Otsukimi, Festival Melihat Bulan di Jepang pada Musim Gugur
Hai Minasan~! Di tengah kehidupan Jepang modern yang serba cepat, ada sebuah tradisi yang mengajak kita untuk sejenak berhenti, memandang langit, dan merenungi keindahan surgawi. Tradisi itu disebut Otsukimi (お月見) atau “Penghormatan pada Bulan”.
Bukan hanya festival biasa, Otsukimi adalah sebuah perwujudan filosofi, puisi yang hidup, dan jendela untuk memahami hubungan harmonis antara manusia, alam, dan siklus waktu dalam budaya Jepang. Pandai Kotoba pada artikel kali ini akan membahas otsukimi yang menjadi festival khas musim gugur mulai dari apa itu otsukimi, kapan dilaksanakannya, bagaimana asal-usulnya, hingga perkembangan otsukimi saat ini. Yuk, kita simak di bawah ini.

allabout.co.jp
Otsukimi, Festival Melihat Bulan di Jepang pada Musim Gugur
A. Apa Itu Otsukimi?
Otsukimi adalah tradisi Jepang untuk menikmati keindahan bulan purnama, khususnya yang muncul pada pertengahan musim gugur. Kegiatan utamanya sederhana: berkumpul di tempat yang memiliki pemandangan jelas ke langit timur, duduk bersila, dan memandang bulan sambil menikmati sajian khusus. Namun, di balik kesederhanaannya, tersimpan makna yang dalam.
Istilah Otsukimi sendiri terdiri dari kata honorifik “O” (お) dan “Tsukimi” (月見) yang artinya “melihat bulan”. Kegiatan ini bukan “melihat” biasa, tapi sebuah apresiasi yang penuh hormat. Dalam praktiknya, Otsukimi sering kali merujuk pada malam bulan purnama kelima belas dari kalender lunar tradisional Jepang, yang dianggap sebagai bulan paling terang dan paling indah sepanjang tahun. Malam ini disebut Chushu no Meigetsu (中秋の名月) yang secara puitis diterjemahkan sebagai “Bulan Pertengahan Musim Gugur yang Indah”.

yamanashibank.co.jp
Namun, ada juga perayaan untuk bulan purnama pada malam ketiga belas, yang disebut Jusan’ya (十三夜) atau “Malam Ketiga Belas”. Merayakan Chushu no Meigetsu tanpa merayakan Jusanya dianggap membawa nasib sial, dan tradisi ini dijuluki “Otsukimi yang Tertinggal” atau 片見月 (Katamizuki).
B. Kapan Otsukimi Dilaksanakan?
Salah satu aspek unik Otsukimi adalah penanggalannya. Berbeda dengan festival yang menggunakan kalender Masehi tetap seperti Tanabata, Otsukimi mengikuti siklus kalender lunar. Akibatnya, tanggal perayaannya berbeda setiap tahun dalam kalender Gregorian.
– Chushu no Meigetsu (Bulan Purnama Utama).
Biasanya jatuh antara pertengahan September hingga awal Oktober. Sebagai contoh, pada tahun 2024, Otsukimi utama jatuh pada 17 September dan pada tahun 2025 akan jatuh pada 6 Oktober.
– Jusanya (Bulan Purnama Kedua).
Diadakan sekitar sebulan setelah Chushu no Meigetsu, biasanya antara pertengahan Oktober hingga awal November.

wakuwakuwork.jp
Perpindahan dari kalender lunar ke kalender Masehi pada era Meiji tidak menghapus tradisi ini. Orang Jepang modern tetap dengan setia mengecek kalender untuk mengetahui kapan malam istimewa itu tiba, menunjukkan betapa tradisi ini telah mengakar dalam jiwa mereka.
C. Mengapa Orang Jepang Merayakan Otsukimi?
Penghormatan terhadap bulan dalam Otsukimi menjadi sebuah dialog aktif yang terjalin berabad-abad dan didorong oleh beberapa kebutuhan dan keyakinan mendasar yang saling bertautan. Berikut ini adalah penjelasan lebih mendalam ya.
1. Landasan Agraris, Rasa Syukur yang Mengakar pada Bumi
Ini menjadi alasan yang paling pragmatis dan mendasar. Jepang hingga sebelum industrialisasi adalah masyarakat agraris yang hidupnya bergantung pada hasil bumi. Dalam kepercayaan animisme Shinto kuno, segala sesuatu di alam memiliki roh atau Kami.
Bulan dengan cahayanya yang misterius dan siklusnya yang teratur diyakini sebagai Tsukiyomi no Mikoto (Dewa Bulan) atau secara umum dikenal sebagai Tsuki-sama (Tuan Bulan) yang memiliki kekuatan atas air, kesuburan, dan pertumbuhan tanaman. Cahaya bulan terutama cahaya purnama yang terang dianggap sebagai “cahaya kehidupan” yang meresap ke dalam tanah dan membantu menumbuhkan padi yang menjadi makanan pokok.
Ritual Otsukimi pada hakikatnya adalah upacara syukur kepada dewa bulan atas panen yang telah diberikan dan doa untuk panen yang melimpah di tahun depan. Inilah mengapa persembahan Otsukimi didominasi oleh hasil panen musim gugur sebagai berikut:
– Rumput Pampas (Susuki).
Meski bukan makanan, susuki (rumput pampas) yang diletakkan dalam vas adalah simbol yang sangat kuat. Bentuknya yang seperti bulir padi yang sedang berbulir penuh adalah representasi visual dari panen yang sukses. Ia dianggap sebagai “tempat sementara” bagi Kami bulan untuk turun dan menerima persembahan.

gardenstory.jp
– Ubi Jalar, Kedelai, dan Chestnut.
Semuanya adalah hasil bumi yang dipanen tepat pada musim gugur. Dengan mempersembahkan yang terbaik dari hasil panen, masyarakat menyampaikan rasa terima kasih mereka.

flickr.com
– Dango.
Terbuat dari beras dianggap simbol utama hasil panen. Bentuknya bulat meniru bulan yang menciptakan hubungan simbolis langsung antara berkah dewa (bulan) dan berkah bumi (beras).

weathernews.jp
Oleh karena itu, otsukimi adalah puncak dari siklus pertanian yang menjadi sebuah perayaan yang menyatukan langit (bulan) dan bumi (tanaman).
2. Fondasi Spiritual dan Kepercayaan, Menyambut Sang Kami
Di balik rasa syukur yang sederhana terhadap panen, terdapat lapisan spiritualitas yang lebih dalam. Dalam kalender ritual Shinto, musim gugur adalah waktu untuk Akimatsuri. Akimatsu adalah festival untuk berterima kasih kepada para Kami atas panen. Otsukimi adalah salah satu manifestasi dari Akimatsuri ini. Momen ini ketika komunitas mengakui ketergantungan mereka pada kekuatan alam yang lebih besar.
Kemudian, ketika Buddhisme masuk ke Jepang, ia berasimilasi dengan kepercayaan lokal. Dalam Buddhisme, bulan khususnya bulan purnama sering digunakan sebagai metafora untuk pencerahan sempurna yaitu pikiran yang jernih, tenang, dan tercerahkan, bebas dari awan kebodohan. Meditasi di bawah cahaya bulan purnama dianggap membawa kedamaian batin dan kebijaksanaan. Nuansa ini menambahkan dimensi kontemplatif dan introspeksi pada tradisi Otsukimi.
3. Jiwa Estetik, Merayakan Mono no Aware
Ini yang mengubah Otsukimi dari ritual pertanian menjadi seni dan filsafat hidup, terutama di kalangan bangsawan Heian. Konsep Mono no Aware (物の哀れ) ini sulit diterjemahkan secara harfiah, tapi intinya adalah kesedihan atau keharuan akan segala sesuatu yang fana. Itu adalah kepekaan untuk merasakan keindahan yang mendalam justru karena keindahan itu tidak abadi.
Bulan purnama musim gugur adalah perwujudan sempurna dari Mono no Aware. Ia mencapai puncak keindahannya hanya untuk satu malam. Esoknya, ia akan mulai berkurang. Kesadaran akan kemerosotan yang akan datang ini membuat momen kesempurnaannya terasa lebih berharga, lebih menusuk, dan lebih puitis.
Orang Jepang tidak hanya mencintai keindahan yang sempurna. Mereka menemukan keindahan yang dalam pada hal-hal yang tidak lengkap, sementara, dan melankolis. Awan yang sesekali melintas menutupi bulan (Mugetsu) justru menambah drama dan keharuan pada pemandangan tersebut. Kegagalan untuk melihat bulan sama puitisnya dengan keberhasilannya.
Sensitivitas ini juga melahirkan banyak mahakarya sastra. Di karya Genji Monogatari, ada adegan-adegan “pesta melihat bulan” yang penuh dengan puisi dan nuansa romantis. Puisi-puisi Waka dan Haiku tak terhitung jumlahnya yang memuji bulan musim gugur, sering dikaitkan dengan kenangan, perpisahan, dan lintasan waktu. Bagi orang Jepang, melihat bulan adalah seperti membaca puisi yang hidup yang mana alam sendiri yang menjadi penyairnya.
4. Fungsi Sosial, Penguat Ikatan Komunal
Selain aspek spiritual dan estetis, Otsukimi memiliki fungsi sosial yang sangat penting. Setelah musim panen yang melelahkan, otsukimi menjadi alasan yang sempurna untuk berkumpul. Keluarga dan tetangga akan duduk bersama, berbagi makanan persembahan setelah dipersembahkan kepada dewa, dan menghabiskan malam yang tenang bersama. Dalam keheningan yang diterangi cahaya bulan, ikatan sosial diperkuat.
Untuk anak-anak, Otsukimi adalah pengalaman sensorik dan edukatif yang menyenangkan. Mereka diajarkan untuk mengenal siklus bulan, nama-nama makanan tradisional, dan cara menyusun persembahan. Tradisi ini menjadi sarana untuk meneruskan nilai-nilai budaya seperti rasa hormat pada alam, rasa syukur, dan apresiasi keindahan kepada generasi berikutnya.
D. Bagaimana Asal-Usul Otsukimi di Jepang?
Setelah mengetahui apa itu otsukimi dan alasan mengapa otsukimi dirayakan, tradisi ini punya asal-usul yang menarik. Tradisi ini berasal dari perpaduan impor budaya, selera aristokrat, dan kebutuhan rakyat jelata. Perjalanannya dari ritual elite ini menjadi festival rakyat mencerminkan dinamika sejarah Jepang itu sendiri. Berikut di bawah ini penjelasannya ya.
1. Akar Kontinental, Berasal dari Cina pada Periode Nara (710-794)
Langkah pertama otsukimi ke Jepang dimulai dengan gelombang pengaruh budaya dari daratan Cina yang pada saat itu merupakan pusat peradaban di Asia Timur. Tradisi menyembah bulan di Cina telah ada sejak zaman kuno untuk memuja dewi bulan Chang’e dan merayakan panen. Pada masa Dinasti Tang (618-907 M), festival ini telah menjadi acara budaya yang sangat populer dan terstruktur.
Tradisi ini dibawa ke Jepang melalui para duta besar (Kenzuishi dan Kentoshi), biksu Buddha, dan cendekiawan yang pulang dari studi mereka di Cina. Mereka tidak hanya membawa sutra dan kitab suci, tapi juga adat istiadat, kalender, dan tradisi istana.
Bukti tertulis paling awal tentang “Tsukimi” di Jepang ditemukan dalam antologi puisi Man’youshuu atau Kumpulan Sepuluh Ribu Daun dari abad ke-8. Beberapa puisi di dalamnya menggambarkan “bulan musim gugur” yang menunjukkan bahwa bulan pada musim ini sudah menjadi objek estetika. Namun, pada tahap ini, ia belum menjadi festival yang terorganisir.
Pada periode Nara ini, istana Jepang mulai mengadopsi elemen-elemen kalender dan ritual Cina. Upacara Jugoya atau malam ke-15 yang didasarkan pada kalender lunar mulai dipraktikkan, tapi cakupannya masih sangat terbatas pada kalangan istana yang terpelajar dan merupakan tiruan dari model Cina.
2. Puncak Estetika, Transformasi di Kalangan Aristokrat Heian (794-1185)
Periode Heian adalah era ketika Otsukimi mengalami proses “Dijepangkan” yang lebih mendalam. Ia dilepaskan dari konteks Cina aslinya dan diubah menjadi sesuatu yang sangat khas Jepang yang mencerminkan selera halus bangsawan istana.
Bagi bangsawan Heian, Otsukimi bukan lagi hanya upacara penghormatan. Ia berubah menjadi Tsukimi no Utage yaitu sebuah acara sosial dan artistik yang elegan. Pesta-pesta ini adalah panggung untuk menampilkan miyabi atau keanggunan) dan aware atau kepekaan.
Kemudian, mereka tidak hanya duduk di ruangan terbuka. Pesta sering diadakan di perahu yang menghadap ke kolam istana (tsukimibune), di paviliun yang sengaja dibangun, atau di serambi yang menghadap ke taman yang dirancang khusus untuk menangkap pantulan bulan di air. Pantulan bulan di air dianggap lebih halus dan lebih puitis daripada bulan itu sendiri.
Otsukimi juga menjadi bagian integral dari filosofi Kachou Fuugetsu atau menikmati keindahan alam seperti bunga, burung, angin, dan bulan. Bulan musim gugur adalah puncak dari keindahan alam ini. Pada malam Otsukimi diisi dengan acara, yaitu yang pertama adalah puisi Waka.
Para bangsawan akan berimprovisasi menulis dan membacakan puisi Waka yang memuji keindahan bulan, sering diselingi dengan metafora tentang kesementaraan kehidupan dan kenangan akan kekasih. Yang kedua adalah musik Gagaku dan Seruling. Musik istana (gagaku) dan permainan seruling menciptakan suasana yang mistis dan elegan.
Gambaran sempurna tentang tradisi ini ada dalam karya sastra Genji Monogatari karya Murasaki Shikibu. Dalam bab “Fuji no Uraba”, Pangeran Genji mengadakan pesta melihat bulan yang megah, lengkap dengan puisi dan musik, menggambarkan bagaimana Otsukimi telah menjadi bagian dari budaya cinta dan sosialisasi istana. Pada intinya, di era Heian, Otsukimi berhasil ditransformasikan dari sebuah ritual dari luar negeri menjadi sebuah seni tinggi yang khas Jepang.
3. Demokratisasi dan Standardisasi, Penyebaran ke Rakyat Jelata pada Periode Edo (1603-1868)
Jika periode Heian menjadikan Otsukimi sebagai milik elite, periode Edo inilah yang menjadikannya sebagai festival nasional untuk semua kalangan. Terdapat beberapa faktor kunci mendorong perubahan besar ini. Di bawah Keshogunan Tokugawa, Jepang mengalami periode damai panjang yang memungkinkan perkembangan ekonomi dan penyebaran budaya populer.
Kota-kota seperti Edo (sekarang Tokyo), Osaka, dan Kyoto berkembang pesat. Kelas pedagang (chounin) yang kaya tapi secara sosial berada di bawah samurai menciptakan budaya urban mereka sendiri yang dinamis. Mereka mengadopsi dan memodifikasi tradisi aristokrat untuk konsumsi massa.

intojapanwaraku.com
Sementara para bangsawan merayakan estetika bulan, petani di pedesaan telah lama memiliki ritual syukur panen mereka sendiri pada musim gugur. Tradisi otsukimi dari kota menyebar ke pedesaan dan berasimilasi dengan ritual panen lokal ini menghasilkan bentuk hibrida yang kaya makna.
Pada era Edo ini, elemen-elemen Otsukimi yang kita kenal sekarang distandardisasi dan menjadi “baku” seperti berikut ini:
– Tsukimi Dango.
Kue beras berbentuk bulat menjadi persembahan utama menggantikan kue bulan Cina yang lebih mewah. Bentuknya yang bulat dan putih melambangkan bulan dan kemurnian. Penyusunannya yang piramidal biasanya 15 untuk malam ke-15 atau 13 untuk malam ke-13 menjadi praktik umum.
– Susuki (Rumput Pampas).
Simbolisme susuki sebagai perwakilan tanaman padi dan tempat sementara bagi dewa bulan menjadi kuat dan diterima secara universal.
– Persembahan Musiman.
Ubi jalar (satsumaimo), chestnut (kuri), kedelai (edamame), dan buah kesemek (kaki) menjadi persembahan standar karena semuanya adalah hasil panen musim gugur.
– Konsep Katamizuki.
Kepercayaan bahwa tidak elok jika hanya merayakan bulan purnama ke-15 tanpa merayakan yang ke-13 atau Jusan’ya menjadi populer dan menunjukkan telah tertanamnya tradisi ini dalam kesadaran kolektif.
Pada akhir periode Edo, Otsukimi telah berubah wujud sepenuhnya. Tradisi ini bukan lagi milik istana atau tiruan dari Tiongkok. Tradisi ini telah menjadi sebuah tradisi rakyat yang autentik, penuh dengan simbolisme agraris, dan menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Jepang. Warisan ini yang terus dibawa hingga ke era modern.
E. Perkembangan Otsukimi dari Era Meiji sampai Sekarang
Setelah mengetahui sejarah dari awal tradisi ini di atas, perjalanannya setelah Periode Edo adalah kisah tentang adaptasi, komersialisasi, dan reinterpretasi. Tradisi yang telah mengakar ini tidak hilang oleh modernitas, tapi berevolusi menemukan cara-cara baru untuk tetap relevan dalam kehidupan masyarakat Jepang yang berubah dengan cepat. Yuk, kita lanjut di bawah ini.
1. Era Meiji hingga Pasca-Perang, Modernisasi dan Tantangan
Restorasi Meiji (1868) membawa Jepang masuk dengan cepat ke dalam modernitas yang memberikan tantangan sekaligus peluang baru bagi Otsukimi. Tantangan terbesar adalah penghapusan kalender lunar (kyūreki) dan adopsi kalender Gregorian (shinreki) pada tahun 1873. Tanggal Otsukimi yang selama ini mengambang kini harus dicari setiap tahunnya, memutus hubungan langsung dengan ritme alam berbasis bulan. Ini membutuhkan usaha lebih dari masyarakat untuk mengingat dan mencari tahu kapan Chushu no Meigetsu terjadi.

koreki543.com
Masyarakat juga mulai pindah ke rumah-rumah kota yang lebih sempit, seringnya tanpa engawa (serambi) atau taman yang ideal untuk Otsukimi. Polusi cahaya perkotaan mulai mengaburkan keindahan bulan dan menggeser fokus dari “melihat bulan” ke “ritual persembahan” itu sendiri.
Kemudian, otsukimi mulai dimanfaatkan oleh industri yang baru lahir. Iklan-iklan di koran dan majalah mulai menampilkan produk-produk Tsukimi, dari dango kemasan hingga peralatan untuk persembahan. Inovasi paling cerdik adalah memasukkan konsep “bulan” ke dalam makanan sehari-hari. Yang paling terkenal adalah “Tsukimi Udon” atau “Tsukimi Ramen”, yaitu telur mentah yang diletakkan di atas mi menyerupai bulan purnama.
Di era modern, jaringan makanan cepat saji seperti McDonald’s di Jepang meluncurkan “Tsukimi Burger” edisi terbatas setiap musim gugur yang dilengkapi dengan saus telur orak-arik yang menyerupai bulan. Ini adalah bentuk adaptasi yang bagus karena menjadikan tradisi yang sakral sebagai bagian dari budaya pop dan konsumsi massal.
2. Otsukimi di Jepang Kontemporer (Sekarang), Kelenturan sebuah Tradisi
Di Jepang modern, Otsukimi menampilkan wajah yang sangat beragam, mencerminkan pluralisme masyarakatnya. Keluarga yang masih memegang teguh tradisi akan menyiapkan persembahan lengkap di rumah, berkumpul, dan benar-benar meluangkan waktu untuk memandang bulan. Kuil-kuil Shinto dan pusat komunitas juga mengadakan Otsukimikai atau pesta melihat bulan besar-besaran.
Bagi keluarga di apartemen, perayaan mungkin hanya dengan membeli sekotak dango di supermarket, meletakkan satu atau dua batang susuki di vas, dan mengajak anak-anak untuk melongok ke balkon melihat bulan selama beberapa menit. Ritualnya disederhanakan, tapi esensi “menunjukkan bulan pada anak” dan “makan dango bersama” tetap hidup.
Lalu, bagi banyak kaum muda, otsukimi mungkin tidak lagi berupa ritual. Ia berubah menjadi fenomena media sosial. Mereka akan berburu foto bulan purnama dengan lensa tele, membagikannya di Instagram atau Twitter dengan tagar #お月見 #Otsukimi, dan menerima “likes” sebagai bentuk validasi modern. Ini adalah bentuk apresiasi keindahan yang baru, di mana bulan dinikmati melalui layar dan dibagikan kepada komunitas virtual.

teniteo.jp
Selain perayaannya yang beragam saat ini, tradisi ini juga mengalami tantangan modern yaitu Tsukimi Gassen dan Mugetsu. Tsukimi Gassen atau Pertempuran Melihat Bulan adalah metafora untuk tantangan modern untuk “menyisihkan waktu” di tengah jadwal kerja yang padat, komitmen keluarga, dan hiburan digital yang tak ada habisnya. “Bersaing” untuk sekadar memandang bulan menjadi sebuah kemewahan.
Sedangkan, Mugetsu (無月) atau tanpa Bulan terjadi pada cuaca musim gugur yang sering berawan berarti bulan tidak terlihat pada malam Otsukimi. Namun, secara filosofis, ini justru memperkuat konsep Mono no Aware yang telah dijelaskan di atas, sebuah kegagalan untuk melihat bulan sama puitisnya dengan keberhasilannya. Bahkan dalam ketidakhadirannya, bulan tetap menjadi pusat perenungan. Ada juga istilah Ugetsu (雨月) atau Bulan Hujan yang merujuk pada bulan yang tak terlihat karena hujan dianggap memiliki nuansa estetika yang berbeda.
Otsukimi kini telah menjadi “musim” tersendiri dalam kalender pemasaran Jepang. Kita akan melihat banyaknya produk edisi terbatas, misalnya: kopi merek terkenal di sana menjual latte bertema bulan, perusahaan makanan dengan bento (kotak makan siang) bertema otsukimi, dan merek-merek cokelat yang merilis kemasan khusus. Department store mengadakan pameran seni bertema bulan dan iklan-iklan televisi penuh dengan imej bulan dan keluarga bahagia.
Otsukimi adalah bukan hanya festival biasa, tapi ruang budaya di mana orang Jepang, dari masa ke masa, menjalin dialog dengan alam, sejarah, dan diri mereka sendiri. Dari para bangsawan Heian yang puitis hingga para petani Edo yang bersyukur, hingga para urban modern yang sibuk, tradisi ini menyediakan momen jeda berupa kesempatan untuk mengangkat kepala dan mengingatkan kita akan keindahan yang ada di atas sana yang sering kita lupakan dalam kesibukan sehari-hari.
Tradisi ini mengajarkan kita tentang Mono no Aware, untuk mencintai keindahan justru karena ia tidak abadi. Cahaya bulan purnama yang sempurna itu hanya bertahan semalam, sama seperti musim gugur yang segera akan berganti dinginnya musim dingin. Dengan merayakan otsukimi, orang Jepang selain menyambut bulan, tapu juga merangkul siklus kehidupan itu sendiri dengan penuh rasa syukur, kekaguman, dan kedamaian. Jika Minasan sedang berada di Jepang pada musim gugur, sempatkan untuk berkunjung di festival ini ya.
Cukup sekian yang bisa Pandai Kotoba berikan untuk artikel khusus musim gugur ini mengenai otsukimi. Jika Minasan ingin tahu hal lainnya tentang musim gugur di Jepang, di website ini tersedia banyak informasinya lho. Salah satunya ini nih: Yaki Imo, Menyantap Ubi Panggang Khas Jepang di Musim Gugur. Klik untuk membacanya ya.
Sampai jumpa di artikel selanjutnya!

