Umami, Rasa yang Mengguncang Dunia Kuliner dari Jepang
Hai Minasan~! Dalam dunia rasa, kita selama ini dikenalkan pada empat pilar dasar: manis, asam, asin, dan pahit. Namun, ada satu rasa lagi yang lebih sulit diungkapkan dengan kata-kata, sebuah rasa yang memberikan kepuasan mendalam, kekayaan, dan kelengkapan pada sebuah hidangan. Rasa itu adalah umami. Rahasia terbesar masakan Jepang yang berhasil memikat lidah dunia.
Perjalanan umami dari Jepang berasal sebuah konsep ilmiah di laboratorium Tokyo menjadi kata yang diucapkan oleh koki bintang Michelin dan ibu rumah tangga di seluruh dunia adalah kisah menarik tentang sains, budaya, dan kelezatan yang universal.
Pandai Kotoba pada artikel kali ini akan membahas tuntang mengenai rasa umami yang mengguncang dunia kuliner dari Jepang mulai dari definisi dari rasa umami, cerita dari sang pencetusnya, hingga penjalanan rasa umami sampai mendunia. Yuk, kita simak di bawah ini ya.

wired.jp
A. Apa itu Rasa Umami?
Mendefinisikan umami sering kali terasa seperti mencoba menjelaskan tapi susah untuk mendeskripsikannya. Kita tahu itu ada, kita bisa mengalaminya, tapi kata-kata sering kali gagal menangkap nuansa sepenuhnya. Umami bukan hanya rasa “gurih” atau “lezat”. Rasa tersebut adalah rasa dasar yang memuaskan dan secara ilmiah dapat dijelaskan.
1. Dasar Ilmiah, Kimia di Balik Kelezatan
Pada tingkat molekuler, umami adalah respons spesifik dari lidah kita terhadap keberadaan asam amino tertentu (terutama asam glutamat atau glutamat) dan nukleotida (inosinat dan guanylat).
Glutamat adalah asam amino yang merupakan blok pembangun protein. Ia hadir secara alami dalam hampir semua makanan yang mengandung protein, baik dari hewan maupun tumbuhan. Namun, glutamat hanya memicu rasa umami ketika ia berada dalam bentuk “bebas”, artinya tidak terikat dalam rantai protein panjang. Proses seperti pematangan, memasak, fermentasi, dan pengeringan memecah protein dan melepaskan glutamat bebas inilah yang kemudian merangsang reseptor umami kita.

geeksforgeeks.org
Kejeniusan umami terletak pada efek sinergi, Nukleotida. Senyawa seperti inosinat (banyak ditemukan dalam daging dan ikan) dan guanylat (banyak ditemukan dalam jamur) sendiri memiliki rasa umami yang lemah. Namun, ketika ditambahkan sedikit saja ke dalam glutamat, mereka dapat memperkuat rasa umami secara eksponensial hingga 8 kali lipat atau lebih. Inilah mengapa kombinasi bahan yang mengandung glutamat dan inosinat/guanylat adalah kunci dari banyak kaldu dan saus yang lezat di seluruh dunia.
Contoh klasiknya adalah kaldu dashi Jepang menggabungkan kombu yang kaya glutamat dengan katsuobushi yang kaya inosinat. Kombinasi ini menciptakan ledakan umami yang jauh lebih kuat daripada jika masing-masing bahan digunakan sendiri-sendiri.
Sedangkan, contoh dari Barat adalah sup ayam. Daging ayam mengandung inosinat, lalu bawang bombay, wortel, dan seledri mengandung glutamat. Memasaknya bersama-sama melepaskan senyawa-senyawa ini dan menciptakan sinergi umami yang membuat sup terasa “nyaman” dan memuaskan.
2. Karakteristik Sensori, Bagaimana Kita Mengalami Umami?
Rasa umami tidak hanya dikenali oleh lidah, tapi juga dirasakan oleh seluruh rongga mulut. Karakteristik sensasinya yang unik adalah:
A. Peletakan Rasa (Flavor Placement)
Cobalah minum kaldu dashi atau kuah miso yang jernih. Perhatikan bagaimana rasa tersebut terasa “melapisi” atau “menyelimuti” lidah. Ia tidak datang dan pergi dengan cepat seperti rasa asam atau asin. Sensasi ini bertahan, memberikan kesan kekentalan pada cairan yang sebenarnya bening. Ini terjadi karena umami merangsang produksi air liur yang lebih kental yang kemudian melumasi makanan dan memperpanjang kontak rasa dengan reseptor kita.
B. Pendorong Air Liur (Salivation Induction)
Semua rasa dasar merangsang air liur, tapi umami melakukannya dengan cara yang unik. Rasa asam merangsang air liur yang encer dan banyak sebagai respons untuk mencairkan asam. Sebaliknya, umami memicu sekresi air liur yang lebih lengket dan kaya protein yang ideal untuk melumasi makanan bertepung dan membantu proses menelan. Sensasi mulut yang “berair” ini berkontribusi pada perasaan kepuasan dan kelengkapan.
C. Kepenuhan dan Kedalaman (Fullness & Depth)
Umami bertindak seperti konduktor orkestra rasa. Ia sendiri mungkin bukan rasa yang mencolok, tapi kehadirannya mengangkat dan menyeimbangkan semua rasa lain dalam sebuah hidangan. Rasa tersebut menguatkan rasa asin, membulatkan rasa asam, dan memperkaya rasa manis. Hidangan sup tanpa garam terasa hambar, sedangkan sup dengan garam tapi tanpa umami terasa “hanya” asin. Hidangan sup dengan garam dan umami terasa lengkap, kompleks, dan memuaskan. Ia memberikan dimensi kedalaman yang sering kita sebut sebagai “rasa yang bulat”.
D. Perasaan Kepuasan (Sense of Satisfaction)
Dari perspektif evolusi, umami adalah penanda bahwa kita mengonsumsi protein, yaitu nutrisi yang penting untuk kelangsungan hidup. Otak kita menghubungkan sensasi ini dengan nutrisi dan kepuasan. Itulah sebabnya makanan kaya umami terasa sangat “mengenyangkan” dan memuaskan secara sensorik, bahkan dalam porsi kecil.
3. MSG, Umami dalam Bentuk Murni
Monosodium Glutamat atau disingkat MSG sering disalahpahami. Pada dasarnya, MSG hanya garam sodium dari asam glutamat bebas. Ia adalah kristal putih yang tidak berasa sendiri, tapi ketika ditambahkan ke makanan, ia memberikan rasa umami murni yang sama seperti glutamat yang berasal dari tomat atau keju.

coaching-l.net
Menggunakan MSG dalam masakan seperti menggunakan gula atau garam sebagai penambah rasa, bukan pengganti teknik memasak yang baik. Secara ilmiah, tubuh kita memetabolisme glutamat dari MSG dengan cara yang sama persis seperti glutamat dari sumber alami. Badan pengawas makanan di seluruh dunia seperti BPOM, FDA, EFSA, dll. mengategorikan MSG sebagai bahan makanan yang “Generally Recognized As Safe” atau GRAS.
4. Contoh Sensori Langsung, Merasakan Umami Sendiri
Kita dapat melakukan eksperimen sederhana untuk merasakan umami. Misalkan, yang pertama adalah uji tomat. Cicipi sepotong tomat mentah biasa. Sekarang, cicipi sepotong tomat yang sangat matang yang telah ditaburi sedikit garam. Rasanya akan terasa jauh lebih manis, lebih kaya, dan lebih “tomat”. Garam (rasa asin) menguatkan persepsi kita terhadap rasa manis alami tomat dan glutamat di dalamnya menciptakan harmoni yang lebih besar.
Yang kedua, uji kaldu. Bandingkan rasa air putih panas, air panas yang diberi garam, dan air panas yang diberi sedikit MSG atau sejumput kaldu bubuk. Air dengan garam terasa asin. Sedangkan, air dengan MSG akan terasa memiliki kekentalan, terasa seperti kaldu yang ringan, dan meninggalkan sensasi memuaskan di lidah.
Dengan memahami mekanisme di balik umami, kita mulai menghargainya bukan sebagai konsep abstrak “kelezatan”, tapi sebagai rasa dasar yang nyata, dapat diukur, dan sangat penting yang memberitahu kita tentang nilai gizi dan keamanan makanan kita, sekaligus memberikan pengalaman makan yang paling memuaskan.
B. Sang Pencetus Kikunae Ikeda dan Misi Ilmiahnya
Kisah penemuan umami adalah kisah tentang ketajaman observasi seorang ilmuwan yang digabungkan dengan rasa ingin tahu yang tak terpuaskan. Profesor Kikunae Ikeda (1864-1936) adalah seorang akademisi dan seorang pemikir praktis yang ingin memecahkan masalah nyata dan memberikan manfaat bagi masyarakat luas.
1. Latar Belakang dan Konteks Sejarah
Untuk memahami besarnya pencapaian Ikeda, kita harus menempatkannya dalam konteks Jepang pada era Meiji (1868-1912). Jepang sedang dalam proses modernisasi yang cepat, membuka diri dan dengan gencar mempelajari sains, teknologi, dan budaya Barat. Ikeda adalah produk dari zaman ini. Dia adalah salah satu dari segelintir orang Jepang yang dikirim untuk belajar di Eropa, menghabiskan waktu di laboratorium kimia terkemuka di Jerman, termasuk di bawah bimbingan pemenang Hadiah Nobel pada saat itu bernama Wilhelm Ostwald di Leipzig.

commons.wikimedia.org
Pengalaman ini memberinya alat dan metodologi sains Barat yang ketat. Namun, yang lebih penting, dia kembali ke Jepang dengan sebuah keyakinan bahwa sains harus melayani masyarakat dan industri nasional. Jepang pada waktu itu masih miskin sumber daya alam dan populasi yang kurang gizi adalah masalah nyata. Ikeda melihat potensi dalam menggunakan sains untuk meningkatkan nutrisi dan kesejahteraan rakyat Jepang.
2. Momen Eureka, Dari Mangkuk Tahu ke Laboratorium
Legenda dimulai pada suatu malam di tahun 1908. Saat menikmati makan malam bersama keluarga, Ikeda menyantap semangkuk tahu dengaku atau tahu dengan saus miso yang disajikan dengan kaldu berbasis kombu (rumput laut kelp). Sebagai seorang yang terlatih dalam sains, lidahnya yang peka langsung menangkap sesuatu yang istimewa.

flickr.com
Dia menyadari bahwa rasa mendalam dan memuaskan dalam kaldu kombu itu juga hadir dalam makanan yang tampaknya tidak berhubungan seperti dalam daging, keju terutama Parmesan, asparagus, dan tomat. Rasa ini konsisten, dapat diidentifikasi, tapi sama sekali berbeda dari empat rasa dasar yang diterima secara universal. Dia bertanya pada diri sendiri, “apakah rasa ini hanya kombinasi dari manis, asam, asin, dan pahit? Ataukah ini adalah rasa yang benar-benar independen?”.
Kebanyakan orang mungkin akan mengangguk, mengakui kelezatannya, dan melanjutkan makan. Namun, Ikeda dengan mentalitas ilmuwannya, memutuskan untuk menyelidiki misteri kimiawi di balik rasa ini.
3. Penelitian yang Metodis dan Isolasi Glutamat
Ikeda memfokuskan penelitiannya pada kombu, bahan yang memberinya momen “eureka“. Proses yang dilakukannya sangat metodis, di antaranya sebagai berikut:
- Ekstraksi: Dia mulai dengan merebus sejumlah besar kombu untuk mengekstrak rasa dan senyawa-senyawanya ke dalam air.
- Isolasi: Melalui serangkaian proses kimia yang rumit termasuk penguapan, kristalisasi, dan filtrasi, Ikeda secara bertahap memisahkan berbagai komponen dalam ekstrak tersebut.
- Identifikasi: Dia kemudian menguji setiap komponen yang berhasil diisolasi untuk menentukan mana yang bertanggung jawab atas rasa unik tersebut.
Akhirnya, setelah kerja keras yang panjang, dia berhasil mengisolasi kristal asam amino yang menjadi kuncinya. Saat dicicipi, kristal ini memberikan rasa yang persis seperti yang dia cari, yaitu murni, intens, dan tak terbantahkan. Senyawa itu adalah asam glutamat. Pada tahun 1909, Ikeda mempublikasikan temuan revolusionernya dalam makalah berjudul “On the Taste of the Salt of Glutamic Acid” dalam Journal of the Chemical Society of Tokyo.
Dalam makalah ini, untuk pertama kalinya, dia memperkenalkan istilah “umami” untuk menggambarkan rasa dari glutamat ini. Pemilihan kata ini sangat luar biasa. Daripada menciptakan istilah teknis yang asing, dia memilih kata dari bahasa Jepang sehari-hari yaitu “umai” yang langsung dapat dipahami oleh orang awam sebagai “lezat yang mendalam”, sehingga membuat konsepnya mudah diadopsi.
4. Dari Penemuan ke Inovasi: Kelahiran MSG dan Ajinomoto
Bagi Ikeda, mengisolasi glutamat bukan hanya jadi akhir, tapi awal. Tujuannya selalu bersifat praktis. Dia melihat dua masalah:
- Bagaimana membuat senyawa ini stabil dan mudah digunakan?
- Bagaimana memproduksinya secara massal sehingga terjangkau bagi semua orang?
Asam glutamat murni tidak stabil dan sulit larut dalam air. Ikeda menemukan bahwa dengan mengubahnya menjadi garam natrium (menjadi monosodium glutamat (MSG), kemudian menjadi stabil, sangat mudah larut, dan tidak berbau.
Tantangan selanjutnya adalah produksi. Awalnya, sumber glutamat hanya dari kombu, tapi mengekstraknya dalam jumlah besar dari rumput laut tidak efisien dan sangat mahal. Ikeda, dengan kecerdasannya, beralih ke kedelai dan gandum yang kaya akan protein gluten yang namanya berasal dari gluten, sumber glutamat. Dia mengembangkan metode hidrolisis asam untuk memecah protein dalam kedelai dan gandum, melepaskan glutamat yang kemudian diubah menjadi MSG.

ajinomoto.com
Pada tahun 1909, Ikeda mematenkan proses pembuatan MSG ini. Untuk mengkomersialkan penemuannya, ia bermitra dengan Saburosuke Suzuki, seorang pengusaha sukses pada saat itu untuk mendirikan perusahaan Suzuki Pharmaceutical Company. Produk pertama dan andalan mereka adalah bubuk penyedap rasa yang mereka beri nama Ajinomoto (味の素) yang secara harfiah berarti “esensi rasa”. Nama ini dengan sempurna mencerminkan produk dan filosofi di baliknya.
5. Visi Humanistik di Balik MSG
Penting untuk memahami bahwa motivasi Ikeda bukan semata-mata keuntungan. Visinya bersifat nutrisi dan humanistik. Jepang pada masa itu masih miskin, dan bagi banyak keluarga, lauk protein seperti daging dan ikan adalah kemewahan. Ikeda membayangkan MSG sebagai cara untuk meningkatkan cita makanan sederhana. Dengan menaburkan sedikit MSG pada sayuran, nasi, atau sup sederhana, makanan rakyat jelata bisa terasa lebih lezat dan memuaskan, mirip dengan rasa kaldu daging.
Kemudian, meningkatkan asupan nutrisi. Makanan yang lezat merangsang nafsu makan dan dapat membantu meningkatkan asupan makanan, yang pada saat itu merupakan masalah kesehatan masyarakat. Selain itu, kemandirian nasional: Dengan memanfaatkan kedelai dan gandum (bahan lokal), penemuannya mengurangi ketergantungan pada impor dan memajukan industri Jepang.
C. Mengapa Orang Jepang Terobsesi dengan Rasa Umami?
Kecintaan Jepang pada umami menjadi preferensi selera atau kebetulan sejarah. Rasa ini adalah hasil dari simbiosis yang luar biasa antara kondisi geografis, filosofi hidup, praktik keagamaan, dan evolusi kuliner selama berabad-abad. Obsesi ini dapat dilacak dari beberapa pilar fundamental. Berikut di bawah ini penjelasan lebih lengkapnya ya.
1. Dashi, Landasan Filosofis dan Praktis
Jika umami adalah jiwa masakan Jepang, maka dashi adalah mediumnya. Dashi bukan hanya kaldu biasa, tapi fondasi yang tidak terlihat yang menyangga hampir setiap hidangan dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit. Berbeda dengan kaldu Barat yang sering kali melibatkan banyak bahan seperti sayuran, rempah, tulang yang dimasak lama untuk ekstraksi yang maksimal, dashi tradisional Jepang dibuat dengan cara yang elegan dan minimalis.

asiasociety.org
Kombu (kaya glutamat) direndam dalam air dengan suhu tertentu hingga rasanya terekstrak, lalu dipanaskan hampir mendidih dan segera diangkat. Katsuobushi (kaya inosinat) kemudian ditambahkan sesaat saja, menghindari rasa pahit. Hasilnya adalah kaldu yang jernih, beraroma samar, tapi memiliki depth rasa umami yang sangat dalam dan kompleks berkat sinergi glutamat-inosinat.
Dashi dirancang untuk memperkuat, bukan menutupi rasa alami bahan utama. Estetika Jepang menghargai keaslian dan cita rasa murni. Dalam masakan Jepang, seekor ikan dimasak untuk menonjolkan rasa ikannya sendiri, bukan rasa bumbu. Dashi berfungsi sebagai “panggung” yang membuat “bintang utama”, yaitu sayuran, ikan, tofu menjadi bersinar lebih terang tanpa mencuri perhatian. Filosofi ini membuat kepekaan terhadap rasa umami alami menjadi sangat penting.
2. Pengaruh Buddhisme dan Shojin Ryori, Pencarian Umami Nabati
Selama periode Kamakura (1185–1333), Buddhisme Zen menyebar luas di Jepang dan membawa serta larangan untuk mengonsumsi daging hewan berkaki empat. Tradisi Shojin Ryori (精進料理) atau masakan Buddhist vegetarian berkembang, terutama di kuil-kuil.

web-japan.org
Larangan ini memaksa para biksu dan koki untuk menjadi sangat kreatif. Mereka harus menciptakan makanan yang memuaskan, bergizi, dan lezat hanya dari bahan nabati. Tantangan inilah yang mendorong mereka menjadi ahli dalam mengekstrak umami dari sumber non-hewani, yaitu di antaranya
- Kombu menjadi tulang punggung kaldu vegetarian.
- Shiitake Kering (Kambutanegi) dikeringkan di bawah sinar matahari meningkatkan kadar guanylat secara dramatis, menjadikannya rasa umami yang powerful untuk dashi vegetarian.
- Kecap (Shoyu) dan Miso dari kedelai yang difermentasi selama berbulan-bulan menghasilkan glutamat dalam jumlah besar. Fermentasi adalah kunci untuk mengunci umami.
- Natto dari kedelai fermentasi lainnya yang sangat kaya umami.
Pengaruh Shojin Ryori ini sangat mendalam. Selain menyediakan sumber umami alternatif tapi juga mengajarkan teknik pengolahan seperti fermentasi dan pengeringan yang mengintensifkan rasa. Prinsip ini yang tetap diterapkan hingga hari ini.
3. Estetika “Ma” (間) dan Keseimbangan
Konsep Ma yang berarti “ruang”, “interval”, atau “kesenjangan” adalah prinsip estetika fundamental dalam budaya Jepang, hadir dalam seni kaligrafi, arsitektur, dan musik. Dalam konteks kuliner, Ma diterjemahkan sebagai keseimbangan dan kesederhanaan yang disengaja.
Masakan Jepang menghindari rasa yang terlalu dominan. Lidah tidak dibombardir oleh rasa yang berlebihan. Sebaliknya, ruang diciptakan bagi setiap elemen untuk bernapas. Di sinilah umami berperan. Rasa ini bukan rasa yang menonjol sendiri, tapi rasa yang menyatukan dan mengharmonisasikan semua elemen lainnya. Ia memberikan kedalaman dan kekentalan tanpa perlu rasa lemak yang berat atau rempah yang overpowering. Hal ini adalah “ruang” yang mempersatukan semua rasa lain dan menciptakan keseluruhan yang utuh dan bulat.
4. Fermentasi: Bioteknologi Kuno Pencipta Umami
Jepang memiliki iklim yang lembap, kondisi yang ideal untuk perkembangan kultur fermentasi. Proses fermentasi saat mikroorganisme seperti kapang atau koji mold (Aspergillus oryzae) memecah molekul kompleks, adalah pabrik umami alami.
Koji mold adalah jantung dari hampir semua fermentasi Jepang. Jamur mikroskopis ini menghasilkan enzim yang memecah pati dan protein dalam beras, kedelai, dan gandum. Dalam miso dan kecap, protein kedelai dipecah menjadi asam amino bebas (glutamat). Sedangkan, dalam sake, pati dalam beras dipecah menjadi gula.

commons.wikimedia.org
Kemudian, dalam mirin dibuat dengan cara yang mirip sake, menghasilkan pemanis yang kaya umami. Kontrol dan presisi dalam fermentasi di Jepang dilakukan dengan cermat berdasarkan suhu, kelembapan, dan waktu yang menghasilkan produk dengan profil rasa yang konsisten dan kompleks. Kecap yang baik, misalnya adalah cairan umami yang sempurna, menggabungkan rasa asin, manis, dan asam yang seimbang di atas dasar umami yang kuat.
5. Faktor Geografis dan Ketersediaan Bahan
Jepang adalah negara kepulauan dengan geografi yang beragam. Masyarakatnya secara tradisional memiliki akses yang terbatas kepada daging merah tapi dikelilingi oleh laut yang kaya.
Laut sebagai sumber utama mereka. Rumput laut seperti kombu, nori, wakame, dan ikan seperti bonito, sarden, makarel adalah sumber umami yang melimpah dan alami. Teknik pengawetan seperti pengeringan untuk membuat katsuobushi dan niboshi dan pengasapan dikembangkan untuk memperpanjang umur simpan, dan secara tidak sengaja proses ini justru sangat mengonsentrasikan kadar inosinat yang menciptakan bahan umami yang powerful.
Iklim Jepang yang ideal juga sangat mendukung pertumbuhan pertanian seperti jamur shiitake yang dikeringkan untuk meningkatkan umaminya, serta kedelai dan gandum yang penting untuk fermentasi.
D. Perjalanan Rasa Umami Menyebar ke Seluruh Dunia
Perjalanan umami dari sebuah konsep ilmiah yang lahir di laboratorium Universitas Tokyo menuju pengakuan global sebagai rasa dasar kelima adalah proses yang panjang dan evolusi budaya yang kompleks yang dipicu oleh gelombang ekspor budaya kuliner Jepang, konfrontasi ilmiah, dan akhirnya penerimaan oleh para pelopor gastronomi dunia.
Gelombang pertama penyebaran umami justru datang dalam bentuk yang paling kontroversial, yakni melalui monosodium glutamat atau MSG. Setelah dipatenkan oleh Ikeda dan diproduksi secara massal oleh Ajinomoto, MSG dengan cepat menemukan jalannya ke seluruh Asia dan belahan dunia lainnya, diadopsi oleh industri makanan dan dapur rumah tangga karena kemampuannya yang ajaib dalam memberikan rasa gurih yang memuaskan dengan biaya yang sangat murah.

roblog.co.uk
Namun, di Barat khususnya di Amerika Serikat, MSG menjadi sangat identik dengan masakan Cina-Amerika, dan pada tahun 1960-an, segelintir laporan anekdotal memunculkan fenomena yang dijuluki “Chinese Restaurant Syndrome” yang mengaitkan konsumsi MSG dengan gejala-gejala seperti sakit kepala dan mati rasa. Meskipun bukti ilmiahnya sangat lemah dan didasarkan pada prasangka lebih daripada data yang rigor, stigma tersebut melekat kuat dan menciptakan penghalang psikologis yang besar bagi dunia Barat untuk menerima umami sebagai sebuah rasa yang sah, karena persepsi publik menyamakan umami secara langsung dengan MSG sintetis yang kontroversial.
Gelombang kedua yang membawa umami ke seluruh dunia datang melalui kelezatan yang tak terbantahkan dari masakan Jepang itu sendiri, khususnya melalui ledakan popularitas sushi yang terjadi pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an. Ketika restoran sushi mewah mulai bermunculan di kota-kota metropolitan seperti New York, London, dan Los Angeles, para penikmat makanan kelas atas diperkenalkan pada pengalaman kuliner yang sama sekali baru yang menekankan kesegaran, kesederhanaan, dan kedalaman rasa yang halus.
Mereka mulai menyadari bahwa kelezatan sebuah nigiri sushi atau semangkuk sup miso yang jernih bukan berasal dari saus atau bumbu yang berat, tapi rasa mendasar yang membuat ikan itu terasa lebih kuat cita rasa ikannya dan kaldu itu terasa begitu memuaskan. Rasa ini yang secara halus dijelaskan oleh koki Jepang sebagai “kelezatan dari dashi” adalah umami dalam bentuknya yang paling murni dan alami. Makanan Jepang dengan reputasinya yang sehat dan canggih, secara diam-diam melatih palet dunia untuk mulai mengenali dan menghargai rasa kelima ini. Lalu, memisahkannya secara perlahan dari bayang-bayang stigma MSG dan meletakkannya pada landasan yang lebih terhormat.
Gelombang ketiga yang paling menentukan adalah gelombang legitimasi ilmiah dan dukungan dari dunia kuliner elite. Pada tahun 2000, para ilmuwan berhasil mengidentifikasi reseptor khusus di lidah manusia yang secara eksklusif mendeteksi glutamat, sehingga membuktikan secara biologis dan tak terbantahkan bahwa umami memang adalah rasa dasar yang mandiri dan bukan hanya kombinasi sensasi lainnya. Penemuan monumental ini memberikan landasan kebenaran yang kokoh bagi para koki, jurnalis makanan, dan pencinta kuliner yang telah lama mencurigai adanya dimensi rasa yang belum terpetakan.

commons.wikimedia.org
Pada saat yang bersamaan, para koki visioner dunia Barat yang dipelopori oleh beberapa figur seperti Ferran Adrià dari restoran elBulli yang legendaris di Spanyol mulai secara terbuka memuji kejeniusan kaldu dashi Jepang. Adrià sendiri menyatakan bahwa dashi adalah kaldu yang paling penting di dunia dan ia mengadopsi filosofi umami ke dalam masakan molekularnya yang inovatif.
Koki-koki terkemuka lainnya seperti David Chang dari Momofuku di New York dengan berani membahas penggunaan MSG dan mendemonstrasikan bagaimana prinsip-prinsip umami yang menggunakan bahan-bahan seperti Parmesan, tomat, jamur, dan anchovy selalu menjadi tulang punggung masakan lezat di seluruh budaya, meskipun tanpa diberi nama. Gelombang penerimaan dari dunia fine dining ini mengubah umami dari sebuah konsep eksotis menjadi sebuah prinsip universal dalam seni memasak.
Akhirnya, gelombang keempat menandai masuknya umami sepenuhnya ke dalam arus utama kesadaran kuliner global. Kata “umami” sendiri meresap ke dalam kosakata populer, diucapkan oleh para host acara memasak, dicetak dalam artikel majalah makanan, dan digunakan dalam kampanye pemasaran untuk segala jenis produk, dari keripik kentang hingga burger.
Kesadaran ini mengubah cara orang biasa memasak dan memakan. Mereka mulai memahami secara intuitif mengapa menambahkan jamur parut ke dalam burger, menaburkan keju Parmesan pada pasta, atau memasak dengan kecap ikan dapat mengubah sebuah hidangan yang biasa menjadi luar biasa. Perjalanan umami dimulai dari sebuah penemuan ilmiah melalui ujian kontroversi, dibawa oleh gelombang budaya pop, divalidasi oleh sains dan otoritas gastronomi, dan akhirnya diadopsi menjadi kebijaksanaan umum, sehingga menyatukan dunia di bawah pemahaman yang lebih dalam tentang dari mana sebenarnya sumber kelezatan yang sesungguhnya berasal.
Umami adalah hadiah terbesar Jepang kepada dunia kuliner. Penemuan Profesor Kikunae Ikeda selain menghasilkan bumbu, tapi juga sebuah perspektif. Ini mengajarkan kita untuk mencari kedalaman dan kepuasan dalam makanan untuk menghargai proses alami seperti fermentasi dan penuaan. Hal ini bertujuan untuk memahami bagaimana rasa bekerja bersama secara sinergis.
Dari mangkuk sup miso yang sederhana di sebuah rumah di Tokyo hingga piring pasta yang rumit di sebuah restoran bintang tiga di Italia, umami telah menjadi bahasa universal kelezatan. Ia menyatukan budaya kuliner yang berbeda di bawah satu kebenaran yang sederhana bahwa keinginan akan rasa yang memuaskan, kaya, dan mendalam adalah bagian mendasar dari pengalaman manusia. Rasa yang benar-benar mengubah cara dunia merasakannya.
Nah, cukup segitu yang bisa Pandai Kotoba berikan untuk artikel kali ini mengenai rasa umami mengguncang dunia kuliner dari Jepang. Jika Minasan ingin baca artikel lainnya tentang kuliner Jepang, di website ini tersedia banyak lho. Cek salah satunya di sini nih: Kenali Berbagai Jenis Sushi dan Cara Makannya. Klik untuk membacanya ya. Sampai jumpa di artikel selanjutnya!
