Wagashi no Shiki, Kalender Musiman Kue Tradisional Jepang yang Penuh Makna
Hai Minasan~! Di jantung budaya Jepang yang halus dan penuh perhatian terhadap detail, terdapat seni yang tidak hanya memuaskan lidah, tapi juga menyentuh jiwa dan merayakan irama alamnya. Seni ini disebut Wagashi (和菓子). Kue tradisional Jepang ini lebih dari camilan biasa lho. Lalu, ketika kita membicarakan Wagashi, tidak dapat lepas dari konsep mendasar yang menjadi jiwanya bernama Wagashi no Shiki (和菓子の四季) atau “Wagashi Empat Musim”.
Wagashi no Shiki selain tentang membuat kue yang berbeda untuk setiap musim, tapi punya filosofi dan ibarat puisi visual dan rasa yang menangkap esensi sesaat dari pergantian musim. Rasanya bagaikan desiran angin sepoi-sepoi di musim semi, gemercik hujan musim panas, kemilau bulan musim gugur, dan kesunyian salju musim dingin. Setiap gigitannya adalah perjalanan menarik yang membawa kita lebih dekat pada alam dan warisan budaya Jepang yang kaya.
Pandai Kotoba pada artikel kali ini akan membahas topik yang menarik yaitu Wagashi no Shiki, Kalender Musiman Kue Tradional Jepang, mulai dari apa itu Wagashi no Shiki, menu kue setiap musimnya apa saja, dan bagaimana filosofi di dalamnya. Yuk, kita simak di bawah ini.

photolibrary.jp
Wagashi no Shiki, Kalender Musiman Kue Jepang dan Bahasa Simbolnya
A. Apa Itu Wagashi no Shiki?
Secara harfiah, Wagashi no Shiki berarti “Wagashi untuk Empat Musim”. Kalender musim kue Jepang ini adalah praktik merancang, membuat, dan menikmati Wagashi yang terinspirasi langsung oleh pemandangan, suasana hati, dan fenomena alam yang terjadi pada musim tertentu.
Konsep ini berakar dalam pada estetika Jepang. Konsep tersebut di antaranya adalah Mono no Aware (物の哀れ). Konsep ini adalah sebuah kesadaran akan ketidakkekalan segala sesuatu, kepekaan terhadap keindahan yang singkat dan melankolis. Mekarnya sakura yang hanya bertahan seminggu adalah perwujudan sempurna dari konsep ini, dan Wagashi musim semi sering mencoba menangkap momen fana ini.

fin.miraiteiban.jp
Selanjutnya, konsep Kisetsukan (季節感) adalah perasaan atau kesadaran akan musim. Bagi orang Jepang, menghargai kisetsukan adalah bagian penting dari kehidupan. Wagashi berfungsi sebagai pengingat indah akan perjalanan waktu dan keindahan unik setiap musim.
Yang terakhir, konsep Shasei (写生) adalah “melukis dari kehidupan”. Banyak Wagashi, terutama Nerikiri yang dirancang untuk meniru bentuk alam seperti bunga, daun, burung, atau pemandangan sungai dengan presisi baik dan keanggunan yang luar biasa. Oleh karena itu, Wagashi no Shiki adalah ekspresi budaya yang mendalam. Kue ini menjadi medium seni yang dapat dimakan dan ibarat sebuah haiku tiga dimensi yang terbuat dari kacang merah, beras, dan agar-agar.
B. Macam-Macam Wagashi no Shiki dalam Empat Musim
Bagian ini jadi inti dari pengalaman di mana filosofi dan sejarah itu mewujud menjadi keindahan yang dapat dilihat, disentuh, dan dirasakan. Setiap musim memiliki Wagashi-nya sendiri dan setiap Wagashi adalah cerita tiga dimensi yang merangkum pemandangan, suara, dan perasaan musim tersebut. Yuk, kita jelajahi galeri rasa dan bentuk yang ditawarkan Wagashi no Shiki sepanjang tahun di bawah ini
1. Musim Semi atau Haru (春), Kebangkitan dan Harapan yang Lembut
Musim semi di Jepang adalah drama yang lembut dan fana. Dimulai dengan mekarnya bunga plum atau ume yang berani, diikuti oleh lautan sakura yang memukau, dan diakhiri dengan bunga rapeseed atau nanohana yang cerah. Wagashi musim semi mencerminkan transisi ini dengan warna-warna pastel dan bentuk-bentuk yang elegan.
Yang pertama, Sakura Mochi (桜餅) adalah ikon musim semi ini sendiri memiliki dua karakter yang berbeda mencerminkan perbedaan budaya antara Kanto dan Kansai. Pada gaya Kansai atau disebut Doumyouji-ryuu (道明寺流) asalnya dari Osaka menggunakan beras ketan yang dikukus dan dikeringkan kemudian ditumbuk kasar yang disebut Doumyoujiko.

543life.com
Ini memberikan tekstur yang unik seperti butiran pasir yang lembap dan kenyal. Dibungkus dengan daun sakura yang diasamkan (sakura no ha) yang tidak hanya harumtapi juga bisa dimakan. Rasa asin dari daunnya menjadi kontras yang sempurna untuk manisnya pasta kacang merah di dalamnya.
Selain itu ada Sakura Mochi gaya Kanto atau disebut Choumeiji-ryuu (長命寺流) asalnya dari Tokyo. Berbentuk seperti crepe/pancake tipis yang terbuat dari adonan tepung beras dan gula, diberi warna pink, dipanggang, lalu dibungkus mengelilingi isian pasta kacang merah. Teksturnya lebih halus dan lembut. Juga dibungkus daun sakura asin.
Yang kedua, Kusa Mochi (草餅) atau “Mochi rumput adalah perwujudan dari bumi yang bangkit kembali. Warna hijaunya yang khas berasal dari tanaman yomogi (mugwort) yang tumbuh liar di awal musim semi. Rasanya sedikit pahit, earthy, dan aromatik mengingatkan pada tumbuhan liar segar. Rasa ini melambangkan kekuatan dan kehidupan baru. Sering diisi dengan anko atau pasta kacang merah.
Yang ketiga, Nerikiri bertema musim semi yang menjadi andalan utama para pengrajin. Dengan menggunakan adonan nerikiri yang lentur, mereka menciptakan miniatur alam yang memukau di antaranya adalah ume (plum blossom) dibentuk seperti bunga plum berkelopak lima, sering dengan warna pink dan putih, dengan sedikit anko merah di tengah sebagai putik.
Lalu, ada Yanagi (pohon willow) dibentuk menyerupai ranting pohon willow yang baru bertunas dengan garis-garis halus berwarna hijau muda. Melambangkan angin sepoi-sepoi musim semi. Selain itu, ada Oboro (kabut) yang dibentuk bulat dengan gradasi warna putih dan pink yang sangat halus, seperti langit di balik kabut musim semi yang tipis. Nama puitisnya adalah Oborozuki (bulan dalam kabut).
2. Musim Panas atau Natsu (夏), Ilusi Kesejukan dan Kesegaran
Musim panas di Jepang identik dengan kelembapan tinggi dan hawa yang terik. Wagashi musim panas dirancang untuk menipu indra. Mereka menciptakan ilusi kesejukan melalui warna, tekstur, dan transparansi.
Yang pertama, Mizu Youkan (水羊羹) adalah versi “ringan” dari Youkan biasa. Kandungan airnya jauh lebih tinggi, membuat teksturnya lebih lembut, hampir seperti puding yang meleleh. Rasa manisnya juga lebih ringan sehingga tidak membebani di cuaca panas. Disajikan dingin, ia menjadi penyejuk tubuh yang sempurna. Sering dibuat dengan rasa matcha (hijau) atau kuri (kastanye) meski di musim panas.

kasitake.co.jp
Yang kedua, Kingyoku (錦玉羹) sangat mungkin menjadi Wagashi paling fotogenik di musim panas ini. Terbuat dari agar-agar berkualitas tinggi yang bening seperti kristal, sering diletakkan di atas lapisan Youkan berwarna. Pengrajin membentuknya menyerupai sungai yang jernih, ikan koi yang berenang, atau bahkan kincir air (shishiodoshi). Ketika digigit, teksturnya menggigil-gigil dan menyegarkan, meleleh di mulut.
Yang ketiga, Kuzukiri (葛切り) adalah mi transparan yang kenyal dan licin ini terbuat dari tepung kuzu (arrowroot), tanaman yang akarnya dianggap memiliki efek mendinginkan tubuh dalam pengobatan tradisional Jepang. Disajikan dengan celupan kuro mitsu atau sirup gula hitam pekat yang memberi rasa manis yang dalam. Kontras antara mi yang tawar dan menyegarkan dengan sirup yang kaya rasanya adalah pengalaman yang unik.
Yang keempat ada Nerikiri bertema musim panas seperti Suikaden (water lily atau reratai) berbentuk bunga teratai yang elegan yang mengapung di atas air, sering dengan kelopak putih dan sentuhan kuning atau pink. Kemudian, Ajisai (Hydrangea) berbentuk bola-bola kecil berwarna biru, ungu, dan hijau yang disusun membentuk bunga hydrangea, yang mekar tepat di musim hujan (tsuyu). Terakhir, ada Kawa no Nagare (Aliran Sungai) dibentuk dengan garis-garis biru dan putih yang berkelok, melambangkan sungai yang sejuk dan jernih.
3. Musim Gugur atau Aki (秋), Kematangan dan Renungan Puitis
Musim gugur adalah musim panen dan perenungan hidup. Udara menjadi jernih, bulan purnama bersinar terang (otsukimi), dan daun-daun berubah menjadi lukisan alam berwarna merah dan emas. Wagashi musim gugur kaya, hangat, dan penuh makna.
Yang pertama, Tsukimi Dango (月見団子) biasanya untuk festival melihat bulan, keluarga Jepang menyusun 15 buah dango putih atau 12 untuk beberapa wilayah menjadi piramida dan menempatkannya di tempat yang terlihat bulan sebagai persembahan. Dango-nya sendiri sederhana, tapi maknanya dalam: ia melambangkan bulan purnama itu sendiri dan merupakan doa untuk panen yang berlimpah. Kadang disertai dengan rumput susuki atau rumput pampas.

nagoshi.co.jp
Yang kedua, Kuri no Kashi (Kue Kastanye) adalah rasa ikonik musim gugur ini. Ada kuri Manju (栗饅頭) yang diisi dengan pasta kacang merah yang dicampir potongan atau pasta kastanye utuh. Selain itu, ada Kuri Kanoko (栗鹿の子) atau “Kulit Rusa Kastanye” yang dinamai seperti ini karena tekstur luarnya yang berbintik-bintik seperti anak rusa. Terbuat dari shiroan atau pasta kacang putih yang dibalut kacang merah kasar (tsubuan) dan berisi kastanye utuh di tengahnya.
Yang ketiga, Momiji ata daun maple adalah simbol utama dari musim gugur. Momiji Manju (楓饅頭) khususnya terkenal dari Miyajima. Berbentuk seperti daun maple, biasanya dipanggang dengan cetakan besi yang memberikan pola daun yang detail. Berisi berbagai rasa, dari anko klasik hingga cokelat dan kastanye.
Yang keempat, ada Nerikiri bertema musim gugur. Kiku (Chrysanthemum) adalah bunga nasional Jepang yang mekar di musim gugur, dibentuk dengan kelopak yang runcing dan rapi. Kemudian, Usagi (kelinci) yang terkait dengan legenda kelinci di bulan (Tsuki no Usagi) ditumbuk untuk membuat mochi. Bentuk kelinci yang imut adalah tema yang sangat populer. Terakhir, ada Kaki (kesemek) dibentuk seperti buah kesemek berwarna oranye dengan detail “batang” kecil di atasnya.
4. Musim Dingin atau Fuyu (冬), Ketenangan dan Kehangatan yang Membangkitkan Jiwa
Musim dingin adalah musim kesunyian, salju, dan antisipasi untuk tahun baru. Wagashi-nya sering menampilkan kontras dramatis antara terang dan gelap, serta makanan hangat untuk menghangatkan tubuh dan jiwa.
Yang pertama, Yuki no Youkan (雪の羊羹) atau Natsu no Youkan (夏の羊羹) adalah sebuah ilusi visual yang cerdik. Secara tradisional, ini adalah Youkan dua lapis di antaranya ada lapisan bawah yang berwarna gelap biasanya rasa matcha atau kacang merah biasa dan lapisan atas yang berwarna putih dari shiroan.

furusato-tax.jp
Ketika dipotong, ini menciptakan pemandangan salju yang menutupi bumi atau pegunungan. Di musim dingin, ia disebut Yuki no Youkan. Di musim panas, versi yang sama dengan lapisan putih di atas disebut Natsu no Youkan atau Youkan Musim Panas untuk memberi kesan sejuk.
Yang kedua, Zenzai/Oshiruko (ぜんざい/おしるこ) adalah comfort food untuk musim dingin. Keduanya adalah sup atau sirup manis dan hangat yang terbuat dari kacang merah, disajikan dengan mochi yang dipanggang hingga mengembang. Zenzai ini lebih kental dan sering menggunakan azuki merah utuh atau yang dihancurkan kasar. Sedangkan, Oshiruko ini lebih encer dan disaring, sehingga tekstur sirupnya lebih halus. Menyeruput semangkuk Zenzai atau Oshiruko sambil merasakan mochi yang kenyal adalah kegiatan musim dingin yang sangat disayangi.
Yang keempat, Hatsuhinode (初日の出) atau “Matahari Terbit Pertama” pada tanggal 1 Januari. Banyak Nerikiri Tahun Baru yang dibuat dengan tema ini, menampilkan gradasi warna kuning, oranye, dan merah di atas bentuk bulat atau gunung, melambangkan harapan dan awal yang baru.
Yang kelima, Nerikiri bertema musim dingin. Yukiusagi (kelinci salju) bentuknya kelinci yang terbuat dari adonan putih murni, melambangkan kelinci yang berlarian di atas salju. Lalu, ada Hagi no Hana (bush clover) yang meski mekar di awal musim gugur, bentuknya yang halus dan warna-warna lembutnya juga digunakan di musim dingin sebagai pengingat keindahan yang tertahan. Selain itu, ada Kanzan (gunung bersalju) yang bentuk gunung runcing dengan hiasan putih di puncaknya, sangat sederhana tapi powerful.
Dengan menelusuri ragam ini, kita memahami bahwa Wagashi no Shiki adalah bukan daftar menu statis, tapi bahasa yang hidup dan dialog berkelanjutan antara manusia, budaya, dan alam yang terus berputar. Setiap kue adalah sebuah undangan untuk berhenti sejenak, memperhatikan, dan merasakan kehadiran musim yang sesungguhnya.
C. Asal-Usul dan Evolusi dari Wagashi no Shiki
Bagian ini merupakan fondasi yang menjelaskan mengapa dan bagaimana hubungan simbiosis antara Wagashi dengan musim bisa terbentuk begitu kuat dalam budaya Jepang. Perkembangannya adalah sebuah proses evolusi yang lambat, teratur, dan dipupuk oleh tiga elemen kunci, yaitu agama, teh, dan gula. Berikut ini adalah penjelasannya ya.
1. Zaman Kuno (Asuka hingga Heian Awal: Abad ke-6 – 794), Akar di dalam Persembahan Buddha
Awal mula Wagashi tidak dapat dipisahkan dari masuknya agama Buddha ke Jepang dari Cina melalui Korea pada abad ke-6. Pertama, sebagai makanan persembahan atau disebut dengan Kuyou no Shokuhin (供養の食品). Dalam ritual Buddha, berbagai makanan dipersembahkan kepada Buddha dan para dewa. Jenis makanan yang awal ini disebut 果物 (kudamono/kashi) yang awalnya berarti “buah-buahan dan kacang-kacangan”. Ini adalah cikal bakal linguistik dari kata “kashi” (菓子) yang berarti kue atau manisan.

mag.japaaan.com
Kemudian, bentuk Wagashi paling purba adalah Dango atau bola tepung beras dan Mochi atau kue beras. Keduanya terbuat dari bahan sederhana terdiri dari beras, jawawut, dan gandum yang dikukus atau ditumbuk. Pada tahap ini, mereka belum manis seperti sekarang. Pemanis yang ada sangat terbatas dan langka, hanya berupa mizuame yang sejenis sirup malt dari beras atau ubi dan madu.
Mochi dengan tekstur kenyal dan tahan lama mulai memiliki makna simbolis. Ia melambangkan kesehatan, umur panjang, dan kemakmuran. Meskipun kesadaran musim sudah ada dalam puisi dan kalender istana seperti dalam Genji Monogatari, penerapannya pada Wagashi masih sangat sederhana dan terbatas pada bahan yang tersedia secara musiman.
2. Zaman Pertengahan (Heian Akhir hingga Muromachi: 794 – 1573), Ditempa dalam Cangkir Teh
Periode ini adalah titik balik terpenting, ketika Wagashi mulai menemukan jati dirinya yang elegan dan filosofis, berkat dua pengaruh besar, yaitu yang pertama, pengaruh Bangsawan Istana atau Kuge (公家). Di istana Kaisar Heian-kyo (Kyoto), para bangsawan mengembangkan budaya yang sangat halus dan peka terhadap alam.
Puisi waka merayakan bunga sakura, bulan purnama, dan salju. Konsep Kisetsukan (sensitivitas musiman) menjadi penanda kecanggihan. Makanan ringan yang disajikan dalam pesta puisi (utakai) mulai mencerminkan tema musiman ini, meski dalam bentuk yang masih sederhana.
Yang kedua, revolusi melalui upacara minum teh atau Sadou (茶道). Momen ini yang benar-benar mematri hubungan antara Wagashi dan musim. Dengan berkembangnya praktik minum teh yang dipelopori oleh murid-murid seperti Sen no Rikyuu, filosofi Wabi Sabi yang menghargai kesederhanaan, kesunyian, dan ketidaksempurnaan menjadi pusat estetika.
Konsep Ichi-go Ichi-e (一期一会) atau “satu pertemuan, satu kesempatan” menekankan keunikan dan ketidakkekalan setiap momen. Wagashi yang disajikan dalam upacara teh harus selaras dengan momen tersebut—dengan musim, cuaca, dan tema pertemuan. Lalu, teh matcha yang pekat dan pahit membutuhkan penyeimbang. Wagashi berfungsi untuk membersihkan palate sebelum minum teh. Rasa Wagashi yang tidak terlalu manis dan bahannya yang alami cocok dengan kesederhanaan wabi sabi.
Semenjak saat itu, lahirlah klasifikasi Wagashi untuk upacara teh. Ada Higashi (干菓子) atau “kue kering” seperti rakugan (kue gula padat) dan senbei (kerupuk beras). Cocok untuk suasana formal Soan (gubuk jerami) karena tidak meninggalkan remah dan tahan lama. Selanjutnya, ada Namagashi (生菓子) atau “kue basah” dengan kadar air tinggi, seperti Nerikiri dan Manju. Rasanya lebih halus, lembut, dan sering mencerminkan musim secara langsung. Hal ini menjadi titik dimulai dari Wagashi no Shiki yang kita kenal sekarang.
3. Zaman Edo (1603 – 1868), Masa Keemasan dan Demokratisasi
Zaman Edo adalah ibarat era di mana semua benih yang ditabur sebelumnya akhirnya mekar dengan sempurna. Berikut di bawah ini beberapa faktor kunci membuat Wagashi no Shiki mencapai puncak popularitas dan artistiknya:
a) Revolusi Gula
Shogun Tokugawa membuka perdagangan yang terbatas, memungkinkan impor gula tebu dalam jumlah yang lebih besar dari China dan melalui Pulau Ryukyu (Okinawa). Gula yang sebelumnya adalah barang mewah untuk kalangan elit, kini menjadi lebih terjangkau oleh kelas pedagang (chounin) yang kaya raya. Ini membuka ledakan kreativitas tanpa preseden di dunia Wagashi.
b) Kemakmuran Kelas Pedagang
Kota-kota seperti Edo, Osaka, dan Kyoto menjadi pusat ekonomi dan budaya. Kelas pedagang yang kaya tetapi secara sosial terbatas, menggunakan kekayaan mereka untuk menikmati seni dan kuliner. Mereka menjadi patron bagi para pengrajin Wagashi (shokunin).
c) Lahirnya Jonama Gashi (上生菓子)
Dengan gula yang melimpah, para shokunin menciptakan Johan Kashi yaitu kategori tinggi Wagashi seni yang dirancang untuk dinikmati dengan semua indra. Teknik Nerikiri disempurnakan. Nerikiri adalah adonan yang terbuat dari pasta kacang putih (shiroan), mochi, dan gula, yang sangat lentur dan bisa diwarnai. Semuanya menjadi bahan utama bagi para pengrajin untuk “melukis” pemandangan musim.

taroan.co.jp
Wagashi tidak hanya meniru alam, tapi juga terinspirasi oleh puisi klasik (waka) dan tema sastra (mitate). Sebuah Wagashi berbentuk sungai yang berkelok-kelok mungkin tidak hanya mewakili sungai, tetapi juga mewakili puisi tentang sungai tertentu dari Manyoshu.
d) Kalender Musim dan Festival
Masyarakat Edo hidup sangat sinkron dengan kalender musim. Setiap bulan memiliki festival dan peristiwa alamnya sendiri, dan toko-toko Wagashi bersaing untuk menciptakan “Wagashi of the Season” untuk merayakannya. Misalnya, Sakura Mochi untuk Hanami, Kashiwa Mochi untuk Kodomo no Hi (Hari Anak-anak), dan Tsukimi Dango untuk Otsukimi.
4. Zaman Modern (Meiji hingga Sekarang: 1868 – Sekarang), Pelestarian di Tengah Arus Globalisasi
Setelah Restorasi Meiji, Jepang membuka diri secara besar-besaran ke Barat. Yougashi (kue Barat) seperti kue sponge dan cokelat masuk dan menjadi sangat populer, melambangkan modernitas. Untuk sementara, Wagashi dianggap ketinggalan zaman. Namun, justru dalam tekanan inilah Wagashi no Shiki menemukan peran barunya sebagai penjaga identitas budaya Jepang.
Pengetahuan dan teknik membuat Wagashi no Shiki mulai dikodifikasi, diajarkan di sekolah-sekolah khusus, dan dilestarikan oleh toko-toko tua (jihonten) yang bangga dengan warisan mereka. Di abad ke-21, di tengah kehidupan yang serba cepat, Wagashi no Shiki justru menawarkan sesuatu yang langka seperti mindfulness dan koneksi dengan alam. Orang-orang termasuk generasi muda, kembali tertarik pada keindahannya yang tenang, bahan-bahannya yang alami, dan cerita di balik setiap kreasi.
D. Eksistensi Wagashi no Shiki di Jepang Modern
Eksistensi Wagashi no Shiki di Jepang kontemporer selain tentang “bertahan hidup” di tengah kuliner modern, tapi juga tentang adaptasi, reposisi, dan penemuan nilai-nilai baru yang relevan dengan gaya hidup modern. Keberadaannya bersifat beragam dan menjangkau berbagai segmen masyarakat dengan cara yang berbeda. Berikut ini penjelasan lebih detailnya ya.
1. Penjaga Tradisi yang Tak Tergantikan
Toko-toko Wagashi turun-temurun yang telah beroperasi selama ratusan tahun bahkan ada yang sejak zaman Edo adalah benteng utama filosofi Wagashi no Shiki. Mereka berfungsi seperti museum hidup dan pusat konservasi.
Toko seperti Toraya (berdiri 1600-an) di Tokyo atau Tawaraya Yoshitomi di Kyoto tidak mengikuti tren sesaat. Mereka memegang kalender musim tradisional dengan ketat. Bagi mereka, menjual Sakura Mochi di luar musim semi adalah sebuah pelanggaran estetika. Pelanggan setia mereka datang justru untuk mencari “rasa musim yang sebenarnya” ini.
Toko tua juga sering kali memiliki hubungan erat dengan aliran-aliran upacara minum teh (iemoto). Mereka menyediakan Jounama Gashi (Wagashi kelas atas) yang dirancang khusus untuk pertemuan teh tertentu, di mana keselarasan tema, musim, dan peralatan teh adalah hal yang mutlak. Mereka menjadi acuan bagi seluruh industri tentang bagaimana Wagashi no Shiki yang “benar” seharusnya dibuat, baik dari segi rasa, teknik, maupun jiwa.
2. Penyebaran melalui Ritel Modern, Supermarket dan Konbini
Jika toko tua adalah ibarat haute couture, maka Wagashi di supermarket dan konbini seperti 7-Eleven, Lawson, FamilyMart adalah ibarat prêt-à-porter. Inilah cara Wagashi no Shiki menyentuh kehidupan sehari-hari hampir seluruh penduduk Jepang. Siapa pun bisa membeli Sakura Mochi dalam kemasan plastik di rak pendingin dengan harga murah. Hal ini membuat kesadaran musim (kisetsukan) melalui Wagashi menjadi pengalaman universal, bukan hanya untuk kalangan elite.
Ritel modern dengan sangat pintar memanfaatkan konsep Wagashi no Shiki. Mereka meluncurkan produk musiman (genteki shouhin) yang terbatas waktunya menciptakan rasa urgensi seperti “Dapatkan Sebelum Habis!” dan kegembiraan. Contoh paling terkenal adalah McDonald’s “Tsukimi Burger” yang muncul setiap musim gugur, terinspirasi langsung dari tradisi Tsukimi (melihat bulan). Ini membuktikan betapa konsep musiman dalam makanan telah meresap sangat dalam.
Bagi anak-anak dan remaja, konbini sering menjadi titik kontak pertama mereka dengan Wagashi tradisional, meski dalam bentuk yang lebih modern dan distandardisasi.
3. Pendidikan dan Pengalaman Budaya di Kelas dan Workshop
Di era saat orang mencari pengalaman (experience economy), Wagashi no Shiki menawarkan sesuatu yang sangat berharga, yaitu aktivitas yang menenangkan, kreatif, dan mendalam secara budaya. Untuk wisatawan, kelas membuat Wagashi terutama Nerikiri adalah aktivitas populer dalam paket wisata. Peserta tidak hanya membawa pulang foto, tapi juga apresiasi terhadap tingkat keterampilan dan estetika yang dibutuhkan. Ini adalah soft diplomacy budaya yang sangat efektif.
Untuk penduduk lokal, banyak orang Jepang modern terutama kaum wanita dan pensiunan mengikuti kelas ini sebagai hobi. Ini adalah cara untuk terhubung dengan akar budaya mereka sendiri, melawan stres kehidupan urban, dan melatih kesabaran serta mindfulness. Membentuk sekuntum bunga dari Nerikiri adalah sebuah meditasi dalam tindakan.
4. Sumber Inspirasi Tak Terbatas bagi Seni Kuliner Modern
Wagashi no Shiki tidak hidup dalam gelembung yang terisolasi. Ia menjadi muse bagi para koki dan pastry chef kontemporer. Kue ini dapat menjadi Fusion Desserts (和風スイーツ). Para chef patisserie yang terlatih secara Barat mulai memasukkan elemen Wagashi ke dalam kreasi mereka. Anda bisa menemukan parfait dengan rasa matcha dan anko, cheese cake rasa kinako (tepung kedelai), atau cokelat yang dibentuk seperti daun maple. Estetika “less is more” dan referensi alam dari Wagashi no Shiki sangat mempengaruhi penyajian dessert modern Jepang.
Kue ini juga dapat menjadi Fine Dining. Dalam restoran kaiseki (menu Jepang berkelas) modern, dessert-nya sering kali merupakan interpretasi kontemporer dari Wagashi menggunakan teknik dan presentasi baru namun tetap memegang kuat tema musiman.
5. Simbol Identitas Nasional dan Diplomasi Budaya
Dalam pergaulan internasional, Wagashi no Shiki berperan sebagai duta besar budaya Jepang yang elegan dan mudah diakses. Wagashi sering dipilih sebagai cenderamata resmi untuk tamu negara atau dalam konferensi internasional. Ia merepresentasikan nilai-nilai Jepang seperti kehalusan, harmoni dengan alam, dan presisi.
Badan promosi pariwisata Jepang seperti JNTO aktif memamerkan Wagashi no Shiki dalam kampanye mereka. Gambar Nerikiri yang cantik dan musiman menjadi daya tarik visual yang kuat, mengundang turis untuk mengalami “Jepang yang sesungguhnya”.
Selain itu, tentu saja ada tantangan dan masa depan untuk kue ini. Keterampilan membuat Wagashi kelas tinggi membutuhkan waktu puluhan tahun untuk dikuasai, dan jumlah pengrajin muda (shokunin) yang bersedia menjalani pelatihan ketat ini semakin berkurang. Namun, justru di sini letak kekuatan adaptasi Wagashi no Shiki, yaitu nilai kesehatan dan kealamian. Di tengah tren kesehatan global, Wagashi yang terbuat dari kacang merah, beras, dan agar-agar, dengan kandungan lemak hewani yang minimal, menemukan nilai jual baru sebagai dessert yang “sehat” dan alami.
Di sini lain, kue ini menjadi jawaban atas kehidupan yang serba cepat. Wagashi no Shiki menawarkan sebaliknya dengan menjadikannya momen untuk berhenti, merenung, dan menghargai keindahan sesaat. Dalam konteks ini, kue ini bukan lagi hanya makanan biasa, tapi praktik yang wellness dan mindfulness.
Wagashi no Shiki adalah perwujudan dari cara orang Jepang memandang dunia. Sebuah hubungan harmonis antara manusia dan alam. Konsep kue ini mengajarkan kita untuk melambat, untuk memperhatikan detail kecil di sekitar kita, dan untuk menemukan keindahan dalam siklus hidup yang terus berputar.
Dengan menikmati sebuah Sakura Mochi, kita selain merasakan rasa manis dan asin, tapi juga menghargai keindahan bunga sakura yang hanya mekar seminggu dalam setahun. Dengan menyantap Mizu Youkan, kita merasakan kesejukan yang diidamkan di tengah musim panas.
Ini yang menjadi kekuatan dari Wagashi no Shiki. Konsep ini adalah pengingat yang dapat dimakan bahwa setiap momen adalah unik dan berharga. Dalam setiap bentuk, warna, dan rasa Wagashi, tersimpan puisi tentang waktu, perubahan, dan keindahan yang fana. Jadi, jika Minasan lagi berada di Jepang, jangan lupa sempatkan diri untuk mencoba salah satu dari Wagashi ini ya.
Nah, cukup sekian yang bisa Pandai Kotoba berikan mengenai Wagashi no Shiki atau kalender musiman kue tradisional Jepang yang penuh makna. Jika Minasan ingin tahu dengan kuliner Jepang lainnya, di website ini banyak informasinya lho, Ada salah satu rekomendasinya nih: Kaiseki, Seni Kuliner Halus Jepang. Klik untuk membacanya ya. Sampai jumpa di artikel selanjutnya!


