5 Film Jepang Kontroversial yang Bikin Penasaran
Di tengah gemerlap karya-karya yang memukau dan penuh keindahan, terdapat pula sejumlah film Jepang kontroversial yang mencuat karena kontroversialitasnya. Melampaui batas-batas konvensional, karya-karya ini tidak hanya merangkum kekayaan budaya Jepang, tetapi juga menggoyahkan ekspektasi penonton dengan penceritaan yang kontroversial, penuh dengan kritik sosial, dan kadang-kadang menantang norma-norma yang mapan.
Kali ini Pandai Kotoba mengajak Minasan untuk menjelajahi dunia film Jepang kontroversial, menyelami cerita-cerita yang mengguncang, memprovokasi, dan membiarkan penontonnya terperangkap dalam refleksi mendalam tentang kemanusiaan, perang, dan moralitas.
5 Film Jepang Kontroversial
1. The Human Condition
Film Jepang kontroversial yang pertama dalam daftar ini adalah film berjudul “The Human Condition” atau (人間の條件, Ningen no Jouken). “The Human Condition” adalah sebuah trilogi film Jepang yang disutradarai oleh Masaki Kobayashi. Film-film ini berdasarkan novel dengan judul yang sama karya Gomikawa Junpei. Trilogi ini dirilis antara tahun 1959 dan 1961 dan sangat dihargai karena penggambaran dramatis tentang perang, moralitas, dan hak asasi manusia.
Dengan durasi yang cukup panjang untuk setiap filmnya, trilogi ini memerlukan ketahanan “mental” yang signifikan ketika menontonnya. Namun, panjangnya durasi ini juga memungkinkan pengembangan karakter yang mendalam dan penyajian cerita yang komprehensif. Bagi mereka yang tertarik dengan narasi yang mendalam dan dramatis, trilogi ini dapat menjadi pengalaman sinematik yang memuaskan.
Ketiga film dalam trilogi The Human Condition adalah sebagai berikut:
– No Greater Love (Ningen no Joken I, 1959)
Film pertama mengisahkan perjalanan seorang pemuda Jepang bernama Kaji (diperankan oleh Tatsuya Nakadai) selama Perang Tiongkok-Jepang pada Perang Dunia II. Kaji, yang awalnya idealis, mengalami ketidakadilan, kekejaman perang, dan konflik moral saat dia berusaha mempertahankan kemanusiaan di tengah konflik yang brutal.
Film dimulai pada tahun 1943 selama Perang Dunia II. Kaji (diperankan oleh Tatsuya Nakadai), seorang idealis muda, ditempatkan sebagai manajer di tambang batu bara di Tiongkok yang diduduki oleh Jepang. Meskipun dia dihadapkan dengan kondisi yang keras dan tekanan dari atasannya, Kaji berusaha melindungi dan memperjuangkan hak-hak para pekerja Tiongkok yang bekerja di tambang tersebut.
Kaji berjuang dengan dilema moral dan konflik etis, terutama saat dia menyaksikan perlakuan kasar dan kejam terhadap pekerja tambang. Sebagai pekerjaan Kaji dan idealismenya, konfliknya dengan sistem dan kebijakan militer Jepang semakin memuncak. Dia harus menghadapi konsekuensi dari prinsip-prinsip moralnya, yang membawanya ke arah yang tidak terduga dan berbahaya.
Ketika perang berlanjut dan kekejaman semakin meningkat, Kaji terus berusaha mempertahankan integritas dan martabat manusia di tengah kondisi yang semakin kejam dan tidak adil. Film ini menggambarkan perjalanan panjang Kaji melalui gejolak perang, penderitaan, ketidakadilan, dan konflik moral yang mendalam.
“No Greater Love” mengeksplorasi tema-tema berat seperti keadilan, moralitas, dan penderitaan perang. Film ini memberikan gambaran yang tajam tentang kejamnya konflik bersenjata, serta perjuangan setiap manusia untuk mempertahankan hidup dan kemanusiaannya di tengah-tengah situasi yang semakin sulit.
– Road to Eternity (Ningen no Joken II, 1959)
Setelah peristiwa di film pertama, Kaji (diperankan oleh Tatsuya Nakadai) terus menghadapi tantangan moral dan fisik dalam perannya sebagai petugas militer di kamp pelatihan militer Jepang. Meskipun Kaji berusaha mematuhi norma-norma etika dan melindungi prajurit muda dari perlakuan kasar dan kejam, dia terus dihadapkan dengan ketidakadilan dan tekanan dari atasan militer yang korup.
Ketidakpuasan Kaji dengan kebijakan militer dan pengalaman traumatisnya di kamp membuatnya semakin merasa terasing dan terisolasi. Sementara itu, hubungannya dengan istrinya, Michiko (diperankan oleh Michiyo Aratama), juga mengalami tekanan akibat ketegangan dan penderitaan yang dialaminya.
Film ini menggambarkan transformasi karakter Kaji, dari seorang idealis yang ingin melindungi martabat manusia menjadi seseorang yang semakin terfragmentasi oleh tekanan dan kekecewaan. Meskipun dihadapkan pada situasi yang semakin sulit, Kaji tetap mencoba mempertahankan moralitasnya dan mencari makna di tengah-tengah kebrutalan perang.
“Road to Eternity” terus mengeksplorasi tema moralitas, keadilan, dan konsekuensi dari tindakan-tindakan individu di tengah keadaan perang. Film ini memperdalam karakter Kaji dan memperluas jangkauan tema-tema kontroversial yang diangkat dalam trilogi ini.
– A Soldier’s Prayer (Ningen no Joken III, 1961)
“A Soldier’s Prayer” (Ningen no Joken III, 1961) adalah film ketiga dan terakhir dalam trilogi “The Human Condition” yang disutradarai oleh Masaki Kobayashi.
Film ini melanjutkan kisah Kaji setelah kejadian di film sebelumnya. Setelah Jepang menyerah pada akhir Perang Dunia II, Kaji ditangkap oleh pasukan Sekutu dan menjadi tahanan perang. Dia dan sesama tahanan menghadapi perlakuan yang sangat keras dan tidak manusiawi dari para sipir penjara.
Dalam keadaan terhina dan dilakukan dengan cara-cara yang memalukan, Kaji terus mempertahankan martabatnya dan mencoba memberikan semangat kepada sesama tahanan. Meskipun dihadapkan dengan kesulitan dan ketidakpastian, Kaji mencoba mempertahankan integritasnya di tengah-tengah situasi yang semakin sulit.
Film ini juga memperkenalkan karakter baru, termasuk beberapa sipir penjara yang kejam dan tahanan yang berjuang untuk bertahan hidup. Kaji, dengan sifatnya yang idealis, terus berjuang melawan ketidakadilan dan kekejaman yang dia temui di dalam penjara.
Seiring berjalannya waktu, Kaji menghadapi konsekuensi dari pilihan moralnya dan mencoba mencari makna dalam penderitaan dan ketidakadilan yang dia alami. “A Soldier’s Prayer” menjadi penutup epik bagi kisah hidup Kaji, menghadirkan akhir yang penuh refleksi dan kompleksitas moral.
Film ini menggambarkan tidak hanya penderitaan fisik tahanan perang, tetapi juga konflik batin yang dalam dan kompleks. Dengan ketajaman pengambaran dan pengembangan karakter yang mendalam, “A Soldier’s Prayer” menyimpulkan trilogi “The Human Condition” dengan penuh kesan, meninggalkan penonton dengan pertanyaan moral dan refleksi tentang nilai-nilai kemanusiaan.
“A Soldier’s Prayer” mengakhiri perjalanan epik trilogi ini dengan penuh refleksi tentang kemanusiaan, moralitas, dan dampak perang. Film ini menyatukan tema-tema yang telah dijelajahi dalam dua film sebelumnya, menciptakan pengalaman sinematik yang mendalam dan penuh makna tentang perjuangan individu melawan tekanan eksternal dan internal dalam menghadapi kondisi kehidupan yang ekstrim.
“The Human Condition” dianggap sebagai sebuah karya epik yang mendalam dan kompleks. Film-film ini menyentuh berbagai aspek kemanusiaan, termasuk perang, keadilan, dan keteguhan moral di tengah situasi sulit. Meskipun terbilang sulit untuk ditonton karena durasinya yang panjang, trilogi ini sering diakui sebagai salah satu prestasi puncak dalam sejarah perfilman Jepang.
Kontroversi film “The Human Condition”
Seringkali trilogi ini dianggap kontroversial karena penggambarannya yang jujur dalam menggambarkan perang dan pelanggaran hak asasi manusia. Beberapa elemen yang dianggap kontroversial dan memicu perdebatan di antaranya:
- Penggambaran Perang dan Kemanusiaan. Film ini secara intens menggambarkan kekejaman perang, baik di medan pertempuran maupun di dalam kamp tahanan perang. Beberapa adegan kejam dan tidak manusiawi dalam film ini dapat membuat penonton merasa tidak nyaman.
