Culture,  Leisure,  Travel

Mengenal Ohenro, Perjalanan Ziarah yang Jadi Tradisi Ribuan Tahun di Jepang

Hai, Minasan~! Kehidupan modern Jepang saat ini penuh dengan teknologi canggih dan ritme kota yang cepat. Namun, tersembunyi sebuah tradisi kuno yang tetap hidup dan berlangsung sampai saat ini bernama Ohenro. Ini adalah ziarah pejalan kaki yang luar biasa. Perjalanan sejauh 1.200 kilometer yang mengelilingi Pulau Shikoku, mengunjungi 88 kuil yang dikaitkan dengan biksu Buddha terbesar Jepang yaitu Kobo Daishi (Kukai).

Ohenro adalah sebuah latihan spiritual, perjalanan fisik yang menantang, dan cermin dari jiwa manusia. Ini adalah perjalanan di mana setiap langkah yang membawa peziarah mendekati tujuannya dan juga ga lebih dalam ke dalam dirinya sendiri.

Pandai Kotoba pada artikel kali ini akan membahas hal yang menarik tentang mengenal Ohenro atau perjalanan ziarah yang jadi tradisi ribuan tahun di Jepang mulai ziarah ini seperti apa, kegiatannya apa saja, dan motivasinya di balik kegiatan ziarah ini seperti apa. Yuk, kita langsung simak di bawah ini.

ohenro 2
Peserta Perjalanan Ohenro
mainichisinbun-ryokou.com

Mengenal Ohenro, Perjalanan Ziarah yang Jadi Tradisi Ribuan Tahun di Jepang

A. Apa Itu Ohenro?

Ohenrou (お遍路) secara harfiah berarti “ziarah” atau “perjalanan keliling”. Inti dari Ohenro adalah mengunjungi 88 kuil atau disebut “happyaku hassho” yang tersebar di empat prefektur di Shikoku di antaranya adalah Tokushima (Kuil No. 1-23, Jalan Pembangkitan), Kochi (Kuil No. 24-39, Jalan Pencerahan), Ehime (Kuil No. 40-65, Jalan Pencerahan), dan Kagawa (Kuil No. 66-88, Jalan Nirwana).

Angka 88 sendiri simbolis, mewakili 88 nafsu duniawi (bonno) yang membelenggu manusia, menurut ajaran Buddha. Dengan mengunjungi setiap kuil, peziarah secara bertahap membersihkan diri dari nafsu-nafsu ini.

ohenro mapp
Peta Perjalanan Ziarah Ohenro
nippon.com

Yang membedakan Ohenro dari ziarah lainnya adalah kehadiran Kobo Daishi (774-835 M). Peziarah yang disebut Henrou-san (遍路さん), percaya bahwa Kobo Daishi menemani mereka dalam perjalanan ini. Frasa yang umum diucapkan adalah “Dougyou Ninin” (同行二人) yang berarti “Berdua Berjalan Bersama”. “Berdua” ini merujuk pada sang peziarah dan Kobo Daishi. Keyakinan ini memberikan rasa aman dan ketenangan yang mendalam, karena mereka tidak pernah merasa benar-benar sendirian, bahkan saat berjalan di jalan yang sepi.

Ohenro bisa dilakukan dengan berbagai cara yang mencerminkan zaman dan kemampuan individu. Berikut ini adalah caranya:

1. Aruki Henro.
Ziarah dengan berjalan kaki, cara yang paling tradisional dan dianggap paling otentik. Perjalanan ini bisa memakan waktu 40 hingga 60 hari dan. memungkinkan peziarah untuk sepenuhnya meresapi setiap momen.

2. Kuruma Henro.
Ziarah dengan mobil atau sepeda motor yang menjadi populer di era modern. Meski lebih cepat (bisa diselesaikan dalam 1-2 minggu, ini tetap merupakan pengalaman yang sangat bermakna.

60年代バス(100年史) 1
Basu Henro untuk Para Lansia yang Ingin Berziarah
iyotetsublog.com

3. Basu Henro.
Ziarah dengan bus wisata biasanya ditujukan untuk para lansia atau mereka yang memiliki keterbatasan waktu dan fisik.

Terlepas dari moda transportasinya, esensi Ohenro tetap sama yaitu sebuah perjalanan spiritual untuk introspeksi, penghiburan, dan pencarian makna.

B. Ritual dan Apa yang Dilakukan di Setiap Kuil

Kedatangan di sebuah kuil Ohenro bukan hanya mengambil stempel. Ini adalah proses ritual yang terstruktur dan penuh makna. Berikut ini adalah urutan aktivitas yang biasanya dilakukan Henro-san:

1. Torii dan Pemurnian.
Melewati gerbang torii (untuk kuil yang memiliki unsur Shinto) menandai transisi dari dunia luar ke area suci. Sebelum memasuki halaman kuil utama, peziarah membersihkan tangan dan mulut di temizuya atau tempat pembasuhan yang menjadi ritual pemurnian simbolis.

2. Menuju Hondo (Balai Utama).
Peziarah berjalan menuju balai utama kuil yang didedikasikan untuk dewa utama (honzon) kuil tersebut.

3. Ritual Doa (O-ogamo).
Ritual doanya di antaranya adalah yang pertama, melemparkan saisen atau melemparkan uang persembahan ke dalam kotak persembahan. Yang kedua, membunyikan bel yang tergantung untuk memanggil perhatian para dewa dan menyatakan kedatangan sang peziarah.

Yang ketiga, menyalakan lilin dan sebatang dupa atau yang disebut Osenko sebagai persembahan. Asap dupa diyakini memiliki daya pemurnian. Yang keempat, membaca sutra pendek oleh peziarah. Yang biasanya adalah Hannya Shingyo (Heart Sutra) dan doa-doa khusus untuk Kobo Daishi. Ini adalah puncak dari ritual, di mana hati dan pikiran dipusatkan. Yang terakhir adalah melakukan tiga kali sembahyang atau Sanpai dengan merangkapkan tangan (gassho).

4. Menuju Daishi-do (Balai Daishi).
Setelah berdoa di Hondo, peziarah melakukan ritual yang sama persis di Daishi-do, balai yang didedikasikan untuk Kobo Daishi. Ini adalah penegasan dari keyakinan “Dogyo Ninin” atau berterima kasih dan berdoa bersama sang guru spiritual.

5. Mendapatkan Noukyouchou (Buku Stempel).
Setelah berdoa, peziarah pergi ke kantor kuil untuk mendapatkan stempel dan kaligrafi (shuin) di buku stempel khusus mereka, yang disebut Noukyouchou. Setiap stempel unik dan indah, berisi nama kuil, nomor, dan tanggal kunjungan. Ini adalah bukti fisik dari perjalanan mereka dan menjadi harta karun rohani yang abadi.

ohenro
Peziarah Mengenakan Pakaian Khasnya untuk Melakukan Kegiatan Ziarah
kokorozashi.net

Peziarah tradisional sering dikenali dari pakaian mereka yaitu mengenakan jubah putih (hakui), topi caping (sugegasa), dan tongkat ziarah (kongou-zue). Jubah putih melambangkan kemurnian, dan juga dianggap sebagai jubah kematian dan menandakan bahwa sang peziarah telah “mati” untuk dunia sementara dan sepenuhnya menyerahkan diri pada perjalanan spiritual. Tongkat ziarah diukir dengan nama sang peziarah dan frasa “Dougyou Ninin” yang mewakili tubuh Kobo Daishi sendiri, sehingga diperlakukan dengan hormat.

C. Manfaat Ohenro yang Melampaui Ziarah

Sementara menyelesaikan 88 kuil adalah sebuah prestasi, manfaat sejati dari Ohenro tidak terletak pada stempel terakhir di buku Noukyouchou, tapi pada perubahan halus dan mendalam yang terjadi dalam diri sang peziarah. Ini adalah warisan abadi dari perjalanan tersebut, ibarat “software kehidupan” baru yang diinstal melalui pengalaman yang intens. Berikut di bawah ini penjelasannya.

1. Reset Mental dan Kejernihan Pikiran

Kehidupan modern dipenuhi dengan kebisingan, gangguan, dan tuntutan yang tak henti-hentinya. Ohenro memaksa agar seseorang melakukan “digital detox” dan “social detox” yang lebih tegas. Ritme monoton dari langkah kaki yang berulang seperti kiri, kanan, kiri, kanan ini menjadi bentuk meditasi yang kuat. Pikiran yang awalnya dipenuhi dengan kekhawatiran dan daftar tugas, secara bertahap mulai melambat.

Noukyoutyo
Buku Catatan Sampel Peziarah atau Disebut Noukyouchou
commons.wikimedia.org

Peziarah menemukan diri mereka tidak lagi memikirkan masa depan yang cemas atau masa lalu yang menyesal, tapi sepenuhnya hadir pada momen saat itu yaitu suara burung, sensasi angin di kulit, dan rasa permukaan jalan di bawah kaki mereka. Keadaan mindfulness ini menjadi default baru, membersihkan mental clutter yang telah menumpuk selama bertahun-tahun.

Kemudian. sehari-hari di jalan disederhanakan menjadi beberapa pertanyaan mendasar, yaitu “Kapan harus bangun?”, “Di mana saya akan berjalan?”, “Di mana saya bisa makan?”, “Di mana saya akan tidur?”. Kebebasan dari keputusan-keputusan kompleks misal rapat kerja, drama sosial, apa yang harus ditonton ini melepaskan beban kognitif yang besar, dan memungkinkan pikiran untuk beristirahat dan memulihkan diri.

2. Pembelajaran Mendalam tentang Ketidakmelekatan dan Rasa Syukur

Hidup sebagai Henro adalah sebuah kursus kilat dalam filosofi Buddha, khususnya konsep “muga” atau ketidakmelekatan. Peziarah belajar dengan cepat bahwa mereka tidak dapat mengendalikan segalanya. Mereka tidak bisa mengendalikan cuaca (panas terik, hujan deras), kondisi jalan (tanjakan curam), atau ketersediaan penginapan.

Satu-satunya hal yang dapat mereka kendalikan adalah tanggapan mereka terhadap keadaan tersebut. Pelajaran untuk berserah diri (akirameru) dan terus melangkah, terlepas dari ketidaknyamanan, adalah metafora yang kuat untuk menghadapi tantangan hidup.

Hal ini menimbulkan rasa syukur yang diperbarui. Misal, sebuah apel, segelas air dingin yang ditawarkan sebagai Osettai, tempat berteduh dari hujan, atau kasur tipis di kuil, hal-hal kecil yang biasa dianggap remeh menjadi sumber sukacita dan syukur yang mendalam. Ohenro membalikkan skala nilai materialistis. Seorang peziarah menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak berasal dari kepemilikan, tapi dari pengalaman, koneksi, dan apresiasi terhadap hal-hal mendasar dalam hidup.

3. Ketangguhan Mental dan Kepercayaan Diri yang Diperbarui

Perjalanan sejauh 1.200 kilometer penuh dengan tantangan fisik dan mental yang tak terhindarkan. Melewati tantangan ini membangun ketangguhan. Peziarah mengalami rasa sakit, lelah, lecet, dan lapar. Awalnya, ini melelahkan. Namun, seiring waktu, mereka belajar mendengarkan tubuh mereka, merawatnya dengan lebih baik, dan menemukan kekuatan yang tidak mereka ketahui sebelumnya.

ohenro top
Ohenro Sedang Menikmati Perjalanannya
kochi-sk.co.jp

Mengatasi rasa sakit fisik dan terus melangkah memberikan keyakinan yang tak tergoyahkan seperti “Jika saya bisa melakukan ini, saya bisa melakukan apa saja.” Kepercayaan diri yang baru ini sering kali terbawa ke dalam kehidupan profesional dan pribadi mereka setelah ziarah.

Lalu, 88 nafsu duniawi tidak hanya simbolis. Seorang peziarah menghadapi “iblis” mereka sendiri di jalan seperti kemalasan, keraguan diri, kebosanan, kesepian, dan iri hati. Pada henro lain yang berjalan lebih cepat atau memiliki peralatan yang lebih baik. Proses untuk mengakui, menghadapi, dan akhirnya melampaui keadaan emosi negatif ini adalah inti dari latihan spiritual. Setiap kuil yang dikunjungi menjadi kemenangan kecil atas diri sendiri.

4. Transformasi Perspektif tentang Waktu dan Tujuan

Masyarakat modern didorong oleh budaya “cepat dan instan”. Ohenro adalah penangkalnya. Seorang henro yang berjalan kaki tidak bisa terburu-buru. Mereka belajar bahwa perjalanan itu sendiri ketika orang yang mereka temui, pemandangan yang mereka lihat, pelajaran yang mereka pelajari di jalan adalah sama berharganya, jika tidak lebih, dengan mencapai kuil ke-88. Ini menjadi pelajaran dalam kesabaran dan ketekunan.

Status sosial, pekerjaan, dan kekayaan menjadi tidak ada hubungannya di jalan. Semua henro sama seperti seorang pejalan dengan ransel dan tongkat lainnya yang melakukan perjalanan ini. Hal ini memungkinkan orang untuk melepaskan identitas eksternal mereka dan terhubung dengan esensi diri mereka yang lebih dalam. Banyak yang kembali dengan perspektif yang berubah, lebih menghargai waktu dan hubungan daripada mengejar promosi atau barang materiil.

5. Pemulihan Keyakinan pada Kemanusiaan dan Rasa Komunitas

Pengalaman Osettai mungkin merupakan manfaat psikologis dan spiritual yang paling mendalam. Dalam dunia yang sering terasa sinis dan terfragmentasi, Osettai adalah pengingat yang kuat akan kebaikan dasar manusia. Sebuah tindakan kedermawanan tanpa pamrih dari seorang asing dapat mengubah hari yang suram menjadi cerah. Pengalaman berulang ini memiliki efek kumulatif yang mendalam, memulihkan rasa percaya dan optimisme tentang dunia dan orang-orang di dalamnya.

Meskipun pada dasarnya adalah perjalanan personal, sebuah ikatan yang unik terbentuk di antara para henro. Mereka berbagi cerita, saling mendukung, dan saling menyemangati dengan sederhana seperti berkata “Ganbatte kudasai!” (Semangat!). Persaudaraan tanpa nama ini yang didasarkan pada pengalaman bersama yang mendalam, memberikan rasa memiliki dan hubungan yang sering hilang dalam masyarakat urban.

D. Asal-Usul Ohenro

Sebelumnya kita sudah mengenal ohenro seperti apa. Pada bagian sejarah atau asal-usul Ohenro ini penuh dengan lapisan legenda, keyakinan religius, dan evolusi sosial yang mengubah latihan asketik yang keras menjadi ziarah yang dapat diakses oleh orang biasa. Untuk memahaminya, kita harus menyelami kehidupan Kobo Daishi dan konteks pada zamannya. Yuk kita lanjut lagi di bawah ini ya.

1. Akar Legendaris: Kobo Daishi (Kukai) dan Jejak Kaki Suci

Inti dari semua cerita asal-usul Ohenro adalah Kobo Daishi (774-835 M) yang lahir dengan nama Kukai di provinsi Sanuki (sekarang Prefektur Kagawa) di Shikoku. Ia bukan hanya seorang biksu, tapi seorang polimatik sejati atau seorang cendekiawan, penyair, insinyur, dan pematung yang brilian. Setelah tahun-tahun awalnya belajar Konfusianisme, dia beralih ke Buddhisme dan melakukan latihan asketik yang intens di pegunungan dan daerah terpencil di Shikoku yang saat itu merupakan pulau terpencil dan liar.

kobo daishi 1
Kobo Daishi (Kukai)
japan-experience.com

Selama periode pertapaan inilah, menurut keyakinan, Kukai mendirikan, memberkati, atau mengasosiasikan diri dengan banyak situs suci yang kemudian menjadi 88 kuil Ohenro. Ia dikatakan telah mencari tempat-tempat dengan energi spiritual yang kuat (power spots) untuk bermeditasi mendalam dan melakukan ritual tantrik.

Setiap kuil mewakili sebuah titik di mana ia mencapai pencerahan tertentu atau mengalahkan sebuah godaan duniawi. Dengan demikian, rute Ohenro pada dasarnya adalah memetakan perjalanan spiritualnya sendiri.

Kemudian, ada legenda populer yang menghubungkan asal-usul Ohenro dengan pertemuan mistis antara Kukai (saat itu masih seorang pertapa muda) dengan seorang pria kaya dan pelit bernama Emon Saburo. Ceritanya, Emon menolak untuk memberi sedekah kepada Kukai, dan sebagai akibatnya, semua delapan anaknya meninggal satu per satu.

Menyadari kesalahannya, Emon mengejar Kukai untuk meminta maaf, berkeliling Shikoku berkali-kali. Saat ia sekarat, Kukai muncul dan berjanji bahwa dalam kehidupan berikutnya, Emon akan terlahir sebagai putra sulungnya untuk mencapai pencerahan. Emon meminta satu hal yaitu agar sebuah batu nisan diletakkan di atas kuburannya, dan jika batu itu terangkat, itu tandanya ia telah terlahir kembali. Konon, batu itu terangkat, dan Kukai mengukirnya dengan gambar Buddha. Lokasi ini dikatakan menjadi Kuil 1, Ryozen-ji. Legenda ini menekankan tema penebusan dosa, belas kasih, dan sifat ziarah yang berulang.

2. Konsolidasi oleh Para Pendeta Pengembara (Kaihogyo)

Meskipun jejak Kobo Daishi membentuk fondasi spiritual, rute 88 kuil seperti yang kita kenal sekarang tidak dibakukan dalam satu hari. Proses ini memakan waktu berabad-abad dan sangat dipengaruhi oleh sekelompok pendeta pengembara yang dikenal sebagai Yamabushi (pertapa gunung) dari sekte Shugendou.

Para Yamabushi ini yang juga memuja Kobo Daishi sebagai sosok suci, melakukan perjalanan melalui Shikoku untuk berlatih asketisme. Mereka adalah “pemeta” spiritual yang sebenarnya. Melalui perjalanan berulang mereka, mereka mengkonsolidasikan rute, menghubungkan situs-situs yang terkait dengan Kobo Daishi, dan menetapkan urutan kunjungan. Mereka adalah orang-orang yang memopulerkan keyakinan bahwa melakukan ziarah ini setara dengan mengikuti jejak sang guru. Praktik mereka yang keras dan pengetahuan tentang medan yang berbahaya membuat mereka menjadi pemandu alami bagi peziarah awal.

3. Kelahiran “Dogyo Ninin” dan Kultus Kobo Daishi

Konsep sentral Ohenro, “Dogyo Ninin” atau Berdua Berjalan Bersama) tidak muncul segera setelah kematian Kobo Daishi. Keyakinan ini berkembang dari doktrin Buddhisme Shingon bahwa Kobo Daishi tidak benar-benar meninggal pada tahun 835 M. Sebaliknya, ia memasuki kondisi meditasi abadi yang dalam (nyuujou) di Kuil Okunoin di Gunung Koya, menunggu kedatangan Buddha Maitreya di masa depan. Bagi para pengikutnya, ini berarti ia masih secara spiritual hadir dan aktif di dunia.

Oleh karena itu, seorang peziarah yang berjalan di jalur yang pernah ia lalui tidak sendirian. Kobo Daishi hadir secara spiritual, membimbing, melindungi, dan berbagi dalam kesulitan perjalanan. Tongkat ziarah (kongou-zue) menjadi simbol fisik dari kehadiran ini yang secara harfiah mewakili tubuh sang guru. Keyakinan inilah yang memberikan keberanian bagi orang biasa untuk melakukan perjalanan berbahaya, karena mereka percaya mereka berada di bawah perlindungan ilahi.

4. Demokratisasi di Zaman Edo (1603-1868)

Pada periode Edo, Ohenro mengalami transformasi besar dari latihan elit para biksu dan Yamabushi menjadi fenomena massal bagi rakyat jelata. Beberapa faktor mendorong hal ini di antaranya adalah, yang pertama, di bawah Keshogunan Tokugawa, Jepang memasuki era perdamaian yang lama. Jalan-jalan menjadi lebih aman dari bandit dan perang saudara, memungkinkan orang biasa untuk melakukan perjalanan jarak jauh.

sikoku ohenro top
Peziarah Melihat Pemandangan saat di Penjalanan Ohenro
shikokubank.co.jp

Selain itu, pemerintah shogun mengatur agama secara ketat, tapi ini justru membantu menstandarkan Ohenro. Kuil-kuil di Shikoku yang melihat nilai ekonomi dan religius, mulai bekerja sama untuk mempromosikan ziarah. Rute menjadi lebih jelas, dan jaringan penginapan atau Shukubou dan rumah teh berkembang di sepanjang jalur untuk melayani para peziarah.

Bagi petani dan pedagang, Ohenro adalah satu-satunya kesempatan dalam hidup untuk melakukan perjalanan jauh. Motivasi mereka sering kali bersifat sangat praktis dan religius. Yang pertama, ziarah atas nama orang lain. Banyak yang melakukan ziarah untuk orang tua yang sudah lanjut usia atau sakit yang tidak mampu melakukan perjalanan sendiri. Ini dianggap sebagai tindakan bakti (oya koukou) yang sangat mulia.

Yang kedua, ziarah untuk orang yang telah meninggal. Beberapa berziarah untuk meringankan penderitaan arwah anggota keluarga di alam berikutnya. Yang ketiga, ziarah penebusan dosa. Seperti legenda Emon Saburo, banyak yang berjalan untuk membersihkan diri dari dosa-dosa mereka atau nasib buruk. Yang terakhir, dengan tujuan petualangan dan ibadah. Hal ini adalah kesempatan untuk melihat dunia di luar desa mereka, dikombinasikan dengan ibadah yang tulus.

Pada era ini, panduan ziarah cetak pertama mulai muncul, dan praktik mengumpulkan stempel kuil (noukyouchou) menjadi populer sebagai bukti pencapaian.

5. Modernisasi dan Kebangkitan Kembali

Abad ke-20 membawa tantangan dan transformasi baru. Selama Perang Dunia II, ziarah praktis terhenti karena mobilisasi nasional dan kekurangan sumber daya. Lalu, setelah perang, dengan pulihnya ekonomi Jepang, Ohenro bangkit kembali. Namun, caranya berubah. Mobil dan bus menjadi moda transportasi yang umum melahirkan “Kuruma Henro” atau ziarah mobil. Hal ini membuat ziarah dapat diakses oleh para lansia dan mereka yang memiliki waktu terbatas.A

Sering berjalannya waktu dalam beberapa dekade terakhir, Ohenro telah menarik perhatian peziarah dari seluruh dunia. Mereka tertarik pada dimensi spiritual, tantangan fisik, dan keindahan alam Shikoku. Buku-buku dan film dokumenter internasional telah semakin memopulerkannya.

Hari ini, Ohenro adalah kegiatan campuran unik antara tradisi kuno dan modernitas. Peziarah masih mengenakan hakui dan membawa kongou-zue, tapi mereka juga menggunakan ponsel pintar dengan aplikasi peta Ohenro, GPS, dan situs web untuk memesan penginapan. Meskipun ada kemudahan ini, esensi dalam erjalanan seperti pencarian makna, introspeksi, dan pengalaman Osettai atau kedermawanan tetap tidak berubah yang membuktikan daya tarik abadi dari ziarah suci ini.

E. Mengapa Orang Jepang dan Juga Banyak Orang Asing Melakukan Ohenro?

Motivasi untuk melakukan Ohenro adalah sebuah hal yang kompleks mencerminkan pencarian manusia akan makna, ketenangan, dan hubungan. Meskipun akarnya religius, bagi banyak orang modern, Ohenro telah berevolusi menjadi sebuah perjalanan eksistensial yang melampaui batas agama. Berikut di bawah ini mengenai penjelasannya.

1. Motivasi Tradisional dan Religius (Akarnya di Masyarakat Jepang)

Yang pertama, berkaitan dengan Shugyou (修行) atau latihan spiritual dan asketik. Dalam Buddhisme, angka 88 melambangkan 88 nafsu duniawi atau disebut 煩悩 (bonnou) yang menyebabkan penderitaan. Dengan mengunjungi setiap kuil, peziarah secara simbolis membersihkan diri dari nafsu-nafsu ini, langkah demi langkah. Setiap kuil mewakili sebuah tantangan spiritual yang berbeda, dan prosesnya sendiri adalah bentuk meditasi yang panjang.

DSC08551
Peziarah atau Henro-san sedang Berdoa di Depan Kuil
zentsuji.com

Bagi banyak peziarah Jepang yang lebih tua, Ohenro adalah tindakan devosi kepada Kobo Daishi. Ini adalah cara untuk berterima kasih, memohon bimbingan, atau sekadar menghormati warisan sang guru tersebut. Keyakinan pada “Dougyou Ninin” atau Berdua Berjalan Bersama adalah motivasi utama, yaitu perasaan bahwa mereka tidak sendirian dalam perjuangan hidup ini.

Ziarah ini juga bisa dimaksudkan untuk orang lain sebagai wujud bakti dan penghormatan. Oizuko Mairi (おいづこ参り) atau secara tradisional, anak-anak atau kerabat akan melakukan ziarah atas nama orang tua mereka yang sudah tua atau sakit yang tidak mampu melakukan perjalanan. Ini dianggap sebagai bentuk bakti (oya koukou) tertinggi dan sebuah tindakan cinta dan pengorbanan yang mendalam.

Selain itu, ziarah juga bisa untuk arwah atau “kuyou”. Mizuko Kuyou adalah beberapa peziarah berjalan untuk mendoakan bayi yang keguguran atau diaborsi dengan keyakinan bahwa perjalanan ini akan membantu menenangkan jiwa-jiwa tersebut.

Ziarah Duka juga dilakukan. Banyak yang memulai Ohenro setelah kehilangan pasangan, anak, atau orang tua. Perjalanan fisik yang melelahkan menjadi saluran untuk kesedihan mereka, dan keyakinan bahwa mereka sedang berjalan bersama Kobo Daishi (dan secara metaforis, bersama almarhum) memberikan penghiburan yang luar biasa

B. Motivasi Eksistensial dan Psikologis (Pendorong Modern)

Ohenro sering menjadi jawaban bagi orang Jepang yang merasa “tersesat” dalam kehidupan modern mereka. Ini bisa menjadi “reset button” secara spiritual. Momen-momen kritis yang umum di antaranya adalah pada saat pensiun. Laki-laki Jepang yang telah mendefinisikan dirinya melalui pekerjaan selama puluhan tahun tiba-tiba kehilangan identitas. Ohenro memberikan tujuan baru, struktur, dan pencapaian yang sangat personal.

Liputan Berita Mengenai Kegiatan Perjalanan Ziarah Ohenro (youtube.com)

Kemudian, krisis paruh baya yang erasa terjebak dalam rutinitas, pernikahan, atau karier. Lalu, pemulihan dari penyakit atau trauma. Perjalanan ini dilihat sebagai bukti ketahanan hidup dan komitmen untuk memulai hidup baru.

Motivasi lainnya adalah pelarian dari segala kerumitan kehidupan modern. Kehidupan di kota-kota besar Jepang seperti Tokyo atau Osaka sangat teratur, kompetitif, dan penuh tekanan. Ohenro menawarkan kebalikannya, yaitu kesederhanaan yang sangat kuat. Hidup seorang Henro-san direduksi menjadi kebutuhan paling dasar seperti berjalan, makan, tidur, berdoa. Kebebasan dari keputusan rumit seperti “apa yang harus dipakai” atau “apa yang harus dilakukan” melepaskan beban mental yang besar.

Selain itu, terkoneksi dengan alam. Berjalan melalui pedesaan Shikoku yang masih asli adalah pengalaman yang menyembuhkan, jauh dari beton dan layar digital.

C. Motivasi Sosial dan Budaya

Motivasi untuk merasa pengalaman Osettai (お接待) atau memulihkan keyakinan pada kemanusiaan. Hal ini adalah aspek yang paling sering disebut-sebut dan paling mengharukan. Osettai adalah tradisi di mana penduduk lokal Shikoku memberikan bantuan kepada peziarah bisa berupa makanan, minuman, uang, atau tawaran menginap tanpa mengharapkan imbalan apa pun.

Bagi penduduk Shikoku, memberikan Osettai adalah tindakan berbagi berkah dan berbuat kebajikan. Ada keyakinan kuat bahwa dengan menolong seorang Henro-san, mereka pada dasarnya menolong Kobo Daishi sendiri.

Sedangkan, bagi peziarah, menerima Osettai adalah pengalaman yang sangat mendalam. Ini menjadi pengingat nyata akan kebaikan, keramahan, dan interkoneksi antar manusia. Dalam masyarakat yang sering individualistik, Osettai memulihkan rasa percaya dan komunitas. Sebuah jeruk, segelas teh, atau sekadar kata-kata penyemangat dapat mengubah hari yang penuh perjuangan menjadi momen yang tak terlupakan.

D. Mengapa Semakin Banyak Orang Asing Tertarik?

Di titik ini, bagi wisatawan internasional, daya tarik Ohenro sering dimaknai berbeda, meskipun tumpang tindih dengan motivasi orang Jepang. Di dunia yang saat ini dipenuhi wisata massal, Ohenro menawarkan pengalaman perjalanan yang mendalam dan otentik. Ini bukan tentang mengambil foto di tempat ikonik, tapi tentang mengalami Jepang yang sesungguhnya seperti melihat desa-desa terpencil, kuil-kuil kuno, dan interaksi tulus dengan penduduk setempat,

foreigner did ohenro
Wisatawan Asing yang Tertarik dengan Ohenro karena Kesukaannya Naik Gunung
news.ksb.co.jp

Di sisi lain, bagi para pelaku hiking dan petualang, Ohenro adalah tantangan yang sempurna yaitu rute yang jelas, tujuan yang terukur (88 kuil), dan durasi yang panjang. Kesederhanaan tujuan yang hanya berjalan ini sangat menarik. Ini menjadi latihan dalam ketahanan dan disiplin mental.

Banyak peziarah asing datang pada titik transisi dalam hidup mereka, misalnya setelah lulus kuliah, sebelum memulai karier, atau setelah peristiwa hidup yang besar. Mereka mencari lebih dari hanya liburan bisa, mereka mencari perubahan perspektif dan pemahaman diri. Ohenro dengan struktur ritual dan waktu untuk introspeksi menjadi perantara yang baik untuk transformasi in

Melihat dari sisi ketertarikan pada Budaya dan filsafat Jepang, Ohenro adalah pintu gerbang untuk memahami konsep-konsep kunci Jepang seperti “Ma” yang berarti “ruang atau interval”, “Wabi Sabi” yang berarti “keindahan dalam ketidaksempurnaan”, dan “Gaman” yang berarti “ketabahan”. Peziarah asing tertarik untuk mengalami filosofi ini secara langsung dari yang selama ini mereka hanya membacanya di buku.


Ohenro bukan perlombaan untuk menyelesaikan 88 kuil. Kegiatan ziarah ini adalah metafora untuk kehidupan itu sendiri dengan tantangannya, keindahannya, saat-saat kesendirian, dan pertemuan tak terduga yang penuh kebaikan. Setiap langkah di jalan kuno Shikoku adalah sebuah doa, setiap kuil adalah sebuah pencapaian, dan setiap Osettai adalah pengingat akan kebaikan dasar manusia.

Dalam dunia yang semakin rama ini, Ohenro menawarkan sebuah benang yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, manusia dengan alam, dan pencari dengan yang dicari. Kegiatan ini mengajarkan bahwa tujuan terbesar bukan mencapai kuil ke-88, tapi transformasi yang terjadi dalam diri seseorang sepanjang jalan itu. Seperti yang sering dikatakan para peziarah veteran, “Ohenro tidak berakhir di Kuil ke-88. Itu baru dimulai saat Anda kembali ke rumah dengan hati dan pikiran yang baru.”

Jadi, apakah ini tertarik untuk mencoba kegiatan Ohenro atau ziarah ini? Persiapan diri, mental, dan hati yang untuk melakukan ini semua. Nah, cukup sekian yang bisa Pandai Kotoba berikan untuk artikel kali ini mengenai perjalanan Ohenro atau ziarah yang jadi tradisi ribuan tahun di Jepang. Jika Minasan ingin tahu budaya Jepang lainnya, di website ini tersedia banyak informasinya lho. Salah satunya ini nih: Mengapa Orang Jepang Jarang Berbicara di Kereta? Etika Umum yang Menarik. Klik untuk membacanya ya.

Sampai jumpa di artikel selanjutnya!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *