi lebih enak.
Furikake menjawab semua kebutuhan ini dengan sempurna. Pemerintah kemudian memproduksi furikake secara massal dengan formula yang lebih sederhana dan murah untuk dijatahkan kepada tentara. Pada masa ini, furikake benar-benar berubah dari “teman nasi” menjadi “makanan bertahan hidup”. Pengalaman tentara yang terbiasa dengan furikake selama perang membuat produk ini semakin melekat dalam ingatan kolektif dan budaya makan masyarakat Jepang pasca perang.
4. Booming Pasca Perang, Era Kemakmuran dan Inovasi
Pasca kekalahan Jepang dalam perang, negara ini memasuki era rekonstruksi dan kemudian pertumbuhan ekonomi yang pesat pada era Showa (pasca 1945). Dengan meningkatnya kemakmuran dan berkembangnya industri makanan, furikake mengalami revolusi rasa dan pemasaran. Faktor-faktor pendorongnya adalah:
A. Kemajuan Teknologi Pangan.
Teknik pengeringan, pembekuan, dan pengemasan yang lebih baik memungkinkan produsen memasukkan bahan-bahan yang lebih beragam dan berkualitas, seperti potongan nori yang lebih besar, serpihan telur kering (tamago furikake), dan sayuran kering.
B. Kompetisi Pasar.
Banyak perusahaan mulai bersaing menciptakan varian rasa baru. Muncul rasa-rasa ikonik seperti rasa salmon, rasa plum asam (ume), dan rasa kepiting mentah (kani).

marumiya.co.jp
C. Pemasaran ke Keluarga Muda.
Iklan-iklan mulai menyasar ibu rumah tangga modern dan anak-anak. Furikake diposisikan sebagai cara cepat dan mudah untuk membuat bekal sekolah atau bento anak menjadi lebih menarik dan bergizi. Karakter anime dan manga yang populer mulai menghiasi kemasan furikake, memperkuat daya tariknya pada anak-anak.
D. Penambahan MSG.
Setelah perang, penggunaan MSG yang ditemukan oleh Ikeda menjadi semakin luas. Penambahan MSG ke dalam formula furikake membuat rasanya menjadi lebih “ngetren” dan bikin candu, sekaligus menurunkan biaya produksi karena tidak perlu menggunakan bahan baku ikan atau rumput laut berkualitas tinggi dalam jumlah besar.
5. Era Modern, Furikake sebagai Ekspresi Diri Kuliner
Hari ini di abad ke-21 furikake telah melampaui statusnya sebagai bumbu praktis. Taburan gurih ini telah menjadi medium kreativitas kuliner. Banyak pengusaha kecil dan restoran mewah menciptakan furikake premium dengan bahan-bahan eksklusif, seperti truffle, yuzu langka, atau ikan pilihan.
Kemudian, kembali ke akarnya, kini banyak furikake yang menekankan klaim kesehatan seperti “rendah sodium”, “tanpa MSG”, “organik”, atau “kaya serat”. Selain itu, seperti yang telah dibahas, furikake kini digunakan dalam hidangan non-Jepang yang menandakan bahwa ia telah menjadi bumbu global.
E. Mengapa Orang Jepang Sangat Suka dengan Furikake?
Furikake adalah cerminan kejepangan yang mewujudkan nilai-nilai inti seperti kepraktisan, harmoni, transformasi, dan kokoro atau hati/perasaan. Berikut di bawah ini penjelasan lebih lengkapnya lagi.
1. Prinsip Kansou (簡素) – Kesederhanaan dan Kepraktisan
Orang Jepang menghargai efisiensi dan solusi elegan untuk masalah sehari-hari. Furikake adalah puncak dari prinsip ini. Nasi putih atau “hakumai” adalah lambang kesederhanaan. Rupanya polos, netral, dan sedikit membosankan jika dikonsumsi sendiri. Furikake hadir sebagai “sihir” yang luar biasa. Usaha minimal dengan hanya taburan yang biasa menjadi luar biasa.
Ini selaras dengan budaya kerja Jepang yang sibuk. di mana waktu menyiapkan makanan sering terbatas. Furikake menghilangkan kebutuhan untuk memasak lauk-pauk yang rumit, tapi tetap memberikan kepuasan rasa yang lengkap.
Dalam estetika Jepang, ada konsep untuk menemukan keindahan dalam gerakan yang paling efisien (minimum effort, maximum impact). Tindakan menabur furikake adalah gerakan yang sederhana, anggun, dan sangat efektif. Hal ini menghormati waktu dan tenaga penggunanya.
2. Prinsip Wa (和) – Harmoni dan Keseimbangan
Wa (和) adalah fondasi masyarakat Jepang dan hal ini tercermin dalam piring mereka. Furikake dirancang untuk menciptakan harmoni bukan dominasi. Komposisi furikake klasik adalah sebuah instrumen makanan yang seimbang. Gurih (umami) dari katsuobushi dan nori, asin dari garam atau shoyu, manis dari mirin atau gula, dan pahit atau pedas dari biji wijen atau sesekali shiso. Tidak ada satu rasa yang mendominasi, semuanya bekerja sama untuk menciptakan pengalaman rasa yang bulat dan memuaskan.
Selain itu, furikake tidak dimaksudkan untuk menenggelamkan rasa nasi. Sebaliknya, taburan gurih dirancang untuk meningkatkan dan melengkapi kelembutan dan aroma alami nasi. Nasi tetap menjadi “panggung”, sedangkan furikake adalah ibarat “penari” yang memperindah panggung tersebut. Hubungan mutualisme ini adalah esensi dari Wa.
3. Prinsip Kodomo no Tame ni (子供のために) – Demi Anak-Anak
Prinsip ini adalah filosofi yang sangat emosional dan mendalam. Furikake adalah alat pedagogis dan nutrisi yang disamarkan. Bagi anak Jepang, furikake adalah pengenalan pertama mereka pada rasa umami yang kompleks. Setiap butir nasi yang ditaburi adalah pelajaran tentang rasa laut dari nori atau katsuobushi, rasa bumi dari wijen, dan rasa asin-manis. Ini membentuk memori panca indra mereka tentang “rasa rumah” atau “furusato no aji”.

ameblo.jp
Secara psikologi warna dan bentuk, nasi putih ibaratnya kanvas kosong. Furikake dengan warna-warninya yang cerah seperti hijau nori, merah salmon, kuning telur, hitam wijen, semuanya mengubah makan menjadi pengalaman yang menyenangkan dan visual. Ibu-ibu menggunakan ini untuk membujuk anak-anak yang pemilih makan. Varian furikake dengan karakter anime seperti Anpanman atau Hello Kitty memperkuat pendekatan ini dan mengubah kewajiban makan menjadi sebuah kegembiraan.
4. Prinsip Mottainai (勿体無い) – Menjauhi Pemborosan
Mottainai adalah rasa penyesalan yang mendalam terhadap pemborosan. Furikake dalam sejarahnya adalah produk dari filosofi ini. Awalnya, furikake dibuat dari sisa-sisa atau potongan kecil nori, serpihan katsuobushi yang tidak sempurna, atau ikan kecil yang tidak layak dijual utuh. Daripada membuangnya, bahan-bahan ini diolah, dikeringkan, dan diubah menjadi sesuatu yang bernilai tinggi, bergizi, dan lezat. Furikake adalah wujud dari upcycling tradisional.
Dengan mengeringkan bahan-bahan tersebut, furikake memiliki umur simpan yang panjang. Ini adalah cara cerdas untuk mengawetkan sumber daya makanan tanpa kulkas, menghormati setiap bahan yang telah disediakan oleh alam.
5. Prinsip Kokoro no Kometa (心を込めた) – Menuangkan Hati dan Perhatian
Furikake sering kali menjadi medium untuk menyampaikan perasaan. Dalam budaya Jepang, bekal makan siang (bento) adalah wadah bagi seorang ibu untuk mengekspresikan cintanya. Menaburkan furikake yang membentuk pola seperti bentuk bendera Jepang, bunga, atau hati di atas nasi adalah cara sederhana tapi penuh makna untuk mengatakan, “Ibu sayang Adik.” Ini menjadi sebuah perhatian kecil (kokoro no kometa) yang berbicara lebih keras daripada kata-kata.
Kemudia, bagi banyak orang Jepang dewasa, aroma dan rasa furikake tertentu dapat membangkitkan kenangan masa kecil yang hangat. Rasa furikake salmon tertentu mungkin mengingatkan mereka pada bekal yang dibawa untuk piknik sekolah. Rasa ini adalah comfort food dalam bentuk yang paling sederhana seperti “rasa nostalgia” atau “natsukashii aji” yang langsung membawa mereka pulang.
6. Prinsip Kachou Fuugetsu (花鳥風月) – Keindahan Alam dalam Hal Kecil
Konsep ini tentang mengapresiasi keindahan alam seperti bunga, burung, angin, dan bulan. Furikake, dalam komposisinya, adalah perwakilan miniatur dari alam Jepang. Sebuah kemasan furikake sering berisi laut (nori, katsuobushi, salmon) dan daratan (wijen, sayuran kering, garam). Setiap taburan adalah perjalanan singkat melalui potret kuliner Jepang. Cara seperti inilah untuk menikmati esensi alam dalam kehidupan sehari-hari yang serba cepat di perkotaan.
F. Cara Furikake Bisa Mendunia seperti Sekarang Ini
Perjalanan furikake dari rak dapur rumah tangga Jepang menjadi bumbu “pantry essential” di seluruh dunia adalah sebuah studi kasus yang menarik tentang globalisasi kuliner. Proses ini tidak terjadi dalam semalam, tetapi melalui beberapa gelombang dan faktor pendorong yang saling terkait.
1. Gelombang 1: Duta Besar Kuliner Jepang (The Ambassador Effect)
Penyebaran furikake tidak bisa dipisahkan dari gelombang popularitas masakan Jepang itu sendiri. Tahun 1980-an sampai 1990-an ketika sushi berubah dari hidangan eksotis menjadi makanan mainstream di kota-kota seperti New York, London, dan Sydney, orang tidak hanya jatuh cinta pada rasa ikan mentahnya. Mereka mulai mengenal dan menyukai elemen-elemen pendampingnya seperti kecap asin (shoyu), wasabi, acar jahe (gari), dan tentu saja, nori. Nori ini sebagai komponen utama furikake menjadi “gerbang masuk” pertama. Orang yang sudah menyukai nori pada sushi menjadi lebih terbuka untuk mencoba produk rumput laut lainnya.

magpictures.com
Kemudian, gelombang berikutnya tahun 2000-an dibawa oleh popularitas ramen, donburi (semangkuk nasi dengan topping), dan yakitori. Buku masak, acara TV seperti “Jiro Dreams of Sushi” dan dokumenter makanan turut memopulerkan filosofi dan teknik masak Jepang. Masyarakat global mulai memahami konsep umami sebagai rasa dasar kelima. Furikake yang merupakan “konsentrat umami dalam bentuk kering” menjadi jawaban bagi para home cook yang ingin mereplikasi rasa autentik Jepang di dapur mereka tanpa keahlian tingkat tinggi.
2. Gelombang 2: Revolusi Digital dan Food Influencer
Jika gelombang pertama memperkenalkan “rasa”, gelombang kedua ini memperkenalkan “kegunaan” furikake melalui lensa yang mudah dicerna dan divisualisasikan. Pada era ini era visual di Instagram, Pinterest, dan TikTok. Platform media sosial tersebut adalah penyebar terbesar bagi furikake. Makanan tidak hanya harus enak, tapi juga instagramable. Taburan gurih ini dengan warna-warninya yang cerah dan teksturnya yang menarik adalah ciri khas alaminya.
Bagi pengguna Instagram dan Pinterest ikut mengunggah foto Avocado Toast mereka yang ditaburi sedikit furikake wijen dan nori atau Buddha Bowl dengan nasi merah dari furikake shiso menjadi viral. Gambar-gambar ini menunjukkan bahwa furikake bisa melampaui nasi Jepang dan menjadi “finishing touch” untuk hidangan modern Barat.
Bagi pengguna TikTok dan YouTube Shorts, membuat video pendek yang menunjukkan “mukbang” (makan dalam porsi besar) onigiri, atau tutorial cepat membuat “furikake cheesy eggs” atau “furikake popcorn” menyebar dengan cepat. Algoritma platform ini memperkenalkan furikake kepada audiens muda yang mungkin belum pernah menginjakkan kaki di restoran Jepang. Konten yang mudah, cepat, dan estetis seperti ini menghilangkan kesan “asing” dari furikake.
3. Gelombang 3: Adaptasi dan Inovasi Produk
Agar benar-benar diterima, sebuah produk makanan harus beradaptasi dengan selera lokal. Ini yang dilakukan dengan brilian oleh para produsen. Perusahaan tidak hanya menjual furikake rasa klasik seperti salmon atau umeboshi. Mereka menciptakan varian yang lebih mudah diterima selera global dan non-Jepang. Ada rasa fusion, seperti Kimchi, Curry, Teriyaki, Buldogi. Lalu, ada rasa Barat Modernm seperti Keju, Tomato Herb, Garam dan Vinegar, bahkan Truffle. Selain itu, ada varian Kesehatan,s seperti Furikake rendah sodium, tanpa MSG tambahan, atau yang diperkaya dengan protein.
Di sisi lain, alih-alih hanya memasarkannya sebagai “Japanese rice seasoning“, banyak merek yang mulai menggunakan tagline seperti “All-Purpose Umami Seasoning“. Pergeseran bahasa ini sangat penting. Ia melepaskan furikake dari konteks eksklusif “makanan Jepang” dan memposisikannya sebagai bumbu serbaguna untuk segala masakan, seperti halnya garam atau lada.
4. Gelombang 4: Perubahan Gaya Hidup dan Pola Makan Global
Furikake tiba pada momen yang tepat, bersinggungan dengan beberapa tren gaya hidup global. Pertama, terjadi booming-nya pola makan vegetarian dan vegan: Furikake berbasis rumput laut dan biji-bijian (asalkan tidak mengandung katsuobushi) menjadi cara ajaib untuk menambah rasa “gurih” (umami) pada masakan vegan. Seorang vegan bisa menaburkan furikake nori di atas tahu, salad, atau nasi untuk mendapatkan sensasi rasa laut tanpa menggunakan produk hewani. Beberapa merek bahkan secara khusus membuat furikake “100% Plant-Based”.
Kedua, adanya tren makanan sehat dan bersih (clean eating). Sebagai produk yang terbuat dari bahan-bahan asli seperti ikan, rumput laut, dan wijen, furikake dipandang sebagai alternatif yang lebih sehat dan alami dibandingkan bumbu instan atau saus siap pakai yang penuh dengan pengawet dan perasa buatan.
Ketiga, ramainya home cooking dan meal prep. Terutama selama dan pasca pandemi, orang lebih banyak memasak di rumah. Furikake menjadi “senjata rahasia” para home cook untuk membuat makanan sederhana seperti nasi, telur, sayuran kukus yang terasa istimewa dengan cepat. Semuanya menjadi elemen sempurna untuk “meal prep“, karena tidak mudah basi dan bisa dibawa dengan mudah.
5. Gelombang 5: Jalan Raya Distribusi
Semua faktor di atas tidak akan berarti tanpa akses yang mudah. Pesatnya e-commerce dan Globalisasi Ritel. Kita tidak perlu lagi pergi ke toko khusus Asia. Furikake sekarang dapat ditemukan di:

id.my-best.com
– Supermarket mainstream seperti di bagian “International Aisle” di Walmart, Tesco, atau Carrefour.
– Toko makanan sehat, contohnya Whole Foods, Trader Joe’s (yang bahkan memiliki merek furikake sendiri), dan sejenisnya.
– Marketplace online, seperti Shopee, Tokopedia, Amazon, eBay, dan platform serupa di setiap negara memungkinkan siapa saja untuk membeli furikake impor dengan satu klik.
Dukungan juga dari selebriti kuliner dan chef ternama yang memuji dan menggunakan furikake dalam resep mereka memberikan “social proof” dan legitimasi yang kuat, yaitu mendorong konsumen biasa untuk mencobanya.
Furikake secara wujud hanya berupa taburan dalam botol kecil. Namun, taburan gurih ini membawa cerita yang besar. Ia adalah produk dari sejarah Jepang yang luar biasa, cerminan dari filosofi kuliner yang menghargai rasa alami, dan perwujudan nyata dari rasa umami yang mendalam.
Dari mangkuk nasi sederhana seorang anak sekolah di Kumamoto hingga dapur para chef bintang Michelin di New York atau Paris, furikake telah melakukan perjalanan panjang. Taburan gurih ini adalah simbol bagaimana sebuah rasa umami yang dapat melampaui batas-batas budaya, dibuktikan oleh sains, dan akhirnya disambut oleh seluruh dunia sebagai elemen rasa yang fundamental.
Jadi, yuk Minasan coba taburkan furikake di atas nasi atau hidangan lainnya, Rasakan setiap rasa gurih dan umaminya di setiap suapan makannya. Karena dalam setiap butir wijen dan setiap serpihan nori, terkandung kekuatan untuk mengubah yang biasa menjadi luar biasa!
Nah, cukup segitu yang bisa Pandai Kotoba berikan untuk artikel kali ini mengenai taburan furikake yang gurih pelengkap kuliner Jepang. Jika Minasan ingin tahu kuliner Jepang lainnya, di website ada banyak lho. Ada salah satu rekomendasinya nih: Karaage, Nikmatnya Gorengan Khas Jepang yang Renyah. Klik untuk membacanya ya.
Sampai jumpa di artikel selanjutnya!