- Kritik Terhadap Sistem Militer dan Pemerintah. “The Human Condition” memberikan kritik tajam terhadap sistem militer dan pemerintahan pada masa itu, terutama melalui karakter utama, Kaji. Penggambaran kebijakan pemerintah dan tindakan militer dapat memicu kontroversi terutama di kalangan yang mendukung pemerintah atau militer pada masa tersebut.
- Karakter Kaji dan Konflik Moral. Karakter utama, Kaji, menghadapi konflik moral yang kompleks dan sulit. Keputusan-keputusan yang diambilnya dan penderitaan yang dia alami dapat menjadi subjek perdebatan karena melibatkan pertimbangan moral yang mendalam.
- Penggambaran Tahanan Perang:
- Bagian ketiga trilogi fokus pada pengalaman Kaji sebagai tahanan perang, dan film ini tidak menunjukkan penahanan tersebut secara romantis atau terlalu dramatis. Penggambaran yang jujur ini mungkin dianggap kontroversial oleh beberapa penonton.
2. In the Realm of the Senses
Film Jepang kontroversial selanjutnya adalah “In the Realm of the Senses” (Ai no Korīda, 1976), disutradarai oleh Nagisa Oshima. Film ini dikenal juga dengan judul 愛のコリーダ, Ai no Koriida.
Film ini mengisahkan kisah cinta antara Sada Abe (diperankan oleh Eiko Matsuda), seorang mantan pelayan, dan Kichizo Ishida (diperankan oleh Tatsuya Fuji), pemilik sebuah penginapan. Cerita dimulai ketika Sada melarikan diri dari pekerjaannya dan bergabung dengan penginapan milik Kichizo.
Kichizo, seorang pria yang eksentrik dan energik, memulai hubungan yang intens dan semakin berlebihan dengan Sada. Hubungan mereka tidak hanya didasarkan pada keintiman fisik, tetapi juga mencakup eksplorasi seksual yang ekstrem. Mereka terlibat dalam permainan-permainan seksual yang di luar batas norma dan mengabaikan moralitas konvensional.
Pada titik tertentu, obsesi Sada terhadap Kichizo mencapai tingkat yang membahayakan, dan film ini mencapai puncaknya dalam adegan seksual yang eksplisit dan kontroversial. Puncaknya adalah peristiwa dramatis yang mengubah nasib kedua karakter utama dan menciptakan skandal besar dalam masyarakat pada waktu itu.
Film ini bukan hanya menggambarkan hubungan seksual yang berlebihan, tetapi juga bernada kritik sosial dan politik. Pada akhirnya, kisah cinta ini menuju kepada ketidakstabilan dan tragedi, menciptakan gambaran yang intens dan kontroversial tentang cinta, obsesi, dan kebebasan individu.
“In the Realm of the Senses” menjadi sangat kontroversial karena adegan-adegan seksual eksplisit dan tanpa sensor yang dihadirkannya. Film ini mengeksplorasi tema-tema tabu, seperti obsesi seksual, keinginan berlebihan, dan hubungan manusia dengan keinginan seksualnya. Kontroversi yang paling mencolok adalah keputusan Oshima untuk tidak membatasi diri dalam menampilkan adegan-adegan seksual yang sebagian besar dilakukan oleh para pemeran utama tanpa menggunakan stunt double atau efek khusus.
Dampaknya sangat besar di tingkat global. Beberapa negara bahkan memutuskan untuk membatalkan pemutaran film ini, dan di beberapa tempat, film ini dianggap sebagai materi yang melanggar hukum. Walaupun kontroversial, film ini juga diakui karena pendekatan artistik dan eksperimentalnya terhadap subyek yang sulit ini.
Karya Oshima ini tetap menjadi salah satu film yang paling dikenal dalam sejarah sinema kontemporer Jepang dan mendapatkan tempat khusus dalam sejarah perfilman internasional karena peran pentingnya dalam melanggar batas-batas artistik dan moral.
3. Mishima
Salah satu film jepang kontroversial selanjutnya juga berdasarkan pada kisah nyata, yaitu berjudul “Mishima: A Life in Four Chapters” (1985), yang disutradarai oleh Paul Schrader. Film ini menggambarkan kehidupan dan karya Yukio Mishima, seorang penulis terkenal Jepang yang kontroversial.
Film ini menggambarkan kehidupan Yukio Mishima (diperankan oleh Ken Ogata) melalui empat babak yang berbeda, mencakup empat periode berbeda dalam hidupnya. Film ini tidak hanya menggambarkan peristiwa-peristiwa nyata dalam hidup Mishima, tetapi juga mencampurkan kisah-kisah tersebut dengan ekstrak dari karyanya, menciptakan narasi yang rumit dan terkadang sureal.
Babak pertama, yang disebut “Beauty,” menggambarkan masa kanak-kanak dan pemuda Mishima, serta konflik internal yang muncul dari ketidakpuasan terhadap kelemahan fisiknya.
Babak kedua, “Art,” membawa penonton ke dunia kesusastraan Mishima, menunjukkan hubungannya dengan sastra dan proses kreatifnya.
Babak ketiga, “Action,” berfokus pada upaya Mishima untuk menghidupkan kembali semangat kebangsaan Jepang dan mengkritik modernitas dengan melakukan aksi radikal. Mishima membentuk kelompok paramiliter bernama Tatenokai dan mencoba melakukan kudeta militer untuk mengembalikan kekuasaan kepada kaisar.
Babak terakhir, “Harmony of Pen and Sword,” mencatat peristiwa dramatis dalam hidup Mishima, termasuk upayanya untuk meraih pemahkotaan kekaisaran dan tindakan tragisnya yang mencakup ritual seppuku.
Yukio Mishima adalah seorang penulis yang kontroversial di Jepang. Dia terkenal karena karyanya yang sering kali menghadirkan tema-tema tabu dan penghormatan terhadap nilai-nilai tradisional Jepang. Pada tahun 1970, Mishima melakukan tindakan bunuh diri yang dramatis dengan cara seppuku setelah sebuah upaya gagal untuk menggalang dukungan militer untuk mengembalikan kekuasaan kaisar di Jepang.
Film “Mishima” sendiri juga menciptakan kontroversi karena pendekatan Schrader yang eksperimental dalam merancang narasinya dan gaya visualnya. Beberapa orang menyambut film ini sebagai karya seni yang indah dan kompleks, sementara yang lain mungkin merasa terganggu oleh pendekatannya yang kontroversial terhadap tokoh kontroversial seperti Mishima.
Sebagai catatan, beberapa anggota keluarga Mishima dan beberapa kalangan di Jepang saat itu kurang setuju dengan cara film ini menggambarkan Mishima, dan film ini awalnya tidak mendapatkan persetujuan untuk diproduksi di Jepang. Namun, secara internasional, film ini diakui sebagai sebuah karya yang menarik dan kontroversial.
4. Suicide Club
Salah satu film Jepang kontroversial lainnya ada film yang berjudul “Suicide Club” (Jisatsu Saakuru, 2001) yang disutradarai oleh Sion Sono dan terkenal karena kontroversialitasnya.
Film dimulai dengan adegan yang mencekam di stasiun kereta api Tokyo, di mana sekelompok gadis sekolah tiba-tiba melompat ke rel kereta dan bunuh diri secara massal. Peristiwa ini hanya awal dari serangkaian bunuh diri misterius yang terjadi di seluruh Jepang. Setelah kejadian tragis ini, detektif Kuroda (diperankan oleh Ryo Ishibashi) dan rekannya mencoba menyelidiki penyebab dan latar belakang fenomena ini.
Saat penyelidikan berlangsung, mereka menemukan bahwa ada sekelompok orang misterius yang menyebut diri mereka “The Suicide Club” atau “Sekolah Bunuh Diri”. Kelompok ini memiliki pesan-pesan yang aneh yang mereka sebarkan melalui media massa, menciptakan keresahan dan kepanikan di masyarakat.
Seorang penyanyi bernama Genesis, yang terhubung dengan kelompok ini, juga menjadi fokus perhatian. Kuroda dan timnya menyelidiki lebih lanjut, tetapi semakin dalam mereka menggali, kasus ini menjadi semakin rumit..
Pertengahan film membawa penonton ke dunia yang semakin gelap dan surealis, dengan tema kehilangan identitas, alienasi, dan misteri yang menyelimuti seputar kelompok “Suicide Club”. Plot semakin rumit dengan munculnya berbagai elemen seperti nomor telepon misterius dan kehadiran seorang anak kecil yang sering tampil dalam video rekaman yang terkait dengan kelompok tersebut.
Film mencapai puncak ketegangan ketika Kuroda dan timnya mencoba mengungkap kebenaran yang tersembunyi di balik serangkaian bunuh diri tersebut. Mereka menemui fakta yang mengejutkan dan menakutkan, membuka tabir tentang keanehan dan kengerian yang mengitari “Suicide Club”.
“Suicide Club” kontroversial karena pendekatannya terhadap tema bunuh diri dan kekerasan. Film ini menghadirkan adegan bunuh diri yang eksplisit dan tidak menyamankan penonton,, termasuk adegan yang sangat berdarah dan brutal. Sion Sono menyajikan film ini dengan nada gelap dan surreal, menciptakan atmosfer yang mengganggu dan membingungkan.
Beberapa penonton dan kritikus menanggapi film ini dengan beragam reaksi Ada yang menganggapnya sebagai karya seni yang kontroversial dan mencengangkan, sedangkan yang lain merasa terganggu oleh adegan yang menampilkan kekerasan yang tidak semestinya.
Kontroversi “Suicide Club” menciptakan diskusi seputar batas seni, eksplorasi kekerasan dalam budaya pop, dan tanggung jawab sineas dalam menyajikan tema-tema yang sensitif. Meskipun kontroversial, film ini memiliki basis penggemar dan dikenang sebagai karya yang unik dan provokatif dalam sinema Jepang kontemporer.
5. Yasukuni
“Yasukuni,” sebuah film Jepang kontroversial bergenre dokumenter yang disutradarai oleh Li Ying. Film ini dirilis pada tahun 2007 dan menjadi kontroversial karena mengangkat isu sejarah yang sensitif terkait dengan Kuil Yasukuni di Tokyo, Jepang.
“Yasukuni” mengeksplorasi kontroversi seputar Kuil Yasukuni, sebuah tempat suci di Jepang yang didirikan untuk mengenang mereka yang tewas dalam wajib militer Jepang, termasuk para prajurit yang terlibat dalam perang Perang Dunia II. Kuil ini menjadi pusat perdebatan karena di dalamnya dihormati juga orang-orang yang dianggap sebagai penjahat perang kelas satu oleh banyak negara, termasuk beberapa yang dihukum mati karena kejahatan perang.
Dalam film ini, Li Ying menyajikan pandangan yang beragam dari berbagai orang, termasuk veteran perang, keluarga korban perang, dan orang-orang yang menentang penghormatan terhadap Yasukuni. Film ini menyoroti berbagai perspektif dan kontroversi terkait dengan cara Jepang mengenang sejarah perangnya dan hubungannya dengan negara-negara Asia lainnya.
“Yasukuni” menjadi kontroversial karena dianggap kontroversial oleh beberapa pihak di Jepang. Film ini dihadapkan pada tekanan politik dan protes dari kelompok-kelompok nasionalis yang merasa bahwa film ini memberikan pandangan yang salah terhadap sejarah perang Jepang.
Meskipun kontroversial, “Yasukuni” diakui dunia karena mencoba menyajikan berbagai perspektif dan membangkitkan diskusi seputar kompleksitas sejarah dan pemikiran masyarakat di Jepang terkait dengan peristiwa-peristiwa pada masa perang.
Demikian Minasan 5 film Jepang kontroversial yang telah Pandai Kotoba rangkumkan. Apakah Minasan sudah menonton salah satunya?
Kontroversialitas film memainkan peran penting dalam merangsang pemikiran, memunculkan pertanyaan moral, dan mendorong perdebatan dalam masyarakat. Film-film yang mengeksplorasi tema-tema kontroversial seringkali menyuguhkan cerita yang menggugah hati dan merangsang refleksi atas nilai-nilai kemanusiaan.
Dengan menghadirkan tantangan etika, moralitas, dan kehidupan sosial, film-film ini menjadi cermin yang memantulkan kompleksitas dan warna-warni kehidupan manusia. Meskipun kontroversialitas mungkin menimbulkan ketidaknyamanan atau perpecahan, film-film ini memberikan kesempatan bagi penonton untuk mendalami makna kehidupan dan menyelami dimensi-dimensi yang mungkin terabaikan.
Dengan demikian, film kontroversial bukan hanya merupakan bentuk seni yang menggetarkan, tetapi juga panggilan untuk memahami dan menerima keragaman serta kompleksitas kehidupan manusia dalam segala nuansanya.
Ikuti terus konten-konten menarik dan informatif lainnya seputar Jepang di pandaikotoba.net, Instagram Pandai Kotoba, dan channel Youtube Pandai Kotoba.
Mata!
One Comment
Pingback: