Culture,  Kuliner

Yoshoku, Masakan Barat yang “Dijepangkan” dan Jadi Bagian Identitas Nasional

Hai Minasan~! Di sebuah restoran keluarga di Tokyo, seseorang menikmati Hambaagu (hamburger steak) dengan saus demiglace yang kaya, sementara di meja sebelahnya, seorang anak kecil dengan riang memotong Omurice (nasi omelet) yang lembut. Kejadian ini bukan di restoran Prancis atau Amerika lho, tapi di sebuah restoran yoshoku. Restoran yang berisi kuliner yang sangat Jepang, meskipun namanya berarti “makanan Barat”.

Ini yang menjadi keunikan Yoshoku. Masakan ini tidak sepenuhnya Barat dan juga tidak sepenuhnya Jepang. Pandai Kotoba pada artikel kali ini akan membahas kisah kuliner tentang yoshoku dalam adaptasi, inovasi, dan cinta terhadap rasa baru, yang pada akhirnya menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas Jepang modern dan merambah ke dunia global. Yuk, kita simak di bawah ini.

yoshoku
Paket Menu Masakan Yoshoku
commons.wikimedia.org

Contents

Yoshoku, Masakan Barat yang “Dijepangkan” dan Jadi Bagian Identitas Nasional

A. Apa Itu Yoshoku?

Secara harfiah, Yōshoku (洋食) diterjemahkan sebagai “makanan Barat”. Namun, jika membayangkan steak yang dimasak rare, pasta al dente, atau roti sourdough, tidak seperti itu ya. Yoshoku bukan masakan Barat yang otentik, tapi interpretasi, impian, dan reimajinasi Jepang tentang masakan Barat yang dibentuk oleh konteks sejarah, keterbatasan bahan, dan palate lokal pada akhir abad ke-19.

Untuk memahaminya, kita harus melihat Yoshoku tidak hanya sebagai hidangan, tapi sebagai sebuah fenomena budaya dan proses kreatif. Masakan ini berdiri di persimpangan tiga dunia kuliner berikut ini:

washoku wikicommon
Menu Set Washoku
commons.wikimedia.org

a) Washoku (和食)
Masakan Jepang tradisional dengan filosofinya yang dalam tentang musim, kesegaran, dan rasa alami (umami dari dashi, kecap, miso).

​​b) Yōshoku (洋食)
Masakan “Barat” yang telah diadaptasi dan sepenuhnya disesuaikan untuk lidah dan dapur orang Jepang.

​​c) Seiyō ryōri (西洋料理)
Masakan Barat yang sebenarnya seperti Prancis, Italia, Jerman yang disajikan secara otentik, sering di restoran high-end.

seiyou ryouri
Seiyou Ryouri
youshokki.com

Yoshoku adalah kategori yang berbeda dan mandiri. Ia adalah masakan Barat yang dilihat melalui kacamata Jepang”. Ini menjadi mimpi kuliner tentang dunia luar yang akhirnya menjadi kenyataan yang lezat dan nyaman di dalam negeri sendiri.

1. Ciri-Ciri Pembeda yang Mendefinisikan Yoshoku

Agar sebuah hidangan dapat disebut Yoshoku, ia memiliki beberapa karakteristik utama sebagai berikut:

a) Adaptasi Rasa untuk Palate Jepang
Ini adalah inti dari Yoshoku. Koki Jepang awal mengambil konsep hidangan Barat tetapi menyesuaikan profil rasanya. Yang pertama, kurang berminyak dan lebih ringan. Banyak hidangan gorengan Barat dianggap terlalu berat dan berminyak. Yoshoku menjawab ini dengan menggunakan panko (tepung roti yang lebih besar, lebih kering, dan lebih renyah) untuk tonkatsu dan ebi furai yang menyerap minyak lebih sedikit. Kuah dan saus juga sering dibuat lebih encer atau kurang kaya.

Yang kedua, rasa yang lebih manis dan umami. Lidah Jepang cenderung menyukai keseimbangan manis dan gurih (umami). Saus untuk hambaagu, tonkatsu, dan korokke seringkali memiliki dasar buah-buahan atau sayuran yang dimasak lama hingga manis alaminya keluar, ditambah dengan kecap, saus Worcestershire, atau saus tomat yang memberikan rasa umami. Kari Jepang atau kare raisu adalah contoh sempurna dari rasa rempah-rempahnya disubordinasi oleh rasa manis dan gurih dari roux.

Simmered Daikon 7
Shoyu, Mirin, dan Dashi
onolicioushawaii.com

Yang ketiga, penggunaan bumbu dasar Jepang. Meskipun menggunakan bahan Barat seperti daging dan mentega, Yoshoku sering masih memakai “trio suci” bumbu Washoku, yaitu shoyu (kecap asin Jepang), mirin, dan dashi. Kaldu dashi mungkin digunakan sebagai pengganti kaldu daging sapi atau ayam, memberikan dasar rasa yang familiar.

b) Integrasi dengan Makanan Pokok Jepang
Ini mungkin aspek yang paling revolusioner. Masakan Barat datang dengan rotinya. Yoshoku menolak hal itu dan dengan bangga menyajikan hidangan “Barat”-nya dengan nasi putih dan sup miso.

Nasi adalah rajanya. Tonkatsu? Disajikan dengan nasi yang disebut juga dengan tonkatsu teishoku. Kari? Disajikan di atas nasi yang namanya Kare Raisu. Daging rebus ala Prancis? Disajikan di atas nasi yang namanya Hayashi Raisu. Omelet? Dibungkus di sekitar nasi goreng khas Jepang yang namanya Omurice. Integrasi nasi ini adalah deklarasi bahwa Yoshoku dan pada akhirnya adalah untuk orang Jepang.

Yoshoku juga sering disajikan dalam format teishoku (定食) atau set menu ala Jepang, terdiri dari hidangan utama, nasi, sup miso, dan acar kecil. Ini membingkai pengalaman “Barat” dalam struktur makan tradisional Jepang.

c) Inovasi Teknis dengan Bahan Lokal
Keterbatasan adalah bagian dari penemuan. Ketika bahan-bahan seperti keju parmesan, rosemary, atau wine sulit didapat, koki Yoshoku berimprovisasi.

Panko diciptakan sebagai pengganti tepung roti biasa, panko memberikan tekstur renyah yang lebih ringan, lebih kering, lebih bersih, dan sesuai dengan estetika tekstur Jepang. Kemudian, ada saus tonkatsu yang berupa saus cokelat kental yang disajikan dengan tonkatsu adalah ciptaan Jepang. Rasanya lebih manis, lebih fruity, dan kurang asam dibandingkan saus Worcestershire atau BBQ Barat. Saus serbaguna seperti bulldog sauce menjadi andalan di setiap dapur.

Selain, ada roux kari instan. Perusahaan Jepang seperti House Foods dan S&B mempopulerkan kari Jepang ke seluruh negeri dengan menciptakan roux dalam bentuk blok yang mudah digunakan. Ini adalah westernisasi yang terdemokratisasi dan sekarang siapa pun bisa membuat “makanan Barat” di rumah.

roux kari instan
Roux Kari Instan
kompas.com

d) Status Sosial yang Berubah
Yoshoku dimulai sebagai makanan mewah untuk kelas atas dan terpelajar yang ingin tampil modern, Seiring berjalannya waktu, hidangan ini meresap ke semua lapisan masyarakat. Yoshoku menjadi makanan keluarga yang terjangkau, hidangan kantin sekolah yang dicintai, dan simbol nostalgia dan kesenangan. Ia kehilangan “kesan Barat”-nya dan hanya menjadi “makanan Jepang” yang lain.

B. Asal-Usul Yoshoku

Untuk memahami betapa revolusionernya kelahiran Yoshoku, kita harus membayangkan keadaan Jepang sebelum tahun 1854. Selama lebih dari 200 tahun di bawah kebijakan isolasi Sakoku, Jepang hampir terputus dari dunia luar. Pola makan masyarakatnya, yang dibentuk oleh Buddhisme dan geografi, sangat ketat terhadap konsumsi daging seperti sapi, babi, dan kuda secara luas diharamkan dan dipandang rendah. Diet orang Jepang klasik berpusat pada beras, ikan, sayuran, kacang-kacangan, dan rumput laut.

Lalu, datanglah Periode Bakumatsu (1853-1868) yang penuh gejolak. Kedatangan Komodor Matthew C. Perry dari Amerika Serikat dengan “Kapal Hitam” memaksa Jepang membuka pelabuhannya. Peristiwa ini bukan hanya menjadi kejutan militer dan politik, tapi juga kejutan kuliner. Orang-orang asing yang datang membawa serta kebiasaan makan mereka yang aneh dan, yang paling mencolok, mereka memakan daging.

1. Restorasi Meiji: Politik dan Daging Sapi Berjalan Beriringan

Keshogunan Tokugawa jatuh dan Kaisar Meiji yang muda dan progresif naik takhta pada tahun 1868. Pemerintah barunya menjadikan westernisasi sebagai kebijakan resmi negara di bawah slogan Bunmei Kaika (文明開化) yang artinya “Pencerahan dan Peradaban”. Tujuannya adalah untuk mengubah Jepang menjadi negara modern yang setara dengan kekuatan Barat dan ini mencakup segala hal, mulai dari pakaian, arsitektur, hingga yang paling penting adalah pola makan.

Pemerintah Meiji secara aktif mempromosikan konsumsi daging dengan dua alasan utama, yaitu

a) Kesehatan dan Kekuatan Fisik
Para pemimpin Jepang melihat postur tubuh orang Barat yang lebih tinggi dan lebih besar dan menghubungkannya dengan diet kaya protein dan daging mereka. Mereka percaya bahwa untuk membangun tentara yang kuat dan populasi yang sehat yang dapat menandingi Barat, orang Jepang harus mulai makan daging. Ini adalah masalah keamanan nasional yang diwujudkan dalam sepiring makanan.

column03 pic01
Lukisan yang Menggambarkan Era Meiji
gin-suzu6.jp

b) Lambang Modernitas
Makan seperti orang Barat adalah tindakan simbolis yang sangat powerful. Itu menunjukkan bahwa seseorang mendukung rezim baru, terpelajar, dan progresif. Untuk mengesahkan praktik baru ini, pemerintah perlu melawan tabu agama yang berusia berabad-abad.

Pada 1872, Kaisar Meiji sendiri mengambil langkah yang sangat dramatis. Ia secara publik mengumumkan bahwa ia telah memakan daging sapi. Ini adalah sinyal yang tidak bisa disalahpahami bagi seluruh bangsa. Jika Kaisar yang statusnya semi-dewa melakukannya, maka itu tidak hanya diizinkan, tapi menjadi tugas patriotik.

2. Gyuunabe: Awal dari Yoshoku yang Revolusioner

Sebelum tonkatsu atau kari ada, hidangan jembatan yang memulai revolusi daging adalah Gyuunabe (牛鍋) yang secara harfiah artinya “panci daging sapi”. Pada awalnya, ini adalah rebusan sederhana berupa irisan daging sapi, sering kali daging kerbau atau sapi yang keras karena hewan tersebut sebelumnya hanya digunakan untuk membajak yang dimasak dengan miso atau kecap bersama sayuran seperti daun bawang dan tahu di dalam panci besi.

Gyuunabe awalnya dijual kepada orang asing dan intelektual Jepang yang penasaran di restoran-restoran khusus di daerah seperti Yokohama dan Tokyo. Cepat menjadi sensasi dan mode. Menikmati gyuunabe adalah pernyataan bahwa seseorang adalah “orang modern”. Dari gyuunabe inilah hidangan Jepang yang lebih halus seperti sukiyaki dan shabu-shabu berevolusi, meskipun hidangan-hidangan ini kemudian dikategorikan sebagai washoku karena penggunaan saus berbasis kecap yang kuat.

3. Lahirnya Restoran Yoshoku Pertama: Gerbang Menuju Dunia Baru

Dengan dorongan dari istana kekaisaran, restoran Yoshoku sejati mulai bermunculan. Yang paling legendaris adalah Youken (養賢亭) yang dibuka di distrik Ginza Tokyo pada tahun 1863. Awalnya melayani orang asing, Youken segera menjadi tempat orang Jepang yang kaya dan terpelajar seperti politisi, pengusaha, cendekiawan yang “berlatih” menjadi modern.

Bayangkan pengalaman seorang bangsawan Jepang pada tahun 1870-an duduk di Youken untuk pertama kalinya. Untuk alat makan, mereka harus belajar menggunakan pisau dan garpu, bukan sumpit. Untuk bahannya, mereka mencicipi rasa mentega, daging sapi, tomat, dan susu yang sama sekali asing. Selain itu, untuk hidangannya, menu awal mencakup adaptasi sederhana seperti hiru katsu (cikal bakal tonkatsu), karee raisu (kari dengan nasi), dan biifu suteeki (beef steak).

Namun, yang disajikan di Yōken dan restoran sejenisnya bukan masakan Barat yang otentik. Koki Jepang di dapur belum pernah ke Barat. Mereka mempelajari resep dari buku masak terjemahan yang terbatas dan dari pengamatan sepintas terhadap koki asing. Mereka kekurangan banyak bahan baku dasar. Jadi, mereka berimprovisasi.

Mereka mengganti keju dengan miso, menggunakan kaldu dashi alih-alih kaldu daging sapi, dan menyesuaikan rasa yang kuat dengan palate Jepang yang lebih halus. Proses inilah dari proses mempelajari, meniru, gagal, berimprovisasi, dan akhirnya menciptakan yang sebenarnya melahirkan Yoshoku sebagai genre kuliner yang mandiri. Itu adalah masakan Barat yang dilihat melalui lensa budaya dan bahan Jepang.

4. Dari Mewah ke Mainstream: Peran Militer dan Kantin Sekolah

Pemerintah tidak hanya mempromosikan Yoshoku untuk kelas atas. Angkatan Bersenjata Jepang memainkan peran penting dalam mempopulerkannya ke seluruh lapisan masyarakat. Militer membutuhkan makanan yang bergizi tinggi untuk menjaga daya tahan prajurit, murah dan mudah diproduksi dalam jumlah besar, dan tahan lama dan mudah disiapkan di medan perang.

korokke school
Korokke atau Kroket
nakagawa.ed.jp

Kare Raisu (Kari Jepang) menjadi jawaban sempurna. Itu bisa dibuat dalam jumlah besar dalam satu kuali besar, bahan-bahannya (terutama dengan penemuan roux kari instan nantinya) mudah disimpan dan diangkut, dan rasanya kuat dan mengenyangkan. Militer secara efektif menciptakan seluruh generasi warga negara yang terbiasa dengan rasa yoshoku melalui wajib militer.

Setelah Perang Dunia II, Yoshoku menemukan jalannya ke kantin sekolah lewat program kyuushoku. Program makan siang sekolah ini didukung oleh Amerika memperkenalkan bahan-bahan seperti roti dan susu, tapi hidangan seperti korokke, kari, dan omurice juga menjadi pokok karena murah, bergizi, dan yang paling penting adalah disukai oleh anak-anak.

C. Siapa Pencetus Yoshoku?

Benar bahwa tidak ada satu pun “Chef Yoshoku” yang terkenal seperti Auguste Escoffier bagi masakan Prancis. Yoshoku bukan ciptaan seorang genius kuliner yang tunggal, tapi hasil dari sebuah gerakan sosial yang luas yang melibatkan pemerintah, industri, militer, dan rumah tangga biasa. Ia menjadi “pencetus” yang kolektif, dan setiap pihak memainkan peran yang saling melengkapi.

Berikut adalah para “pencetus” kunci yang membidani kelahiran Yoshoku:

1. Pemerintah Meiji: Sang Visionaris

Pemerintah Meiji adalah pencetus intelektual dan politis. Mereka menciptakan resep dan menciptakan kondisi dan alasan bagi Yoshoku untuk ada. Pemerintah secara resmi mendorong westernisasi (Bunmei Kaika) di semua aspek kehidupan. Makan daging diubah dari sebuah tabu menjadi tugas patriotik untuk memperkuat bangsa dan mengejar kemajuan Barat.

Seperti yang telah disebutkan, Kaisar Meiji sendiri mendukung secara publik mengonsumsi daging sapi pada tahun 1872. Ini adalah bentuk endorsement tertinggi yang melegitimasi praktik baru tersebut dan menghilangkan stigma agama dan budaya yang melekat padanya.

Setelah itu, pemerintah menyebarkan pamphlet dan artikel surat kabar yang menjelaskan manfaat gizi dari diet Barat, khususnya konsumsi daging dan susu. Peran mereka memberikan mandat dan alasan keberadaan untuk Yoshoku.

2. Koki Perintis di Restoran Yoshoku: Sang Inovator dan Adaptor

Para koki inilah yang menjadi pencetus teknis. Mereka lah yang tangan mereka benar-benar menciptakan hidangan-hidangan tersebut. Restoran seperti Yōken di Ginza adalah laboratorium kuliner. Para koki di sini adalah “ahli sihir” yang tugasnya menerjemahkan konsep kuliner Barat yang samar-samar menjadi hidangan yang bisa diterima oleh lidah bangsawan Jepang.

Awalnya mereka melakukan proses coba-coba dan tidak punya akses ke bahan-bahan otentik seperti keju tertentu, herbal, daging potongan Barat atau bahkan resep yang akurat. Mereka berimprovisasi dan mengganti mentega dengan minyak, menggunakan kaldu dashi alih-alih kaldu daging sapi, dan menciptakan saus baru yang sesuai dengan selera lokal (seperti saus Tonkatsu).

Mereka juga yang menciptakan nama-nama Jepang untuk hidangan Barat yang sering kali didasarkan pada pelafalan bahasa Inggris atau Prancis, contohnya korokke (croquette), furai (fry), karee (curry), dan omuraisu (omelette rice). Mereka sebagai engineer yang mengubah blueprint pemerintah menjadi produk nyata yang lezat.

3. Angkatan Bersenjata Jepang

Jika restoran Yoshoku memperkenalkannya kepada elite, maka militer yang membakukan dan memopulerkannya kepada massa. Militer membutuhkan makanan yang bergizi, murah, mudah disiapkan untuk banyak orang, dan tahan lama. Karee raisu (kari Jepang) adalah jawaban sempurna. Itu bisa dibuat dalam kuali raksasa, bahan-bahannya bisa disimpan, dan rasanya disukai oleh para prajurit.

Militer juga menciptakan resep standar untuk kari dan hidangan lainnya. Setiap tentara yang bertugas mengenal rasa ini, dan ketika mereka kembali ke kampung halaman, mereka membawa serta selera dan kenangan akan hidangan tersebut.

Penyebaran nasional dilakukan militer melalui wajib militer. Berarti anak muda dari seluruh pelosok Jepang yang mungkin belum pernah mencicipi “makanan Barat” menjadi mengenal yoshoku secara intensif selama bertahun-tahun. Ini menciptakan basis konsumen nasional yang besar. Mereka adalah distributor massal yang menjadikan yoshoku sebagai pengalaman umum bagi laki-laki Jepang dari semua kelas.

4. Industri Makanan dan Ibu Rumah Tangga

Pihak terakhir yang mencetuskan Yoshoku ke puncak popularitasnya adalah industri makanan modern dan ibu rumah tangga. Penemuan roux kari instan menjadi lompatan besar terjadi pada tahun 1950-an dan 1960-an ketika perusahaan seperti House Foods dan S&B memperkenalkan roux kari dalam bentuk blok yang mudah digunakan. Sekarang, siapa saja bisa membuat “makanan Barat” yang lezat di dapur mereka hanya dengan menambahkan blok ini ke air dan sayuran. Ini adalah demokratisasi dari Yoshoku.

Selain itu, melalui iklan di majalah dan TV, perusahaan makanan menargetkan ibu rumah tangga. Memasak Yoshoku seperti kari, korokke, atau hambaagu di rumah dianggap sebagai cara yang modern, bergizi, dan nyaman untuk memberi makan keluarga. Itu menjadi masakan rumah sehari-hari. Mereka adalah pihak yang membawa Yoshoku ke dalam rumah dan mengubahnya dari makanan restoran atau militer menjadi comfort food nasional.

D. Hidangan-Hidangan Yoshoku Ikonik

Setiap hidangan Yoshoku adalah menu dengan berbagai adaptasi dan interpretasi yang melalui proses “Dijepangkan” yang membuatnya menjadi unik. Berikut di bawah ini 7 masakan yoshoku yang terkenal saat ini.

1. Tonkatsu (豚カツ)

Asal-usulnya terinspirasi oleh hidangan cutlet dari Eropa, seperti Wiener Schnitzel dari Austria atau Côtelette de porc dari Prancis. Namun, orang Jepang mengganti daging sapi atau veal dengan daging babi (ton) yang lebih terjangkau dan berlemak, cocok dengan palate lokal.

Terdapat inovasi Jepang pada masakan ini. Perbedaan utama terletak pada lapisan luar. Alih-alih tepung roti biasa, Tonkatsu menggunakan panko. Panko adalah tepung roti yang dibuat dari roti tanpa pinggiran yang dipanggang, menghasilkan serpihan yang lebih besar, lebih kasar, dan lebih kering. Hasilnya adalah lapisan yang sangat renyah, ringan, dan tidak berminyak. Tekstur yang seperti itu sangat dihargai dalam makanan Jepang.

tonkatsu
Tonkatsu
flickr.com

Cara penyajiannya selalu disajikan sebagai bagian dari teishoku (set menu) dengan: nasi putih (hakumai), sup miso, shredded cabbage (kol cincang halus) yang segar dan renyah untuk memotong rasa gurih, saus Tonkatsu yang kental, manis, dan gurih (mirip dengan saus Worcestershire yang diperkaya dengan buah dan sayuran puree), dan diberikan juga mustard Jepang (karashi) yang pedas menyengat.

Varian lainnya adalah chicken katsu yang menggunakan ayam, menchi katsu yaitu cutlet isi daging cincang, ebi katsu dengan udang, dan katsu sando atau sandwich Tonkatsu yang merupakan hidangan kelas atas di Jepang.

2. Karee Raisu (カレーライス), Comfort Food Nasional

Dibawa ke Jepang oleh Angkatan Laut Kerajaan Inggris pada akhir abad ke-19. Inggris mengadopsi kari dari India, tapi menjadikannya lebih kental dan kurang pedas. Jepang kemudian mengadopsi dan mengadaptasi versi Inggris ini.

Terdapat inovasi Jepang pada masakan ini. Kari Jepang sama sekali berbeda dengan kari India atau Thailand. Teksturnya seperti stew yang sangat kental dan halus, bukan saus yang encer atau berbasis santan. Rasanya lebih manis dan lebih gurih (umami), dengan tingkat pedas yang sangat ringan. Rasa rempah-rempahnya harmonis, bukan dominan.

Bahan dasarnya selalu dimasak dengan daging (bisa sapi, ayam, babi) dan sayuran wortel, kentang, dan bawang bombai. Inovasi terbesarnya adalah penemuan blok roux kari instan (oleh House Foods dan S&B) pada tahun 1950-an. Ini memungkinkan siapa saja membuat kari Jepang yang lezat dan konsisten di rumah dengan mudah.

Cara penyajian selalu disajikan di atas atau di sebelah nasi putih. Sering dihiasi dengan fukujinzuke (acar sayur yang manis dan asam) atau rakkyou (acar bawang pearl).

3. Korokke (コロッケ), Gorengan yang Lembut dan Renyah

Korokke adalah masakan adaptasi dari croquette Prancis atau Belanda. Terdapat inovasi Jepang pada masakan ini. Korokke Jepang memiliki isian yang sangat berbeda. Versi yang paling umum adalah Cream Korokke dengan saus putih dan ham/udang dan Potato Korokke dengan kentang tumbuk dicampur daging cincang dan bawang bombai. Lapisan luarnya, lagi-lagi, menggunakan panko untuk hasil yang super renyah.

Bukan hanya hidangan restoran, korokke adalah makanan jalanan dan makanan deli (sozai) yang sangat populer. Sering dijual di toko shokupan, supermarket, dan gerai khusus.

4. Omurice (オムライス), Playful Fusion

Omurice diperkirakan muncul pada awal abad ke-20 di restoran Yoshoku di Tokyo’s Ginza. Ini adalah personifikasi dari Yoshoku, yaitu nasi goreng ala Barat yang menggunakan saus tomat, dibungkus dengan omelet ala Barat dengan menggunakan susu dan mentega. Kombinasi yang luar biasa.

Nasi gorengnya biasanya dicampur dengan ayam, bawang bombai, dan dibumbui dengan saus tomat (bukan kecap asin), memberikan rasa manis dan asam. Sedangkan, omeletnya dimasak hingga lembut, creamy, dan setengah matang (soft-scrambled), bukan omelet kering yang matang sepenuhnya.

Cara penyajiannya adalah biasanya disajikan dalam bentuk oval yang indah dengan saus di atasnya, baik saus demiglace yang kaya atau lebih saus tomat. Rasa yang memberikan kesenangan dalam satu piringnya.

5. Hambaagu (ハンバーグ), Hamburger Steak ala Jepang

Hambaagu terinspirasi dari hamburger steak yang dibawa oleh orang Amerika. Terdapat inovasi Jepang pada masakan ini. Orang Jepang menghilangkan bun-nya. Fokusnya adalah pada patty-nya sendiri. Hambaagu terbuat dari campuran daging sapi dan babi cincang yang memberikan rasa yang lebih kaya dan tekstur yang lebih lembap.

Dibumbui dengan bawang bombai cincang, pala, dan kadang-kadang parutan apel atau panir untuk menambah rasa manis dan kelembapan. Sausnya disajikan dengan berbagai saus, yang paling klasik adalah saus demiglace (saus cokelat kental yang reduksi) atau saus berbasis Worcestershire. Sering disajikan dengan sayuran tumis atau salad kentang.

Hambaagu adalah tentang menikmati rasa daging yang halus dan juicy dalam bentuk yang elegan dan tidak termasuk makanan cepat saji.

6. Spaghetti Napolitan (ナポリタン), Pasta yang Sangat Jepang

Spaghetti Napolitan diciptakan setelah Perang Dunia II oleh koki Shigetada Irie di Hotel New Grand di Yokohama untuk memenuhi permintaan pasukan Amerika yang ingin makan spaghetti dengan bahan yang tersedia, yaitu saus tomat, sosis. Terdapat inovasi Jepang pada masakan ini. Pasta ini yang paling tidak Italia yang dapat dibayangkan, dan orang Jepang sangat menyukainya.

Spaghetti Naporitan 002
Spaghetti Napolitan
commons.wikimedia.org

Pasta spaghetti direbus sangat lunak, bertentangan dengan tekstur al dente yang disukai di Italia. Sausnya itumis dengan sosis, bawang bombai, paprika, dan jamur, lalu dibumbui dengan saus tomat (bukan tomat yang segar) dan sering kali sedikit saus Worcestershire atau ketchup. Rasanya manis, asam, dan gurih. Hidangan nostalgia yang kuat, sering dikaitkan dengan kantin sekolah dan kafe tua (kissaten).

7. Hayashi Raisu (ハヤシライス), Rebusan Mewah

Namanya mungkin berasal dari penemunya, Mr. Hayashi atau dari kata bahasa Inggris “hashed” (dicincang). Pada dasarnya Hayashi Raisu adalah daging sapi yang diiris tipis dan direbus dengan banyak bawang bombai dalam saus merah yang kaya. Sausnya adalah campuran saus demiglace dan wine atau anggur merah), menciptakan rasa yang dalam, kompleks, dan sedikit manis.

hayashi rice
Hayashi Raisu
commons.wikimedia.org

Perbedaannya dengan Karee adalah Hayashi Raisu lebih elegan dan kurang “ramai” dibandingkan Karee Raisu. Rasa rempah-rempahnya minimal, lebih mengandalkan rasa daging dan wine.

E. Mengapa Orang Jepang Menciptakan Yoshoku?

Lahirnya Yoshoku sebuah inovasi yang dibuat untuk sebuah proyek nasional yang didorong oleh kebutuhan pragmatis, aspirasi simbolis, dan mekanisme budaya Jepang yang unik dalam menghadapi yang asing. Berikut di bawah ini adalah beberapa alasan mengenai orang Jepang menciptakan yoshoku.

1. Proyek Nasional untuk Kekuatan dan Modernitas

Ini adalah alasan yang paling mendasar dan terpenting. Pemerintah Meiji melihat westernisasi sebagai masalah kelangsungan hidup nasional. Setelah berabad-abad isolasi dan diet yang sebagian besar vegetarian, rata-rata orang Jepang secara fisik lebih kecil daripada orang Barat. Para pemimpin Meiji secara keliru menyimpulkan bahwa keunggulan militer Barat berasal dari fisik mereka yang lebih besar dan kuat, yang dihasilkan oleh diet kaya protein dan daging.

Oleh karena itu, mempromosikan konsumsi daging dalam yoshoku menjadi kebijakan negara yang setara dengan membangun angkatan laut atau angkatan darat yang modern. Ini adalah upaya untuk merekonstruksi tubuh bangsa secara literal.

Jepang melawan persepsi “primitif” dan merasa tertekan oleh kekuatan Barat yang secara teknologi lebih maju. Mengadopsi budaya mereka, termasuk cara makan, adalah strategi untuk menolak label “negara Timur yang terbelakang” dan diterima sebagai bangsa yang “beradab” dan setara. Makan dengan pisau dan garpu di restoran Yoshoku selain tentang makanan, tapi juga menjadi pertunjukan performative modernity.

2. Penghapusan Stigma dan Tabu Agama

Sebelum Meiji, konsumsi daging mamalia darat terutama sapi dan babi adalah sebuah tabu budaya dan agama yang dalam, yang dipengaruhi oleh Buddhisme dan Shintoisme. Daging dikenal sebagai kusawami (makanan berbau busuk) dan dikaitkan dengan pencemaran spiritual. Pemerintah Meiji secara sengaja dan sistematis bekerja untuk menghancurkan tabu ini.

Mereka tidak hanya mengizinkannya, tapi membingkai ulang tindakan makan daging sebagai tindakan patriotik yang mendukung Kaisar dan kemajuan Jepang. Kaisar Meiji sendiri yang memakan daging sapi secara publik adalah tindakan yang paling powerful untuk melegitimasi hal ini. Oleh karena itu, yoshoku adalah alat untuk sekularisasi dan modernisasi pola pikir masyarakat.

3. Mekanisme Budaya: “Wakon Yousai” (和魂洋才) dalam Piring

Yoshoku adalah manifestasi sempurna dari filosofi budaya Jepang Wakon Yōsai, yaitu Semangat Jepang, Teknologi Barat”. Jepang mengadopsi konsep dan bahan Barat seperti memanggang, menggunakan oven, makan daging, saus kental, dan produk susu.

Namun, “teknologi” Barat ini segera disaring dan diubah oleh “semangat” dan selera Jepang. Mereka menolak untuk mengadopsinya secara membabi buta. Sebaliknya, mereka menerapkan prinsip-prinsip kuliner Jepang, di antaranya yang pertama adalah penyesuaian rasa. Mengurangi rasa yang terlalu kuat, berminyak, atau amis. Rasa disesuaikan untuk menciptakan keseimbangan (awase) yang lebih harmonis antara manis, gurih, dan asam.

Panko Paprika 1
Panko, Tepung Roti ala Jepang
commons.wikimedia.org

Yang kedua, penekanan pada tekstur. Penggunaan panko untuk tekstur renyah yang ringan dan tidak berminyak adalah contoh sangat bagus. Tekstur yang berminyak dan berat ditolak. Yang ketiga, integrasi dengan Makanan Pokok. Menolak roti dan dengan bangga menyajikan hidangan “Barat” dengan nasi dan sup miso. Ini adalah pernyataan bahwa pada akhirnya, ini adalah “makanan untuk orang Jepang”.

4. Dari Elitisme ke Demokratisasi Menciptakan “Comfort Food” Modern

Awalnya, Yoshoku adalah simbol status bagi elite. Namun, alasan keberlangsungannya yang panjang adalah kemampuannya untuk menjadi makanan rakyat. Seperti yang telah dijelaskan, militer memopulerkan Yoshoku (khususnya kari) kepada massa melalui wajib militer. Ini menciptakan nostalgia dan kenangan akan rasa tersebut di antara para veteran.

Dengan penemuan seperti roux kari instan pada pasca-Perang Dunia II, Yoshoku berubah dari makanan restoran yang rumit menjadi makanan rumahan yang mudah, murah, dan mengenyangkan. Ibu rumah tangga dapat dengan mudah menyajikan “makanan Barat” yang lezat.

Rasa manis dan gurih yang disederhanakan dari Yoshoku dari omurice hingga kari sangat disukai oleh anak-anak. Yoshoku menjadi hidangan utama di kantin sekolah dan makanan untuk merayakan acara-acara khusus, menanamkan kenangan positif dan rasa kenyamanan (natsukashisa) sejak usia dini.

5. Sebuah Bentuk Identitas Baru yang Unik

Pada akhirnya, Yoshoku diciptakan karena orang Jepang, melalui proses adaptasi ini secara tidak sengaja menemukan suara kuliner mereka sendiri yang baru. Yoshoku bukan Barat dan bukan pula Washoku tradisional. Itu adalah kategori ketiga yang sama sekali baru.

Yoshoku memungkinkan Jepang untuk terlibat dengan dunia luar tanpa kehilangan jati diri. Mereka bisa menjadi “modern” dan “internasional” sambil tetap mempertahankan kendali atas selera dan tradisi mereka sendiri. Yoshoku adalah bukti dari kepercayaan diri budaya, kemampuan untuk mengambil sesuatu dari luar dan menjadikannya milik mereka sendiri, bahkan lebih baik.

F. Apakah Yoshoku Mendunia Sama Seperti Masakan Jepang Lainnya?

Yoshoku memang mendunia, tapi caranya berbeda dengan pendahulunya yang lebih terkenal seperti sushi dan ramen. Perjalanannya tidak melalui ekspor masif yang langsung dikenali sebagai “makanan Jepang”, tapi melalui jalur yang lebih halus, budaya populer, dan gelombang baru apresiasi kuliner global. Yoshoku tidak mendunia sebagai “makanan Barat”, tapi sebagai “makanan Jepang yang unik dan menarik”.

1. Melalui Soft Power seperti Anime, Manga, dan Drama

Kemungkinan ini adalah duta besar Yoshoku yang paling powerful dan alami. Adegan-adegan ikonik dalam budaya pop Jepang telah membakar keingintahuan global. Adegan karakter menikmati Karee Raisu atau Tonkatsu di kantin sekolah adalah trope yang umum dalam anime dan manga. Ini menciptakan rasa nostalgia dan kenyamanan bahkan bagi penonton yang belum pernah mencicipinya, karena ia melambangkan kehidupan sekolah Jepang yang “normal” dan menyenangkan.

Omurice sering muncul sebagai hidangan yang dibuat oleh karakter untuk menunjukkan kasih sayang. Misalnya, seorang ibu untuk anaknya atau seorang gadis untuk kekasihnya. Bentuknya yang oval mulus dan saus yang ditulis di atasnya terlihat menggemaskan dan menarik secara visual.

Shokugeki no Souma Volume 1
Food Wars! Shokugeki no Soma
wikipedia.org

Anime yang berfokus pada makanan secara detail seperti “Food Wars! Shokugeki no Soma” sering menampilkan hidangan Yoshoku, menganalisisnya dengan serius, dan menggambarkannya dengan sangat menggugah selera. Ini mengangkat status Yoshoku dari “makanan biasa” menjadi “hidangan yang layak untuk dipuja” dan mendapatkan lucky effect.

Hasilnya? Penggemar di seluruh dunia yang penasaran dengan hidangan yang mereka lihat di layar mulai mencoba membuatnya di rumah dengan mencari resep online atau secara aktif mencari restoran yang menyajikannya.

2. Integrasi ke dalam Menu “Makanan Jepang” Global

Bagi banyak konsumen global, Yoshoku tidak dipasarkan sebagai kategori terpisah. Ia hanya menjadi bagian dari perluasan definisi “makanan Jepang”.

  • Tonkatsu dan Katsu Curry: Ini adalah pionir Yoshoku global. Banyak restoran Jepang di luar negeri, yang bukan khusus sushi, menawarkan Tonkatsu atau Chicken Katsu sebagai hidangan utama. Katsu Curry (kari dengan tonkatsu di atasnya) telah menjadi hidangan yang sangat populer dan mudah diakses, sering kali lebih populer daripada kari India di kalangan tertentu.
  • Menu yang Terintegrasi: Seorang pengunjung restoran Jepang di London atau New York mungkin memilih antara sushi roll, bowl ramen, atau plate katsu curry. Dalam konteks ini, Yoshoku tidak dilihat sebagai “fusion”, tetapi hanya sebagai salah satu pilihan Jepang yang lezat lainnya.

3. Gelombang Restoran Khusus Yoshoku dan Izakaya Modern

Dalam beberapa tahun terakhir, gelombang kedua globalisasi Yoshoku telah dimulai dengan munculnya restoran yang secara khusus berfokus pada Yoshoku. Terdapat beberapa restoran yang mengkhususkan diri pada Omurice yang lembut atau Hambaagu yang juicy mulai bermunculan di kota-kota besar seperti Bangkok, Singapura, London, dan New York. Tempat-tempat ini merayakan Yoshoku untuk dirinya sendiri, bukan sebagai bagian sampingan dari menu.

Izakaya yang juga buka di luar negeri sering menampilkan berbagai hidangan Yoshoku seperti Korokke, Ebi Furai, dan Yoshoku style pasta sebagai pilihan izakaya yang sempurna untuk dicemil sambil minum.

4. Naiknya “Katsu Sando” sebagai Makanan Mewah dan Trendi

Ini adalah studi kasus yang sempurna tentang bagaimana Yoshoku berevolusi dan mendunia. asal-usulnya yang Sederhana, yaitu Katsu Sando (sandwich tonkatsu) secara tradisional adalah makanan rumahan atau item bento yang sederhana dan terjangkau. Di kota-kota besar di dunia seperti New York, London, dan Sydney, Katsu Sando telah diangkat statusnya menjadi makanan mewah dan trendi.

Restoran high-end membuatnya dengan bahan-bahan pilihan seperti daging babi Berkshire yang dibesarkan secara khusus, roti shokupan atau roti susu Jepang yang dibuat khusus, dan saus yang rumit. Harganya bisa mencapai puluhan dolar.

Oleh karena itu. terjadilah fenomena media sosial. Bentuknya yang bersih dan simetris sangat “instagrammable“, mendorong popularitasnya lebih lanjut. Katsu Sando menjadi simbol dari estetika Jepang yang minimalis dan berkualitas tinggi.

5. Jalur Diaspora dan Komunitas Ekspatriat

Seperti halnya banyak makanan etnis, Yoshoku menyebar melalui komunitas. Yang pertama dari ekspatriat Jepang. Orang Jepang yang tinggal di luar negeri merindukan comfort food dari rumah. Mereka membuka restoran kecil atau kafe yang menyajikan hidangan Yoshoku yang otentik untuk memenuhi kebutuhan komunitas ekspatriat ini.

Yang kedua dari pelanggan non-Jepang. Restoran-restoran ini kemudian ditemukan oleh penduduk setempat yang penasaran yang perlahan memperkenalkan hidangan ini ke audiens yang lebih luas.

6. Tantangan dalam Mendunia, “Krisis Identitas” Yoshoku

Perjalanan global Yoshoku tidak tanpa tantangan. Tantangan terbesarnya adalah “krisis identitas”. Bagi konsumen Barat, seorang yang tidak tahu mungkin memakan Hamburg Steak dan mengira itu adalah versi hamburger yang aneh atau memakan Kari Jepang dan mengira itu adalah kari India yang gagal. Mereka kehilangan konteks historis dan budaya bahwa ini adalah adaptasi yang disengaja.

Di sisi lain, sulit untuk memasarkan hidangan yang pada dasarnya adalah “makanan Barat ala Jepang” kepada orang Barat. Penjual harus menekankan keunikan Jepangnya seperti penggunaan panko, saus khusus, dan penyajiannya dengan nasi untuk membedakannya.


Yoshoku adalah catatan kuliner dari sejarah Jepang modern. Sebuah inovasi untuk periode transformasi yang berani dan rasa ingin tahu yang tak terpuaskan. Dari piring-piring mewah di restoran Ginza hingga mangkuk kari yang menghangatkan di kantin sekolah, Yoshoku telah menyentuh setiap lapisan masyarakat Jepang.

Yoshoku membuktikan bahwa inovasi kuliner terbaik tidak selalu tentang menciptakan sesuatu yang benar-benar baru, tapi tentang merangkul yang asing dan menjadikannya milik sendiri dengan penuh rasa hormat dan kreativitas. Yoshoku adalah bukti nyata dari fleksibilitas dan keuletan budaya Jepang.

Dan sekarang, saat dunia semakin terhubung, kisah lezat tentang Barat yang “dijepangkan” ini akhirnya menemukan penikmatnya di seluruh penjuru dunia dan mengundang kita semua untuk mencicipi sepotong sejarah yang sangat lezat.

Cukup segitu yang bisa Pandai Kotoba berikan untuk artikel kali ini mengenai yoshoku, sang masakan Barat yang “Dijepangkan”. Menarik kan inovasi dari negeri Sakura ini? Jika Minasan ingin baca artikel tentang kuliner Jepang lainnya, di website ini tersedia banyak lho. Salah satu rekomendasinya ini nih: Wagashi, Seni Manis dari Jepang yang Penuh Makna dan Sejarah. Klik untuk membacanya ya.

Sampai jumpa di artikel selanjutnya!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *