Culture,  Kisah

Sadako, Misteri dari sang Hantu Legendaris Jepang

Hai Minasan~! Di antara banyaknya cerita hantu dari Jepang, sadako adalah salah satu yang paling menakutkan dan terkenal. Sosoknya sering digambarkan sebagai gadis berambut panjang yang mengenakan kimono putih, dengan wajah tertutup rambut dan tangan yang keluar dari televisi atau sumur. Namun, dari mana sebenarnya legenda Sadako berasal? Apakah ada kepercayaan di balik mitos ini? Bagaimana eksistensinya berkembang dari waktu ke waktu?

Pandai Kotoba pada artikel ini akan mengupas tuntas mengenai sadako sang hantu legendaris Jepang mulai asal-usul mitos, kepercayaan masyarakat Jepang terkait hantu ini, hingga bagaimana sosoknya terus hidup dalam budaya populer hingga saat ini. Yuk, kita cari tahu di bawah ini.

sadako 2
Ilustrasi Sadako
mclover.hateblo.jp

Sadako, Misteri dari sang Hantu Legendaris Jepang

A. Asal-Usul Mitos Sadako

Mitos Sadako muncul (貞子) melalui proses panjang yang berakar dari cerita rakyat Jepang, kemudian berevolusi menjadi legenda horor modern melalui sastra dan film. Untuk memahami sepenuhnya asal-usulnya, kita perlu menelusuri dua sumber utama yang membentuk karakter Sadako, yaitu dari tradisi kuno yurei (hantu Jepang) dan kreasi sastra Koji Suzuki dalam novel “Ring”. Berikut di bawah ini penjelasannya.

1. Akarnya dalam Cerita Rakyat: Okiku dan Banchou Sarayashiki

Sebelum nama Sadako (貞子) dikenal, Jepang telah memiliki legenda hantu wanita yang mirip, terutama dalam cerita “Banchou Sarayashiki” (番町皿屋敷) yang berkisah tentang seorang pelayan bernama Okiku. Konon, Okiku bekerja di rumah seorang samurai yang menyimpan sepuluh piring berharga. Suatu hari, salah satu piring itu hilang, dan Okiku dituduh mencurinya.

Dalam keputusasaan, ia memilih untuk bunuh diri dengan menceburkan diri ke dalam sumur. Setelah kematiannya, arwahnya terus menghantui sumur tersebut, muncul setiap malam sambil menghitung piring satu per satu dengan suara menyeramkan seperti “Hitotsu… futatsu… mittsu… (Satu… dua… tiga…) hingga sembilan, lalu menjerit ketakutan karena piring kesepuluh tidak ada.

Ghost of Okiku
Hantu Okiku
monster.fandom.com

Cerita Okiku ini sangat populer di zaman Edo (1603-1868) dan menjadi salah satu Kaidan atau cerita hantu klasik Jepang yang sering dipentaskan dalam teater kabuki dan koudan. Elemen-elemen tertentu dari kisah ini seperti sumur sebagai tempat kematian, hantu wanita berambut panjang, dan balas dendam dari alam baka yang kelak menjadi fondasi bagi karakter Sadako.

2. Transformasi Menjadi Sadako Yamamura: Novel “Ring” dan Psikologi Horor Modern

Meskipun Okiku memberikan kerangka dasar, sosok Sadako seperti yang kita kenal sekarang adalah kreasi penulis horor Koji Suzuki dalam novel “Ring” (1991). Suzuki mengambil inspirasi dari legenda Okiku tetapi memberinya sentuhan modern yang sesuai dengan ketakutan kontemporer. Dalam novelnya, Sadako Yamamura (山村 貞子) bukan pelayan yang tidak bersalah, tapi seorang gadis dengan kemampuan paranormal yang luar biasa. Ia adalah anak dari seorang medium terkenal, Shizuko Yamamura yang memiliki kekuatan psikokinesis (menggerakkan benda dengan pikiran).

sadako
Sadako dari Adegan Film
denji-ch.hatenablog.com

Sadako menjadi korban kebencian dan ketakutan orang-orang di sekitarnya. Suatu hari, ia dilemparkan ke dalam sumur oleh seorang dokter yang takut akan kekuatannya. Terjebak di dalam kegelapan, ia mati secara perlahan sambil memendam dendam yang mendalam. Rohnya kemudian menyatu dengan energi psikisnya, menciptakan kutukan yang terwujud melalui rekaman video. Siapa pun yang menonton kaset tersebut akan menerima telepon dengan pesan: “Kamu akan mati dalam tujuh hari.” Jika korban tidak mematahkan kutukan dengan cara tertentu, Sadako akan muncul. Biasanya merangkak keluar dari layar televisi untuk mencabut nyawa mereka.

Perbedaan utama antara Okiku dan Sadako terletak pada medium kutukan mereka. Jika Okiku menghantui melalui ritual penghitungan piring, Sadako menggunakan teknologi seperti kaset video dan televisi sebagai alat balas dendam. Ini mencerminkan pergeseran ketakutan masyarakat dari hal-hal tradisional seperti dari sumur dan hantu klasik ke hal-hal modern seperti media elektronik dan ketidakpastian teknologi.

3. Pengaruh Budaya dan Psikologis di Balik Kreasi Sadako

Ada beberapa faktor mengapa karakter Sadako begitu efektif dalam menciptakan horor seperti berikut ini:

A. Ketakutan akan Teknologi
Pada 1990-an, televisi dan video menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Dengan membuat televisi sebagai “gerbang” bagi roh jahat, Suzuki mengeksploitasi ketakutan bawah sadar masyarakat terhadap perangkat yang seharusnya bersifat netral

B. Estetika Yurei (幽霊) yang Klasik
Sadako mempertahankan ciri-ciri hantu wanita Jepang tradisional, yaitu rambut hitam panjang yang menutupi wajah, kimono putih (simbol kematian), dan gerakan merangkak yang tidak wajar. Ini memberinya kesan mengerikan sekaligus familiar bagi penonton Jepang.

C. Dendam yang Tak Terlampiaskan
Seperti banyak hantu dalam cerita Jepang, motivasi Sadako adalah balas dendam atas ketidakadilan yang ia alami. Kisahnya mencerminkan ketakutan universal akan kematian yang tidak damai dan keinginan untuk menghukum mereka yang bersalah.

Dengan menggabungkan elemen tradisional dan modern, Koji Suzuki berhasil menciptakan sosok horor yang tidak hanya menakutkan, tapi juga kaya akan lapisan makna budaya. Dari sinilah Sadako berevolusi dari sekadar inspirasi cerita rakyat menjadi ikon horor yang diakui di seluruh dunia.

B. Kepercayaan Masyarakat Jepang Terkait Sadako

Masyarakat Jepang memiliki hubungan yang kompleks dengan dunia spiritual, ketika batas antara yang nyata dan supranatural sering kali samar. Kepercayaan terhadap sosok Sadako tidak bisa dipisahkan dari landasan budaya Jepang yang kaya akan mitologi dan cerita rakyat tentang arwah penasaran. Untuk memahami mengapa karakter ini begitu mudah diterima dan ditakuti, kita perlu menyelami beberapa aspek fundamental kepercayaan Jepang tentang kematian dan dunia arwah. Yuk kita lanjut di bawah ini.

1. Konsep Yurei, Arwah Penasaran dalam Budaya Jepang

Dalam kosmologi spiritual Jepang, terdapat kepercayaan bahwa jiwa seseorang yang meninggal dalam keadaan emosi ekstrem, terutama kemarahan, kesedihan, atau dendam dapat berubah menjadi yuurei (幽霊), atau arwah penasaran. Tidak seperti hantu dalam pengertian Barat yang sering digambarkan sebagai entitas tanpa tujuan, yurei memiliki motif yang jelas yaitu menyelesaikan urusan yang tertunda di dunia fana. Konsep inilah yang membentuk dasar psikologis karakter Sadako.

Tradisi menggambarkan yurei memiliki ciri-ciri tertentu yang konsisten sepertu wajah pucat, rambut hitam panjang yang terurai, dan pakaian putih yang menyerupai kain kafan pemakaman. Unsur-unsur visual ini kemudian diadopsi secara sempurna dalam penggambaran Sadako dan menciptakan resonansi budaya yang langsung dipahami oleh penonton Jepang. Menariknya lagi, gerakan merangkak keluar dari televisi yang menjadi ciri khas Sadako sebenarnya merupakan modernisasi dari konsep tradisional yūrei yang biasanya melayang atau muncul tiba-tiba dari kegelapan.

2. Sumur sebagai Gerbang Spiritual

Dalam mitologi Sadako, sumur memainkan peran utama baik secara naratif maupun simbolis. Kepercayaan ini berakar pada tradisi Jepang kuno yang memandang sumur sebagai “pintu” antara dunia manusia dan alam spiritual. Beberapa kuil Shinto bahkan memiliki sumur suci yang dianggap sebagai tempat bersemayamnya Kami (dewa atau roh). Dalam banyak cerita rakyat, sumur sering dikaitkan dengan kematian dan dunia bawah, mungkin karena sifatnya yang gelap, dalam, dan mengandung air yang secara tradisional dianggap sebagai unsur penghubung antara dimensi.

sumur jepang
Sumur di Jepang
flickr.com

Konsep ini diperkuat oleh fakta historis bahwa sumur memang sering menjadi tempat bunuh diri di Jepang masa lalu. Dalam konteks Sadako, sumur selain menjadi lokasi kematian fisik, tapi juga menjadi semacam “tempat penyimpanan” energi negatif yang kemudian menemukan jalan keluar melalui teknologi modern berupa televisi. Ini mencerminkan kepercayaan bahwa energi spiritual dapat berpindah dan berubah bentuk, dari medium tradisional (sumur) ke medium modern (perangkat elektronik).

3. Kutukan Media: Ketakutan Kontemporer terhadap Teknologi

Salah satu aspek paling jenius dari mitos Sadako adalah bagaimana ia mentransformasikan ketakutan kuno menjadi horor yang relevan dengan masyarakat modern. Konsep “kutukan video” dalam cerita “Ring” menyentuh kegelisahan tersembunyi tentang dampak teknologi terhadap kehidupan manusia. Pada era 1990-an ketika novel dan film ini muncul, masyarakat Jepang sedang mengalami transformasi digital yang cepat, ketika perangkat seperti kaset video dan televisi menjadi pusat kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks ini, kutukan Sadako dapat dibaca sebagai metafora ketakutan terhadap ketergantungan berlebihan pada teknologi, hilangnya batas antara realitas dan virtualitas, dan penyebaran informasi atau pengaruh yang tak terkendali mirip virus.

Kemudian, kepercayaan tentang benda yang “terkutuk” atau “terisi energi negatif” sebenarnya memiliki persepsi dalam budaya Jepang. Konsep tsukumogami (付喪神) dalam Shinto percaya bahwa benda-benda yang berumur panjang dapat mengembangkan jiwa sendiri. Dalam beberapa versi cerita rakyat, benda-benda yang diperlakukan dengan tidak baik bisa membalas dendam. Kutukan kaset video Sadako dapat dilihat sebagai versi modern dari kepercayaan kuno ini.

4. Tragedi Personal dan Kolektif dalam Narasi Sadako

Di balik lapisan supranatural, daya tarik Sadako juga berasal dari aspek psikologis yang sangat manusiawi seperti kisah tentang ketidakadilan dan penderitaan yang tidak terungkap. Masyarakat Jepang secara tradisional sangat menghargai konsep Muenbotoke (無縁仏), yaitu jiwa-jiwa yang tidak memiliki keluarga atau orang yang mendoakan mereka. Roh-roh seperti ini dianggap paling berpotensi menjadi arwah penasaran.

Karakter Sadako sebagai korban pembunuhan yang dikuburkan secara tidak layak di dasar sumur dapat menyentuh kepekaan budaya ini. Dalam versi asli cerita, dendamnya baru bisa berakhir ketika kebenaran tentang kematiannya terungkap dan jenazahnya diberi pemakaman yang layak. Ini mencerminkan kepercayaan tradisional bahwa upacara dan pengakuan kesalahan penting untuk menenangkan arwah.

5. Pengaruh Peristiwa Historis pada Pembentukan Mitos

Beberapa peneliti budaya melihat kemiripan antara nasib Sadako dengan trauma kolektif Jepang pasca Perang Dunia II, khususnya korban bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Penggambaran Sadako yang terdistorsi secara fisik kadang diinterpretasikan sebagai metafora korban radiasi. Rambutnya yang menutupi wajah bisa diasosiasikan dengan korban yang wajahnya rusak akibat luka bakar.

Meskipun Koji Suzuki tidak pernah secara eksplisit menyatakan hubungan ini, tidak bisa dipungkiri bahwa kesedihan kolektif bangsa Jepang terhadap berbagai tragedi sejarah turut membentuk karakter horor yang muncul dalam budaya populer pasca perang. Sadako, dalam hal ini, bisa dilihat sebagai representasi berbagai “arwah” yang belum mendapatkan keadilan.

6. Kesinambungan antara Kepercayaan Kuno dan Horor Modern

Yang membuat mitos Sadako begitu kuat adalah kemampuannya menjembatani tradisi kuno dengan ketakutan modern. Dalam banyak hal, Sadako adalah yurei abad ke-20 yang memanifestasikan diri melalui teknologi kontemporer. Kepercayaan masyarakat Jepang terhadapnya tidak muncul dari ruang hampa, tapi merupakan kelanjutan logis dari sistem kepercayaan yang sudah ada sejak berabad-abad.

Ketika seseorang di Jepang menonton film “Ring” dan merasa takut terhadap Sadako, pada tingkat tertentu mereka sebenarnya sedang merespons warisan budaya leluhur mereka sendiri, seperti ketakutan terhadap arwah yang tidak tenang, keyakinan akan adanya dunia paralel yang penuh dengan roh, dan kepercayaan bahwa ketidakadilan bisa melampaui batas kematian. Ini yang membuat Sadako selain menjadi karakter fiksi, tapi juga menjadi bagian dari psikologi kolektif masyarakat Jepang modern dalam memproses ketakutan mereka terhadap yang tak dikenal.

C. Eksistensi Sadako dari Masa ke Masa

Perjalanan Sadako dari karakter dalam novel horor menjadi fenomena budaya global merupakan proses transformasi yang mencerminkan perubahan medium, teknologi, dan selera masyarakat terhadap horor. Eksistensinya yang terus berevolusi selama lebih dari tiga dekade menunjukkan betapa karakter ini telah melampaui batas-batas cerita aslinya, berubah menjadi semacam horor modern yang terus menemukan relevansinya di setiap era. Berikut ini akan dijelaskan lebih detail.

1. Era 1990-an: Kelahiran Sebuah Legenda Modern

Akar eksistensi Sadako bermula pada tahun 1991 ketika Koji Suzuki menerbitkan novel “Ring”, sebuah karya yang awalnya tidak diduga akan menjadi fondasi salah satu waralaba horor paling berpengaruh di Asia. Novel ini dengan pendekatannya yang unik menggabungkan unsur-unsur sains fiksi dengan horor tradisional Jepang yang menciptakan formula baru yang segera menarik perhatian pembaca.

Yang membedakan Sadako dari hantu-hantu tradisional adalah cara penyebaran kutukannya melalui teknologi sehari-hari yang pada masa itu sedang berkembang pesat, yaitu rekaman video. Konsep revolusioner ini menyentuh ketakutan bawah sadar masyarakat Jepang di era bubble economy yang sedang bergulat dengan dampak modernisasi yang cepat.

ring movie poster
Poster Film “Ring” Tahun 1998
imdb.com

Titik balik utama terjadi pada tahun 1998 ketika Hideo Nakata mengadaptasi novel tersebut ke dalam medium film. Adaptasi ini melakukan beberapa perubahan signifikan terhadap karakter Sadako, terutama dalam aspek visual. Adegan ikonik ketika Sadako merangkak keluar dari televisi yang sebenarnya tidak ada dalam versi novel menjadi momen yang mengubah wajah horor Jepang selamanya. Film ini tidak hanya sukses secara komersial, tapi juga menciptakan bahasa visual baru untuk genre horor. Gerakan merangkak Sadako yang tidak wajar dengan sendirinya menjadi semacam kode budaya yang langsung dikenali dan ditakuti.

2. Awal 2000-an: Melintasi Batas Budaya

Kesuksesan film “Ring” memicu gelombang baru yang disebut J-Horror Boom, ketika berbagai film horor Jepang mulai mendapatkan pengakuan internasional. Sadako berada di garis depan fenomena ini menjadi wajah dari apa yang disebut sebagai “horor baru Asia” yang berbeda dengan horor Barat. Pada tahun 2002, remake Hollywood berjudul “The Ring” membawa Sadako yang diubah namanya menjadi Samara untuk penonton Barat ke panggung global. Adaptasi ini sukses besar, meraup lebih dari $249 juta di seluruh dunia, dan menciptakan pola baru dalam industri horor Hollywood untuk mencari materi dari Asia.

the ring 2002 movie poster
Poster Film “The Ring” Tahun 2002
imdb.com

Yang menarik adalah bagaimana karakter Sadako/Samara mengalami transformasi makna dalam proses lintas budaya ini. Di Jepang, Sadako mewakili ketakutan akan teknologi yang mengganggu tatanan sosial tradisional. Sementara di Barat, Samara lebih diasosiasikan dengan tema pengasuhan anak yang bermasalah dan keluarga yang disfungsional. Proses adaptasi ini menunjukkan fleksibilitas karakter Sadako sebagai simbol yang bisa diisi dengan berbagai ketakutan kultural berbeda.

3. Pertengahan 2000-an hingga 2010-an: Komodifikasi dan Eksperimentasi

Dengan kesuksesan globalnya, Sadako mulai mengalami proses komodifikasi yang tak terhindarkan. Berbagai sekuel, prekuel, dan spin-off diproduksi baik di Jepang maupun Hollywood, dengan kualitas yang beragam. Tahun 2012 menandai titik yang menarik dengan dirilisnya “Sadako 3D”, upaya untuk membawa karakter ini ke era teknologi baru yaitu 3D atau tiga dimensi. Film ini meski kurang mendapat sambutan kritis, menunjukkan bagaimana Sadako terus berusaha beradaptasi dengan perkembangan teknologi media.

sadako vs kayako 2016 movie poster
Poster Film “Sadako vs Kayako” Tahun 2016
imdb.com

Pada periode ini juga muncul berbagai eksperimen dengan karakter Sadako, termasuk crossover tidak terduga dalam “Sadako vs Kayako” (2016) yang mempertemukan dua ikon horor Jepang. Film ini meski pada dasarnya bersifat komersial, secara menarik mengeksplorasi mitologi kedua karakter tersebut dan menciptakan semacam “universal horor” ala Jepang. Sadako juga mulai muncul dalam berbagai medium lain, termasuk manga, novel grafis, dan bahkan pachinko (mesin permainan arcade Jepang) menunjukkan bagaimana karakter ini telah sepenuhnya terasimilasi ke dalam budaya pop Jepang.

5. Era 2010-an hingga Sekarang: Digitalisasi dan Keabadian Virtual

Memasuki era digital, eksistensi Sadako menemukan bentuk baru yang mungkin tidak terbayangkan oleh penciptanya. Karakter ini menjadi subjek berbagai meme internet, challenge di platform seperti TikTok, dan bahkan muncul dalam game populer seperti “Dead by Daylight”. Transformasi ini menunjukkan pergeseran dari Sadako sebagai entitas horor murni menjadi semacam ikon budaya yang bisa dieksplorasi secara lebih luas.

sadako dx 2022 movie poster
Poster Film “Sadako DX” Tahun 2022
imdb.com

Menariknya lagi, bagaimana medium digital justru mengembalikan Sadako ke akarnya sebagai “kutukan media”. Sekarang tidak melalui kaset VHS yang sudah usang, tapi melalui platform digital kontemporer. Beberapa karya baru seperti “Sadako DX” (2022) secara sadar bermain dengan konsep ini, mengeksplorasi bagaimana kutukan Sadako akan bekerja di era media sosial dan konten viral. Adaptasi Netflix tahun 2019 juga mencoba membawa karakter ini ke generasi baru, meski dengan hasil yang beragam.

6. Masa Depan: Sadako sebagai Warisan Budaya?

Sekarang lebih dari 30 tahun sejak kemunculan pertamanya, Sadako telah melampaui statusnya sebagai sekadar karakter horor. Ia telah menjadi bagian dari warisan budaya Jepang modern, setara dengan yokai dan hantu-hantu tradisional dalam hal pengakuan dan daya tahannya. Universitas-universitas mulai membahasnya dalam konteks kajian budaya populer, museum horor Jepang memajang replika kostumnya, dan generasi baru terus menemukan karakter ini melalui berbagai medium.

Eksistensi Sadako dari masa ke masa mencerminkan evolusi masyarakat dalam mengonsumsi horor dari media cetak ke film, dari layar lebar ke game digital, dan sekarang ke dunia virtual yang semakin kabur batasnya. Yang tetap konstan adalah kemampuannya untuk mewujudkan ketakutan kontemporer, suatu kualitas yang memastikan bahwa selama masih ada teknologi baru dan ketakutan yang menyertainya, Sadako akan terus menemukan cara untuk merangkak keluar dari layar-layar di masa depan.


Sadako adalah salah satu hantu paling ikonis di Jepang, yang terinspirasi dari cerita rakyat Okiku dan dikembangkan melalui novel “Ring”. Keberadaannya terus hidup karena konsep kutukan modern yang relevan dengan teknologi, ketakutan universal akan kematian dan arwah balas dendam, dan adaptasi film serta game yang membuatnya terus diperbarui.

Dari sumur tua di pedesaan Jepang hingga algoritma digital yang tak terlihat, perjalanan Sadako mencerminkan evolusi horor itu sendiri. Dia mungkin diciptakan sebagai karakter fiksi, tapi melalui puluhan adaptasi dan reinterpretasi, Sadako telah menjadi lebih dari hantu bantu, dia adalah cermin gelap yang memantulkan ketakutan kolektif kita di setiap era.

Dari sumur tua hingga layar TV, Sadako telah menjadi simbol horor Jepang yang abadi. Apakah Minasan berani menonton kasetnya lagi? Hihihi… Cukup segitu yang bisa Pandai Kotoba berikan mengenai Sadako sang hantu legendaris dari Jepang.

Jika Minasan ingin tahu budaya dan trivia Jepang lainnya, di website Pandai Kotoba ini tersedia banyak lho. Yuk kepoin yang satu ini: Boneka Daruma, Simbol Keberuntung di Jepang. Klik untuk membacanya ya. Sampai jumpa di artikel selanjutnya!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *